Selasa, 08 Maret 2011

Bab Satu
14 – 4 - 1979
Satu itu Tuhan, satu itu keyakinan, empat itu unsur tanah air api dan udara
Satu ditambah empat jadinya empat belas, dan empat belas itu adalah purnama
Empat itu kamis, empat itu April dan empat itu adalah penjuru mata angin
Satu matahariku, sembilan planetku, tujuh langitku dalam tujuh nadaku hingga tujuh turunan
Sembilan bulan “Aku” dalam kandungan untuk memahami sembilan tingkatan surga dan neraka
Bersama sembilan Malaikat yang kukenal
Angka adalah sebuah kepastian sebab Tuhan selalu memperhitungkan
Ada makna dalam setiap bilangan
Kosong bukanlah Nol sebab kosong bukanlah bilangan
Nol adalah kontrol antara minus dan positif
Pembagian adalah kebijaksanaan
Perkalian adalah kekayaan

Dan

Penjumlahan adalah perjalanan dari sebuah peradaban
Minus dan positif adalah energi hidup
Dosa dan pahala saat ini berada atas kedua pundak
Atas catatan realita Sang Malaikat
Pena hitam itu nampak lepas dari celah jemarinya yang bergetar. Kata jiwa telah tertuang dalam buku mungil setia-nya. Kemanapun ia beranjak pergi, buku itu selalu ia bawa mengisi ruang kosong keranda biola yang selalu ia sandang. Baginya kedua benda ini laksana sara yang selalu menemani saat-saat kesendiriannya.
Tatap sinisnya terarawangi langit-langit kamar. Kalau dilihat dari adanya, nampaknya sejumlah rasa telah menyetubuhi hatinya. Entah kenapa, hampir sembilan bulan ini ia tak pernah lagi terlihat di atas panggung seperti biasanya, hal ini membuat tanda-tanya semua teman, terlebih lagi para fansnya yang merasa kangen akan dawai dan petikan Guitar Tremellownya. Hari-harinya ia lebih suka menyendiri dalam kabin ini, dan di sini iia hanya menghabiskan waktunya untuk menuangkan sejumlah rasa melalui biola yang tak pernah absen ia mainkan setiap bangun pagi, usainya selalu ia tutup dengan menulis kata dan angka-angka tak jelas. “The more the has, the more hewants” menjadi bagian dari prinsipnya.
Sejumlah alat musik sederhana melengkapi isi ruangan yang selalu nampak berantakan. Tak lama dari itu jemarinya menari melambaikan genggaman pasta di atas hamparan warna kanvas yang beracak, cat Marie’s yang ia gunakan berlepotan ke mana-mana. Seiring dengan lima batang hisapan rokok terakhir yang masih melekat di bibirnya, hamparan itu sudah sedikit jelas membentuk sosok wanita dengan kerudung hitamnya. Wajah empat bulan embrio dalam uterus, membegroni sosok dengan lilitan rantai angka-angka desimal. Sebaris angka kalender hari ini menjadi finishing dari lukisan itu.
Begitu joroknya dia, terkesan saat menyerbet tangannya yang masih berlepotan cat itu ke celana jeans-nya. Hampir satu bulan ini, kostum yang dia kenakan tak pernah ganti, satu-satunya jaket kesayangannya yang masih tampak melekat di badannya itu sudah kelewat kumal dan dekil oleh sejumlah debu penjuru tempat yang pernah dia hinggapi.
Terlihat jelas di belakang pundak jaketnya, telah menalar sayatan rapuh tak tak beraturan arah. Selang-seling jahitan sumbuh kompor itu telah satukan kembali sayatan oleh jemari tangannya. Entah apa makna dari semua ini, semakin kotor dirinya, kepercayaan dirinya-pun makin bertambah. “Apakah orang itu benar-benar seorang seniman, atau memang dia sudah senewen lantaran tak muatnya lagi Image di otaknya?” semua orang yang ada di sekitarnya bertanya dengan soal yang tak jauh berbeda, hingga pertanyaan-pertanyaan itu diwarnai dampak positif dan negatif atas adanya. Tapi dia cuma nyengir bodoh, tak peduli pada soal-soal itu. Tapi kenapa dia drastis berubah dari yang mereka kenal sebelum ada-nya? Dan apa yang menyebabkan ia jadi begini?
Saat ini, tak ada lagi di kepalanya tentang kebenaran yang bisa ia benarkan, hingga ia pun merasa bingung untuk mencari tahu apa itu arti kata dari “Benar”, dan kata itu pula yang menyebabkan kata popularitas tak ada lagi ada di benaknya untuk digapai. Yang pasti, sekarang ia hanya menginginkan ketenangan serta kedamaian, walau harus melintasi hening gerhana jiwa, dawaikan biola atas jeritan hatinya yang lara.
Ia pun mulai berusaha mengerti, dan bersungguh-sungguh untuk menguasai pikiran, dan apa yang ia rasakan hingga detik ini tidak lain hanya untuk mencari tahu dimana keberadaan daya yang ia miliki selama kesadarannya, setelah dirinya berhasil merakit realitas-nya sendiri.
Tlah kubunuh hatiku agar aku tak lagi merasakan luka
Namun aku masih merasakan sakit saat arwah hatiku gentayangan dan masuk kembali kedalam tubuhku
Lalu hatiku berkata pada zasadku
bahwasanya luka itu bukan terletak pada hati
Tapi terletak pada mata saat menyaksikan cinta dimutilasi
Hingga akhirnya aku tak lagi memiliki cinta
Karena cinta itu tlah mati
Dan….
Sakit itu juga terletak pada telinga saat sebilah kata menyayat-nyayat leher jiwa
………………………………………….
JIWA
Tenggelam dalam ludah zaman
Mendamparkan hidup di pinggir lidah
Dimana realita menguliti nurani
Jiwa
Masih adakah harga diriku buat hari esok
Sebab surga kita terletak pada harga diri yang tersisah
Jasad jasad kekecewaan telah termurni dalam sejarah
Pada saat purnama tiba
Kutumbalkan perasaan
Kutumbalkan jiwa
Kutambalkan air mata
Agar arwah sejarah cinta tak bergentayangan
Lata latamu melata lata
Melatalah melatalah atas ketulusanmu menjahit keyakinanku
Akan kulumat ketidak berdayaanku
Meski Asmara Teramputasi
Jiwa
Masih adakah harga diriku buat hari esok
Sebab Surga kita terletak pada harga diri yang tersisa
“Terkadang aku bosan pada puisi-puisi, karena puisi tak pernah wujudkan kata-kata, hingga kata hanya memumi dalam keranda jiwa laraku, dan mengambangkan prasasti peradaban khayalku. Tapi..., tapi kenapa hatiku tak mau henti untuk meramu sejumlah kata? Karena lisanku selalu lata atas rasa yang memang harus kujadikan kata-kata,” tutur hati dengan tawa kosong mengeruti kening. “Ya Tuhan! sepertinya imajenasiku telah kering, kejeniusanku telah runtuh, dan semua itu terkunci dalam kata-kataku sendiri yang kini tlah tepenjara hati,” lanjutnya sambil tertawa kosong, merengutkan dirinya sendiri yang terpaku pada bayangan dinding. Rambut panjangnya yang tampak ikal terpadu kumis dan jenggotnya yang menalar liar, seliar kata hatinya, tapi tetap saja menjadi pemanis dari adanya yang hitam manis.
“Jutaan di kepalaku, ribuan di kantongku, recehan di tanganku kering di tempat banjir, kuda Hitam tanpa rumput diikat di tempat kering itulah aku. Cinta…, cintaku kini telah pergi, surgaku kini telah pergi sebelum aku cium bagaimana aromanya surga, dan jejak dosaku belum tentu terhapus begitu saja oleh tapak surganya, karena setiap nafas yang keluar masuk dari kedua pintu ini, selalu mengiringi dosa dan pahala yang belum pernah aku mengerti. Selamat tinggal ibu! aku telah pesankan cahaya pada Pengrajin Semesta agar selalu terangi pusaramu. Ibu...! tak ada cinta lebih selain dirimu, walau suatu saat nanti jiwaku jatuh ke pangkuan seorang gadis, dan mungkin hanya kamula arti sebuah kasih yang kuartikan setelah gadisku tersebut nama seorang ibu. Ini bukan karena Matematika kuno yang mengajari aku satu tambah satu sama dengan dua, dan tidak boleh tiga dari buah cintamu, karena pintu sakitmu membuka awal hidupku,” gerutu hatinya, tatap sipitnya mengiring senyum ke arah lukisannya.
Awan yang hampir saja terlukis seperti spiral itu akhirnya berpusar seperti gambaran torpedo, tapi kelihatannya masih menimbang-nimbang, apakah akan bertahan di udara, atau akan melintasi bumi, setiap detik lukisan itu selalu saja berubah wujud, mungkin karena angin mau bersahabat pada malam yang mungkin sepintas penuh makna bagi setiap jiwa yang menjiwai adanya.
Tidak begitu lama dari putaran menit, akhirnya gumpalan awan yang hampir berbentuk love pekat itu mengandung air, dan sirami Kota Situbondo. Sebuah kabupaten mungil yang menarik akan julukannya, “KOTA SANTRI”. Jalur timur lintas Jawa Bali ini diwarnai oleh adanya sejumlah pantai beserta pegunungan yang masih tampak gagah bersama mahkota hutannya yang meranau hijau. Salah satu pantai yang tidak asing lagi untuk dikunjungi oleh sejumlah wisatawan adalah “Pasir Putih” iyah itulah nama pantai itu, pantai itu berada tepat di bawah kaki gunung Putri Tidur. Tinggi rendahnya sejumlah villa yang nampak berjajar itu bak sepatu gunung yang menghiasi kakinya. Lembutnya setiap nada angin saat ini membelai mesrah layar nelayan, hingga jajaran lentera sampan cukup menerangi kalbu mata ikan yang merindukan datangnya Purnama.
Lamunan Awank langsung tersentak. Suara histerispun terdengar perlahan keras setelah pintu kamarnya yang tak terkunci terbuka oleh adiknya yang bernama Dedy. Dedy biasa panggil nama untuk kata sapaan pada sang kakak, begitu pula sebaliknya.
“Haii..., hallow... hallow..., hallowww, Wank! Maaf yee..., kalau ane udah buat lamunan ente bhuyar,” sapa Dedy tak terjawab olehnya, namun ia nampak menahan tawa dari balik senyumnya setelah Dedy nampak berekspresi ala banci. “Oh iya Wank! Ada telpon tuch dari temanmu,” gerutunya sambil petikkan jempol di depan sepasang matanya yang masih terpaku kosong. “Siapa?” singkat Awank dengan suara beratnya, perlahan kepalanya berputar ke arah Dedy. “Enggak jelas tuch, katanya si… dari Bandung.., tapi aku kaga tau siapa nama orang itu, katanya lagi sih… entar lagi dia mau call lewat handphonemu aja. Mangkanya kalau punya HP itu aktifin dunk….,” jawab Dedy penuh tatap soroti isi kamar. Walau hanya diterangi oleh cahaya lampu temaram, namun cukup jelas untuk di lihat adanya sejumlah buntung rokok dan buramnya perkasan kertas berserakan di mana-mana menyertai penaknya suasana kamar yang penuh sesak. Perlahan tangan Dedy meraih satu lembar kertas dari lembaran yang sudah dipenuhi corat marit angka-angka yang nampak tersusun di atas kecapi, mungkin saja angka-angka yang tertulis itu adalah symbol dari intonasinya, atau bisa jadi bukan. Saat iini, gelengan kepalanya itu tertuju pada Awank yang menurutnya selalu saja kosong, dalam hati ia selalu berdialog sendiri, kenapa makin hari sikap Awank makin aneh, dan bisa jadi hal ini memalukan keuarga.
“Wank! Sampai kapan sich kamu akan hidup dengan sejuta andai-andai, heeem? Sudah kaga pernah mandi, bisanya cuma cuci muka doank, itupun kapan kamu mau. Masa sich Wank, ngurus diri sendiri ajach kamu kaga bisa, apalagi ngurus orang!” celoteh Dedy beserta gerak jemari tangannya. “Aku pwaling kaga suka ngurusin orang, karena itu cikal bakal jadi urusan,” Awank potong bicaranya dengan sebatang rokok yang ia nyalakan. “Baguslah kalau gitu, tapi sampai kapan kamu akan terus menghayal? Hidupmu dari kemarin tak ada ubahnya untuk hari ini, dan... apakah kamu termasuk orang yang beruntung?” tanya Dedy hampiri Awank, expresinya mulai berusaha untuk membendung emosi Awank lantaran dirinya sudah pasti bisa baca perubahan warna mimik wajahnya yang mulai tampak sedikit berubah. “Hayy bocah cilik, sini kamu, sini sini... iya ke sini,” tegas Awank, dengan kepalanya yang sedikit merunduk dan matanya yang berkedip lirik tajam. Tanpa basa-basi lagi Dedy langsung hampiri Awank dengan menilai positif adanya. Namun setelah dirinya berada tepat di sampingnya, Awank malah diam tanpa kata.
“Tolong kamu ingat yach! Dan perlu kamu tahu, bahwa semua khayalan yang aku punya adalah bagian dari cita-citaku.” Singkat Awank berbisik jelas ke telinga Dedy. Segumpal asap rokok yang baru saja keluar dari mulutnya mengitari kepala Dedy. “Iya iya iya, aku ngerti, aku ngerti kok` apa yang kamu maksud, tapiii...! ada tapinya niih, tanpa usaha dan do’a, apa sejumlah khayalanmu itu ada yang terwujud? Pikir dong Wank… pikir… dipikir, karena yang aku tahu hanyala logika Wank, dan hingga saat ini aku belum bisa pahami adamu,” Dedy tampak semangat dengan kata-katanya setelah melihat adanya Awank yang menurutnya akan mengerti. Apalagi selama ini kamu hanyalah seorang penganggur yang kerjanya hanya melamun, menghayal dan ketawa sendiri, tanpa ada yang dilihat dan melihat. Ich, hii... sory ya Wank, aku kaga mau loow... punya seorang kakak menjadi gila lantaran tingginya satu khayalan belum bisa digapai, entar apa kata semua orang dan teman-temanku, jika hal ini benar-benar terjadi,” lanjut Dedy tampakkan expresi, bahasa tubuhnya mulai ikut berdialog, namun Awank menangkapi semua bahasa yang Dedy bahas. “Woyy..., jangan kamu pikir aku diam itu tidak bekerja yah, dan kenapa kamu mesti malu sich Ded? Orang lain aja kaga pernah merasa malu sama kita, bukan? Ded! Sekarang saatnya perlu kamu tahu, bahwasanya karya itu mahal nilainya dibanding harga karya itu sendiri setelah terujud, dan hal itu sudah aku dapatkan dari semua bahasa yang kau tamparkan padaku. Oke oke oke...! saya akui, sayaaa akui, kalau aku ini memang seorang pengangguran. Tapi aku tidak akan pernah merasa malu sama semua orang, terlebih lagi sama semua temanmu, aku hanya merasa malu pada diriku sendiri Ded, jika suatu saat nanti, semua jiwa akan pekakkan telinganya sendiri untuk mendengar lagu dan dawai biolaku lagi, dan butakan matanya untuk menyaksikan isi hatiku yang terlukis disejumlah kanvasku. Iya Ded, iya, karena warna warni goresan yang terhampar diatas kanvasku itu akan menggores hatiku karena adanya sebuah warna relita yang So akan buramkan rangkaian takdirku.” Tegas Awank sipitkan mata seiring mimik yang mengerut, “Seberapa besar sih Ded Cita-citamu, hem?” lanjutnya sambil mengusap keras-keras mukanya dengan lima jemarinya. “Wank, tidaklah penting untuk kau tahu seberapa besar dan tingginya cita-cita yang aku punya, tapi yang penting bagiku pribadi adalah, siapa sih saya ini sebenarnya. Maka dari itu, sekarang aku harus memilih, apakah aku harus menguasai sikap dan emosiku akan cita dan khayalku, atau sikap dan emosiku yang suatu saat nanti bakal menguasai aku,” jelas Dedy membuat Awank diam dibalik ronanya yang masih bertahan. Tapi Dedy masih dalam tanda tanya, apakah ia diam marah, atau mungkin dibalik adanya ia mengerti dengan kata sindirnya. “Wank, kamu marah yah, hem? Atau…. Kamu udah benci ama aku, atau… mmm… ngomong dunk Wank…” lanjutnya diiringi senyum. “Ded, aku memang punya hak untuk marah, tapi itu bukan berarti aku harus benci dan egois, terkecuali kamu mau mengerti.” Awank.
Awank langsung beranjak meraih biola yang tampak terbaring dalam keranda tak tertutup itu. Sejenak ia kerutkan dahinya, hingga sepasang alisnya hampir saja menyatu, dan jendela sinis matanya menitik pandang llangit – langit, dan senyum tipis beratnya membuka awal dawai biola yang ia mainkan. Makin lama terdengar, kecepatan dawai itu kolaborasikan gesekan dengan empat petikan senar, “Sunblind” judul yang ia mainkan. Hal ini membuat bulu kuduk Dedy mendadak merinding setelah melihat aksi biola yang Awank mainkan beserta ngos-ngosan emosinya. seperti nonton film horor dikeheningan, itulah yang Dedy rasakan saat ini, dan iapun mulai timbul rasa GR-nya karena ia merasa adanya semua itu tersaji untuk dirinya yang berhasil membuat Awank emosi untuk mainkan biolanya, karena entah berapa lama biola itu nyaris tak berdawai seperti detik ini. Tidak llama dari putaran menit, ia langsung letakkan biolanya di atas piano mungil kuno sedikit agak keras, hingga sepasang Cecak yang tadinya nampak romantis bersama pasangannya itu mendadak buyar akibat hentakan biola yang menggema.
“Jadii…, jadi perlu kamu tahu ya Ded! Selama ini aku bekerja hanya melalui pikiran, dan bagiku musik adalah pekerjaan hati, maka hati-hatilah kamu jika menilai adanya aku kemarin, sekarang, dan untuk hari esok. Tentunya kamu lebih tau bukan? Kalau kerja pake’ otak itu lebih mahal harganya dari pada otot yang bernilai,” tegas Awank sambil menghembuskan nafasnya kencang - kencang. “Dan keduanya cukup penting juga, bukan?” tegas Dedy tak mau kalah. “Pasti”, singkat Awank, sembari langsung berarah menghadap cermin, seolah-olah dirinya berdialog dengan cermin itu, tapi sorot matanya masih tertuju pada Dedy. “Ded, biarin aja semua orang menganggap aku gila, dan perSetan dia mau bilang apa, karena semua jiwa memang mempunyai penilaian di mata jiwa-jiwa lain, walaupun tidak sejiwa dengan jiwanya sendiri,” jelas Awank dengan tatap penuh keseriusannya, tapi Dedy belum begitu jelas untuk pahami apa yang dia katakan, mangkanya dia tak membantah. “Tapi..., tapi aku selalu yakin Ded! Bahwa suatu saat nanti orang itu akan tahu dengan sendirinya, siapa aku? Dan siapa dia di balik kegilaanku sekarang,” lanjut Awank bersama gemuruh bahaknya membuat Dedy merasa bingung mengiringi denyut jantungnya. Sejumlah tanda tanya dalam hati Dedy tak henti-henti untuk temukan jawaban pasti dari jumlah katanya.
“Kalau sekarang Awank memang benar-benar sudah tidak waras lagi, tapi kenapa kesadaran dia dalam berucap belum juga merubah sikap adanya? Ia sadar, ia sadar atas apa yang ia omongkan, dan cukup tangkap terhadap lawan bicaranya walau teralih jawab oleh jumlah bahasanya, tapi kenapa?” Dedy hanya bisa tertawa dibalik jumlah tanya hatinya. Sambil menatap expresi Awank yang tidak jauh beda dengan expresi duka. Dedy langsung menurunkan tangannya ke pangkuan dan duduk diam. Ia masih bertahan dengan tatapnya lekat-lekat. Nampak jelas kalau sekarang ia berusaha keras membaca getaran bibir Awank dan apa-apa yang diucapkan-nya hingga kini. Ia mengira-ngira kedalaman makna dibalik bahasa katanya, dan menilai infleksi dari expresi Awank yang berubah-ubah sesuai dengan lisan dan bahasa indranya yang berdialog.
Baginya ucapan-ucapan serta expresi Awank tadi bagaikan sebuah pertunjukan Teater Monolog yang menerangkan adanya, sarat emosi yang merefleksikan pikiran beserta rasanya yang berpalung hati. Gemulai jemari tangannya bagaikan perpanjangan jiwanya, dan Dedypun jelas-jelas tambah enggak ngerti apa makna dari semua itu, tapi cukup mengerti bila ia baca dari tatap mata merahnya yang mulai tampak berkunang. Dedy terpaksa melakukan hal ini, sebab menurutnya pernyataan kata jiwa Awank tadi takkan bisa ditandingi oleh bahasa verbal apapun, dan ia akui bahwa dirinya terlalu awwam untuk mendebatnya.
“Wank...! sory ya kalau dari tadi aku!!! aku udah buatmu marah, tapi itu bukan maksudku,” serak Dedy dengan mata sayunya yang sudah terlihat agak merah, sembari langsung peluk Awank erat - erat setelah ia nampak termangu dalam berucap. “Wank! Aku hanya ingin kamu menjadi Super Star-nya violin, dan kembali hidup normal layaknya orang-orang yang selalu tampil rapi dan cukup meyakinkan atas adanya,” gerutu Dedy dalam hati. Sedikit terlihat pada mimik rona-nya, sekarang air matanya tak mampu terbendung, hingga pelukan itu llepas dengan sendirinya.
Nampaknya kedua insan ini memang tak pernah lepas dari pasang surutnya sebuah keakuran kata dibalik sikap. “Oh iya Wank! Kalau aku boleh terus terang, otakku ini sulit lo Wank untuk mencerna setiap katamu yang terucap, tapi ya mau gimana lagi. Aku hanya inginkan kamu mau, mau kembali hidup seperti dulu lagi, seperti awal kamu bilang padaku bahwa suatu saat nanti kamu tidak akan kemana-mana tapi ada dimana – mana atas sejumlah karyamu, itu aja kok Wank.Hiduplah secara wajar, karena kita hidup di dunia nyata, maka hiduplah dalam kenyataanmu dan nyatakanlah semua khayalanmu itu. Wank! Hidup ini bukan sekedar mimpi loh Wank, dan saya harap mimpu tak mengalahkan akal sehatmu. Wank, aku merasa kasihan sama kamu Wank, jika hidupmu terus larut seperti ini dan tak mau berubah seperti awal semangatmu meraih khayal dibalik harap usahamu dulu,” tegas Dedy, dan dengan perlahan bahasa tubuhnya ikut berdialog. “Jadi…, jadi menurutmu selama ini hidupku tak wajar, begitu? Setinggi apa sich impian kamu Ded?” expresi Awank terkesan sedikit agak emosi, hingga putaran rokok diantara apitan jemarinya itu semakin cepat, secepat kata-katakatanya. “Urus aja dirimu sendiri kenapa sich Ded? Kamu tak perlu capek-kan diri mengurus aku, karena setiap orang punya aktivitas masing-masing, dan kamu tak boleh iikut campur semua urusannya selagi dia tidak melanggar norma-norma yang ada, dan tidak saling merugikan. Detik ini aku tak butuh kasihanmu maupun orang lain, karena detik ini yang aku butuh hanyalah cinta cinta cinta dan cinta aku jika kamu mau mengerti aku Ded, karena kasih sayang ada dalam cinta, dan aku tak mau dicintai atas dasar kasihan yang mendasari karena adanya aku.”
“Ded…! bukankah kita adalah perancang mimpi kita sendiri, setelah kejap mata tertutup, lepas kejap mata terbuka adalah adanya kalimat takdir penjawab usaha dan do`a kita sendiri. Dan bukankah status kita adalah pengarang, selepas kita menulis jumlah kalimat khayal dengan ini, ini Ded,” lanjutnya sambil membuka katupan jemarinya, dan disetarakan-nya ketatapan Dedy. “Tangan ini Ded, tangan ini adalah penamu yang bergaris banyak arti tapi entah apa artinya sebuah garis diantara banyak garis yang terdapat diseluruh tubuhmu. Yang pasti, arti itu ada pada pilihanmu.” Lanjutnya.
Dedy tak dapat bantah katanya lagi, karena menurutnya apa yang barusan Awank katakan serta gerakan-nya itu sedikit agak menyentuh hatinya, walau ia kesulitan menuju aras untuk berpikir adanya.
Tanpa basa-basi lagi sembari langsung meraih salah satu kertas yang tak tersusun rapi di atas piano kuno itu, namun rasa deg-degkan dibalik dadanya belum juga normalkan sikap. Hingga detik ini ia mulai berpikir bahwa berbicara sama Awank sama saja dengan membuang-buang energi, karena Awank selalu saja tak mau kalah dengan lawan bicaranya. awank tampak beranjak membelakangi Dedy yang sudah begitu lama tak bersuara, dengan perlahan diraihnya pundaknya. “Ded..! sory ya kalau aku udah terlalu kasar ngomong makamu, kamu maukan maafin aku, Barusan aku khilaf mensponitaskan kata hatiku, kamu mau kan memaafkan aku, Ded? Dan maukah kamu berjanji padaku Ded? Bahwa kamu tak mau lagi banyak tanya tentang kepribadianku?” Awank langsung meraih jemari Dedy, dan ditempelkannya lekat - lekat ke dadanya. “Please Ded, maukah kamu berjanji untuk kali ini dan seterusnya?” lanjutnya. “Oke... bos! Aku janji, tapi..., bolehkah aku bertanya satuuu.. kali aja?” Dedy tampak gemmes dengan satu lembar kertas yang ia kipas-kipasi sejajar dengan tatapnya. “Kamu mau tanya apalagi, hemm...?” ucap Awank, sembari langsung menuju rokok yang ada di atas piano, dan dinyalakannya. “Mengenai tulisan yang kamu buat ini, apa sich maksudnya Wank?” Dedy kembali bertanya sambil membaca isi kertas yang masih ia pegang setelah hampiri Awank yang tampak duduk di hadapan cermin. “Sekejap mataku tertutup, aku bisa saja berada di Bintang, Bulan, Matahari bahkan sejumlah Planet yang ku kenal hanya untuk pahami sejumlah makna peran dalam prasasti peradaban adanya yang berotasi,” kalau menurutku siih…, kata ini terlalu dwalem banget Wankkk!
Wank! Kalau bikin syair itu yang mudah dikonsumsi otak dunk..., dan alangkah baiknya jika setiap lagumu menjadi terapi buat motivasi pecintanya, gimana? Karena hidup ini kan tak hanya cukup dengan katalimat Dogma, dan apakah itu termasuk Agitasimu, ya Wank!!!?” lanjut Dedy dengan expresi yang sedikit tampak melucu. “Kamu ini kenapa siih..., dari tadi banyak tanya, kalau kaga ngerti jangan nanya terus dong..., urus saja dirimu. Kamu ini kayak cewek ajach Ded,” tegas Awank kerutkan hidung hingga matanya tampak sipit. “Tapi... akukan pengen tahu Wank, dan kalau bukan ama kamu, sama siapa lagi aku harus tanya, ini kan karya kamu..., dan untungnya kamu adalah kakakku,” lanjut Dedy expresi membujuk, rona matanya sedikit nampak menggemeskan Awank yang lagi nyisir rambut gondrong ikalnya dengan cengkreman lima jemarinya kedepan. “Iya iya iya iya..., aku jelasin ya anak cantix yang cerewet.…, hehehe, salah ya, maksudnya adalah…, hanya dengan kata-kata ini aja aku dapat melintasi adanya, yaa... paling-paling hanya lewat laguku aja aku bisa mengitari semua adanya peradaban kata itu, tapiii... walau syair ku bisa melintasi adanya semua itu, aku kan tetap ada di sini Ded, dan tetap mengakari Bumi hingga suatu saat nanti bumi akan mengakari aku dan aku harap akan berbunga satu nama baik. Dan perlu kamu tahu Ded, bahwasanya segala sesuatu yang ada di Semesta ini adalah energi, setelah kita berpikir adanya” Jelas Awank dengan suara beratnya, tatap tajam matanya menatapi dirinya sendiri lewat bayangan cermin, dan banyaknya asap rokok yang baru ajah tersembur dari mulut-nya hampir saja menghalangi bayangan itu yang tampak mewarnikan cahaya temaram lampu dari langit-langit terlukiskan abstrax, hingga sedikit tampak kabut selimuti salju bayangan cermin.
“Ded, ketika kita dengan sekejap menggunakan potensi, dan dengan penuh kita merasa emosional ambang pikir lantaran sebuah rasa yang menyebabkan kita berjuta rasa, maka, saat itulah kita mampu pergi kemana….. saja yang kita mau, dan saat itu juga,kita dapat melakukan apa saja yang kita inginkan untuk mencapai segalanya.” Lanjut Awank menutup kalimat-nya dengan mencoret marit mukanya sendiri dengan api rokoknya lewat cermin, dan ia-pun mulai terdengar tawa berlirik tangis.
“Wauu, bahasa apalagi yang ia pakai? Dan kenapa gini jadinya, yah? Baru…..aja aku omongi, eh’ emang payah dech pokoknya kalau ngomong ama makhluk yang catu ini ni. Padahal hatiku sudah terlalu hati-hati untuk ungkap-kan kata hatiku, masih juga salah…., ah, sudalah,” gerutu Dedy dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa kualahan setiap kali ngomong dengannya, terkadang omongannya selalu membuat jengkel, dan kadang juga bikin dirinya kepikiran.
“Kamu pernah dengar kaga, lagu yang syairnya ginini gini, katanya sihhh… dia dapat melukis laangit’ bahkan dan pelangi pernah dengar kaga...? kalau dia bisa, kenapa aku enggak? Tapi aku kagum padanya Ded, dan aku sangat menjunjung tinggi karya orang itu, tapii..., aku merasa kasihan!” jelas Awank dengan ucap beratnya. “Kasihan, kasihan sama siapa Wank?” tanya Dedy dengan satu telunjuk yang tampak mengapit pipinya, “Yaa... sama bidadari itu, bidadari yang biasa turun ke bumi lantaran indahnya tingkatan warna warni pelangi itu sendiri, tapi seandainya saja nanti pelangi itu hitam karena tumpahan warna sebuah kata kalimat nyata, apakah bidadari itu kaga kecewa ya nantinya? Dan gimana tentang nasibnya entar ya? Pelangi itu sendirikan hanya symbol cerita dongeng, ach tapi sudahlah, iitu bukan urusanku,” tanya Awank membuat Dedy kembali bingung, kenapa dia jadi ngawur gini yah, dan omongannya selalu saja melenceng dari persoalan tanya jawab yang tak pernah searah. Yang pasti sekarang Awank sudah berubah total dari sebelumnya, hingga semua keluarga, dan para sahabat yang mungkin tidak sejiwa dengannya beranggapan pasti kalau Awank sekarang sudah benar-benar gila. Dari penampilannya aja, Awank sudah tidak jauh beda dengan orang yang tidak waras yang sering kita jumpai di lorong-lorong tanpa tujuan pasti, tapi apa mungkin sekarang Awank sudah benar-benar gila, kalau sekarang dia memang sudah nyata gila, kenapa memory dibalik frekwensi otak-nya selalu tajam untuk semua hal yang biasa ia kerjakan. Bahkan makin hari karyanya makin deras, sederas aliran darahnya yang menghanyutkan warna-warni perasanya menuju muara kalimat kata hati.
“Ded! Kenapa kamu kaga jawab? Kamu dengar kaga sich apa yang aku omongkan dari tadi? Apa kepalamu sudah tidak bisa menyerap apa-apa lagi dari setiap kataku?” Awank langsung beranjak sambil mengenakan kalung dari bulu-bulu ayam yang sudah tak asing lagi untuk ia kenakan. Di mata orang penilaian untuknya semakin aneh dan cukup tak masuk akal saat rambutnya diikat ala pendekar Jepang bersupitkan bulu panjang terlilit kable merah-hitam, dan anting-anting jepit yang baru saja ia kenakan itu sudah penuhi tepian llingkar sepasang telinganya. Anting - anting itu ia ambil dari kepala korek gass murahan yang biasa jadi pengaman dari adanya terjangan angin. Yang jelas tak masuk akal atas apa yang ia kenakan detik ini, tapi justru disitulah letak dari kePD-annya sekarang untuk jumpa hari esok.
“Iya, iya... aku dengar, aku dengar kok Wank! Bahkan aku udah beli kasetnya tuch, abisnya lagu-lagunya bagus-bagus bwanget sih...! karena aku juga sangat menjunjung tinggi karya orang Wank, dan aku sangat bangga pada semua anak mudah yang hidupnya penuh kreatifitas, dan selalu berpikir positif ke depannya, hal itu patut kita jadikan contoh untuk generasi penerusnya untuk memberi satu nama baik. Andai saja kamu bisa seperti itu, entah seperti apa ya perasaanku sekeluarga nanti? Dan pastinya nama keluarga kita akan harum di seluruh penjuru,” expresi Dedy seolah-olah ikut berkomentar untuk memotivasikan Awank, walaupun saat ini ia nampak cuex besrta pernak perniknya. “Achhh... hahaha... kamu ini ada-ada aja, emangnya dari dulu kaga harum apa? Entar deeh... tunggu aja tanggal mæn nya jawab Awank sambil mengelus rambut Dedy hingga kusut. “Nahh, gitu dong, kan agak bæk kedengarannya, palagi kamunya mempersingkat waktu untuk menyatakan katamu Wank” tegas Dedy sambil petikkan jempol. “Wank, please... kalau bisa kalung itu lepas dunk...! dan gantilah busanamu, agar sedikit nampak baik gitu, kan malu kalau dilihat orang, yang wajar ajalah Wank. Apa sich Wank, maksud dari busana Xtreme-mu ini? Wank hanya jiwa yang berjiwa senilah yang bisa mengerti semua gaya, expresi dan juga bahasamu. Di sini hanya kota mungil Wank, dan tidak semua orang mengerti maksud adamu,toh walaupun kamu sekarang ada di Bandung sekalipun, aku yakin, bahwa orang awam seperti aku, pasti merasa takut melihat penampilanmu, apalagi untuk mendekat,” Dedy terus ngotot tanpa henti, sepasang tangannya naik turun seirama dengan kata-kata yang terus menerus berusaha untuk menampar samar hatinya, bangkitkan jiwa Awank yang mungkin telah lama mati.
Awank tak pedulikan celoteh Dedy, ia hanya diam menahan tawa dengan masa bodohnya, namun entah kenapa, tawa Awank itu mendadak lepas dengan suaranya yang sangat menggelegar, dan mendadak hentikan omongan Dedy. “Ded..., udah udah..., please.. jangan kau terusin lagi, aku udah muak mendengarmu yang secuilpun kata tak terserap oleh otakku ini. Meskipun aku jelasin semua padamu apa maksudku sebenarnya, kamu takkan pernah mengerti, dan takkan pernah mau ngerti perasaan kesalku oleh setiap ucap katamu yang tak pernah mau menghargai adanya aku, Ded. Di Bandung semua yang aku kenal menghormatiku, tapi kenapa kamu sebagai adikku, dan keluargaku dari dulu tak pernah mendukung kreatifitasku, dan mengerti adanya aku. Saat ini aku... aku sekarang ingin jadi penjilat, dengar kamu Ded, hem? aku sekarang hanya ingin jadi PEN JI LAT. Ded! Penampilan kita boleh desa, tapi otak, tapi otak tak bolehkah Jepang, hem? ” tegas Awank langsung berdiri tegap dengan terawangan tatap soroti langit-langit yang tampak terlukis abstrax oleh air langit yang menembus langit-langit kamarnya. Tatap Dedy mendadak terpaku saat Awank mengexpresikan kata adanya. Ded, pada awalnya sebagian orang merasa iri pada kemajuan Amerika, tapi cobalah kamu pikir agar kamu lebih iri lagi kenapa dia bisa, dan setelah kamu berpikir, bisakah kamu pelajari sejarah dia menuju itu, atau bisakah kamu melebihi itu setelah jejak ada padamu? Maka penampilan bukan segala-galanya yang harus ditampilkan. Ded, jika kamu lihat di layar kaca, sejumlah warna warni kulit selalu hadir di layar kaca itu, mungkin saja di sana tak memandang adanya suku, ras, dan budaya, lebih-lebih penampilan Ded, ia hanya memandang siapa Bisa bisa jadi begitu, dan semua itu akan jadi pemersatu ketika Daya dukung merangkum siapa saja yang bisa dirangkul. Ded, apakah selama ini menurutmu hanya lantaran penampilan yang tidak berbobot tak mampu meraih nilai bobot? Tidak Ded, yang saya tahu hanyalah kata “Bisa” dan tampang bukanlah segalanya.”
Ucap Awank kembali panaskan hati Dedy, tapi menurutnya ini emang realita yang mungkin terjadi pada Zaman ini yang serba pakai duit untuk mencari duit setelah berkeringat, dan dan iapun mulai mengulang semua cerita tentang perjalanan dia bermusik ama Dedy. Tapi kemahiran dia dalam cerita ini membuat Dedy penuh tanda tanya, apakah yang ia ceritakan berdasarkan realita, atau tidak? Kalau memang iya, dia memang seorang musikus, tapi jika tidak, dari SMT dia memang suka menciptakan syair lagu, dan ditunjukkan-nya semua karyanya lewat ngamen dalam bus kota antar kota. Tapi Dedy masih menimbang-nimbang atas perjalanan ceritanya tadi. Hingga detik ini, Dedy masih diam terpaku dengan ingatan masa lalu antara mereka berdua yang pernah sedikit tragis dan tak masuk akal.
“Ded, kenapa kamu nangis?” tatap Awank terpaku pada tatap matanya, dan satu diantara jemarinya meraih pipi Dedy yang membasah. “emm... enggak kok Wank, siapa yang nangis? Dedy mengusap pipinya dengan lengan bajunya. “Jangan bohong Ded! aku tau, kalau baru saja air matamu menghujani kemarau pipimu,” Awank langsung letakkan biola itu ke pangkuannya. Saat ini mereka berdua tampak duduk di lantai yang hanya beralaskan permadani. “Ded!, kamu kaga usah merasa malu untuk menangis, menangislah jika hatimu memang tak kuat lagi membendung air di balik mendung matamu,” tegas Awank sambil mengambil guitar yang berada tepat di sampingnya, lalu memetiknya. “Ded, jangan biarkan air matamu membeku dan mencair seketika sunyi, dan menangis itu bukan saja milik wanita, karena siapa saja pasti pernah merasakan tangis, Ded... perlu kamu tahu, bahwa menangis bukan berarti cengeng, karena cengeng adalah sifat. Lahir, mati, suka duka selalu ada tangisan. Ded! Aku jadi ingat masa-masa STM dulu, dan ini patut kujadikan contoh untuk kamu. Saat aku berhasil meraih Tropy bergilir dalam festival musik pengamen jalanan malam itu, tahu kaga` kamu Ded, ibu kita menatapku dari bawah panggung, dan dengan sangat jelas aku melihatnya penuh senyum, dan mungkin hatinya juga penuh do`a selagi aku tadinya bernyanyi, dan tiba-tiba saja aku merasakan do’a itu mengalir, hingga membuka pikiran beserta pintu hatiku. Saat kudekati ibu, dia langsung peluk erat badanku dan ciumi hamparan rona mukaku yang memerah Ded, tapi... tapi kenapa keberhasilanku membuat dia menangis? Dan air matanya itu, aku merasa, ya..., aku merasakan-nya itu Ded..., saat air matanya mulai terasa basah di pundakku. Emm... bisakah kamu menjawab tanyaku Ded, kenapa ibu kita menangis pada malam itu? Dan apakah ibu kita termasuk orang-orang yang katamu tadi cengeng?” tanya Awank, mimik ronanya tak bisa lagi diterjemahkan dengan kata-kata, karena cukup menyentuh hati Dedy. Sembari langsung meraih guitar dari tangan Dedy, dan tremollow-nya yang bertakjub IBU beserta SAATOS RAIN-nya mulai ia mainkan untuk mengembalikan semua kenangan bersejarahnya itu.
Lonceng jam kuno baru saja terdengar histeris, bak dalam film Dracula di senyap Purnama, dan ketukannya menandai kalau putaran jam telah menuju tepat pada angka delapan. Terdengar jelas, bising kenalpot itu dari garasi depan yang bersampingan dengan ruang keluarga. Nampaknya si Bapak yang bernama Zakaria bersama kedua adik Dedy yang bernama Wintry dan si Bungsu Andy Ekarianto sudah pulang dari depot bunganya.
“Ded..., Ded, coba lihat, coba lihat aku bawa apaan nich untuk kamu, kamu mau kabar baru dari Merty kagaaa? Kamu mau martabak kaga? Katanya dari semalam kamu ngidam ini, nich aku sudah beli’in tuk kamu lloh..!” teriak Wintry dari ruang depan. Sambil menunggu kehadiran Dedy di hadapannya, Wintry langsung melangkah menuju kamarnya sambil bersial-siul, dari Depot-nya tadi ia udah merasa kangen ama boneka-boneka koleksinya yang selalu setia menemani lelap mimpinya. Perlahan pintu kamarnya ia buka, wangi bunga sedap malam yang tampak cerah dari sudut dinding dekat jendela itu sudah meruang dalam kabin kamarnya ldan langsung terasa olehnya. Koleksi buku-buku di rak samping meja belajarnya menunjukkan dia adalah kutu buku. Ada banyak biografi dan buku-buku non fiksi dari berbagai topik, juga ada susunan novel-novel klasik yang tak asing lagi baginya untuk dibaca. Sejenak ia bersihkan buku-buku itu yang nampak sedikit berdebu, sembari langsung menuju ruang depan lagi bersama tas gaulnya yang selalu ia sandang setelah mencium mesrah bonekanya satu persatu.
“Ded...!! kamu dengar nggak sich, akukan udah dari tadi panggil kamu, kamu mau nggak sih ama martabak yang udah kubeli ini, kamu mau dengar kabar enak enggak Ded? Tentang Merty,” Wintry langsung melahap martabak yang baru saja ia potong. “Makasih ya anak maniss..! aku mau bwanget loh…!” teriak Dedy segera tinggalkan Awank. “Wank entar lagi kita ke Pasir Putih yuk... kita kan udah lama kaga ke sana, malam ini aku ingin mendengar dawai biolamu di sunyinya pantai, ayo dong... pleasee... kamu maukan?” tatapan Dedy mengarah ke wajah Awank yang lagi mengangguk berat simbolkan kata setuju, sorot matanya membuat hati Dedy iba dibuatnya. “Oke dech kalau gitu siapkan biolamu ya Wank? aku mau temui Wintry si cerewet itu dulu ya,” Dedy langsung tinggalkan Awank.
“Ded.. kamu dengar kaga sich? Aku hitung yach, kalau dalam hitungan ketiga kamu kaga ke sini juga, aku gagal ngasih kamu…! Pertama, kabar baik dari Merty, kedua, obat ngidammu alias martabak yang udah ku beli ini, ti..tik`.” tegas Wintry. Satuuu, duuua, tiii... tiii..” lanjut Wintry yang selalu membuat gemmes siapa ajach. Dengan kecepatan super sonic-nya, Dedy langsung melompat dan peluk Wintry dari belakang yang masih duduk di sofa itu, hingga hati Wintry dibuatnya tersentak kaget dan kesellek oleh ucapnya.
Terkesan keakraban mereka dalam keluarga tak pernah berubah, hingga semua teman dan siapa saja yang kenal sama mereka sekeluarga merasa salut atas adanya keharmonisan keluarga itu walaupun ibunya sudah lama pergi, dan apa bila mereka lagi beranjak berdua, orang yang belum mengenalnya terkesan bak sepasang kekasih yang selalu tampak romantis.
“Emm... Dedy gila Dedy gila...! wek’ gila’, Dedy gilaaa, Dedy gilaa, hem’, sudah berapa kali kamu bikin aku kaget, hem`? Ayo jawab, ya udah aku gagal ngasih info cintamu, ti..tik”, Wintry langsung menempelkan gumpalan jemarinya ke dada Dedy kuat - kuat, dan mendorongnya hingga dinding dekat pintu, ayo jawab, mau kageti aku lagi kaga`, hemmm? Awwas ya`, tak ada ampunan lagi buatmu lagi jika ampe` ini terulang,” lanjutnya, sedikit expresinya meniru ala “Kobochan”. Ia langsung turunkan tangannya, setelah melihat expresi Dedy yang mulai tampak menghumorinya. Dedy melotot iringi kata Wintry yang terucap tomboy, dan nampaknya Wintry tak kuat lagi menahan tawanya selepas Dedy pelototkan matanya dan mengapitkan bibirnya kedalam kuat – kuat lalu di hembuskannya setelah menahan-nya mirip Patkay dalam Film Kera Sakti. Ia langsung menuju ruang tengah dan nyalakan TV sambil memonyongkan bibir-nya kedepan. “Ya udah deh...! aku minta maaf nona imut imut ku yang kalau masih ngambek mirip Marmud, aku kaga akan nggageti kamu llagi, pleasee.. dech nona manis,” Dedy berusaha bujuk Wintry dengan setangkai matahari abadi yang baru saja dia ambil dari Vas keramik diatas meja. “Hichhhh... ngapusi yoooo, kamu ngapusi aku yooo, uddahlah Ded Ded...kamu merayu aku tu percuma, weeh Ded` sekarang ini bukan zamannya lagi bunga untuk modal rayu cewex, apalagi bunga-bungaan, hich’ hii…. enggak logis tau..” Wintry langsung kerutkan bibirnya setelah merindingkan tubuhnya, dan sesaat kemudian ia apitkan ke dalam. “Lantas kamu mau apa Win…?” dengan ekpresi lesu, Dedy kembalikan bunga itu ke tempat semula. “Emm..., aku mau apa ya….? Chac chac chac emm... aku mau bunga Bank aja, gimana,” lantang Wintry sambil melirikkan mata, dan bibirnya masih terlipat tomboy kayak penyakit setroke. Dengan semangat perjuangan 45-nya, Dedy langsung keluarkan semua jurus actingnya untuk merayu Wintry, namun pada akhirnya usaha untuk melumpuhkan hati Wintry berhasil juga saat tapi setelah ia gunakan jurus gombal-gambilnya, yang sedikit kayak wewe-gombel Gto...
“Oh iya Ded! Aku hampir lupa,” Wintry langsung menepuk dahinya sendiri, “tadiii, emm tadi...,” lanjut Wintry dengan serak-seraknya sambil mengunyah, dan kelap-kelipkan matanya pada Dedy. Dedy nampak ikut susah bernapas setelah melihat Wintry begitu, “Iya, iya.. tadi kan, emangnya kenapa dengan Tadi, si Tadi sakit ya, emangnya sakit apaan siTadi temanmu itu Win`?” tanya Dedy, matanya melotot meniru adanya Wintry yang masih ajah begitu, dan kepalanya tampak mengangguk-angguk sesuai katanya sambil menyantap martabak yang ada di tangannya. Penuh tawa Wintry mengejar Dedy dengan bantal, setelah ia membuat Wintry kesellek lagi, namun pada akhirnya Wintry berhasil pukuli Dedy dengan bantal-bantal yang ada di kursi itu setelah dia nampak kepeleset jatuh oleh sudut permadani yang terlipat kusut. Mereka berdua tak jauh beda dengan anak kecil yang kurang masa lalu ajach yah…. Hingga martabak yang baru saja Dedy mau makan terjatuh pas dia lagi mangap.
“Ded, ada dua kabar dari saya yang bakal kamu dengar, tapi..., tapi kamu harus janji dullu, mau janji kaga, hemm..?” Wintry petikkan jempol, tapi tak berbunyi. “Oke Win, aku janji,” tegas Dedy, sembari langsung angkat kedua jemarinya dengan symbol peace. “Sumpah,” lanjut Wintry membuat Dedy tambah penasaran dengan adanya mimik yang sengaja ia lakoni. “Gilla, pake sumpah-sumpahan segala’ Win? Itu kan dosa,” jawab Dedy, iya dech aku swerrr aja, aku janji Win, jika kabar yang kamu sampaikan padaku nanti enak didengar, aku akan traktir kamu makan, bahkan kata traktirku bisa memakanmu jika kabarmu nanti merugikan aku, gimana, hmmm...? kamu mau balik janji kaga ma aku Win,” Dedy tak mau kalah dengan apa yang Wintry katakan itu. “Kalau bohong?” tanya Wintry dengan satu telunjuk yang mengarah ke sepasang mata Dedy yang tampak kelap kelip. “Kalau entar ane bohong ama n`te ni ye… n`te boleh kutuk ane jadi... jadi jadian ama Merty deh.., gimana Win? Hemm, apakah n`te udeh siap untuk ngutuk ane,” Dedy meniru gaya Inyong dalam serial sinetron SCTV Ngetop.
Melihat dan mendengar adanya Dedy itu, Wintry tertawa lebar dengan suara lepas, dan melemparkan bantal yang ada di tangannya tepat sasaran ke kepala Dedy.
“Oke dech! Aku akan cerita, tapi... akukan punya dua cerita niii Ded, yang harus kusampaikan padamu, iitupun karena kamu mau traktir aku kan? Ia kan Ded` hoy Ded, ia kaga` hem,” tegas Wintry rada – rada jhudes. “Iya iya, Hiiiii.. ni cewek apa cewex sih, cerewet banget,” gemmes Dedy mencengkram jemarinya dan diletak kannya di pipinya sendiri. “Kamu mau dengar cerita yang mana dulu Ded, baik or buruk…?” tanya Wintry goyangkan telunjuk, tapi tatapannya tak meraih adanya Dedy yang masih terasa sesak nafas dibuatnya. “Baik!,” singkat Dedy sambil mengangkat alisnya. Wintry langsung bangkit dari tempat duduknya, ia bercerita dengan kedua tangannya yang iikut naik turun, mirip ibu guru TK yang lagi telaten ngajar muridnya di balik keseriusannya hingga menurut Dedy, itu terkesan misteri, karena Wintry tetap saja bertele-tele mirip pak Tole tukang sayur llangganan sidia kalo belanja pagi.
“Ded, tadi sore, cewek kamu tuh datang ke Depot Bunga kita, hii..., aku sangka dia mau beli bunga-bunga kita setelah banyak lihat dan bertanya tentang bunga, ternyata...! ternyata ni Ded…, kamu tahu kaga Ded, hem?” tanya Wintry. “Addhu mulai kumat lagi nih penyakit kronisnya. Ia apa Win… aku kan kaga tahu…. N bisah kagak sih Win kamu itu kaga lagi buatku sesak nafas, hem?” Dedy tampak lesuh dan tak seperti tak semangat hidup lagi. “kedatangannya tu ya Ded… kedatangannya tu cuma cari kamu doang, dan aku pikir lagi, tadinya dia mau jadi penglaris buat aku yang baru datang ke Depot pagi-pagi tadi, hicc’, hi…..i kaga taunya, ya.. itu tadi, yang katanya kamu Tadi, yaitu olangnya,” jelas Wintry dengan tangannya yang tetap begitu. “Hemmmm... ternyata ini ya Win kabar misterimu yang hampir aja buatku TBC? Aku pikir tadinya penting banget Win,” sembari langsung beranjak pura-pura kesal, padahal hatinya ingin tahu apa cerita selanjutnya. “Heee he he... kamu mau kemana? Tunggu dulu, itu baru kabar burukku,” jelas Wintry setelah meraih tangan Dedy, “Loh’, aku kan mau dengar kabar baikmu, kenapa kabar buruk itu yang kamu ceritakan duluan, hem? Ooh..., aku tau sekarang, aku tahu, kamu lagi marah yooo, karena si Tadi itu kaga jadi penglaris bungamu, iyakan...? hahaha…, jadi setelah si Tadi itu ke sana, kamu belum juga dapat penglaris dooong, yakan?” Dedy langsung duduk di kursi seperti semula sambil mengelabui Wintry, lututnya terangkat sambil menahan tawanya dengan bantal yang menutupi mukanya. “He’ dengar dulu Ded, ceritaku masih panjang, kamu jangan langsung ngomong dan mikir yang enggak-enggak dulu ma aku, aku justru sibuk mulai si Tadimu itu pulang, karena saking banyaknya pelanggan, hem..’ untung ajah siTadimu itu lekas pulang, kalau kaga, ya uda udah udah aku kaga mau bahas lagi.
Oh iya Ded,” lanjut Wintry. “Apalagi,” singkat Dedy mentahkan katanya. “aku hampir lupa Ded,” ucap Wintry sambil menepuk dahinya sendiri. Ded, siTadimu tadi…. ngasih sesuatu untuk kamu, dan karena siTadi kaga ketemu ama kamu, siTadimu nitip pesanan-nya ama aku n sekarang titipan itu ada ama aku, kamu mau kaga, hem? kalau kamu kaga mau ya udah besok aku kembalikan lagi ini pada siTadi, dan aku hanya bisa bilang deh padanya, maaf mbak Tadi yeee, Dedy kaga bisa tuh, terima titipan mbak ini, gampang kan Ded! Dan kamu kaga bakalan dengar lagi apa ceritaku ama dia, hem’,” celoteh Wintry baru mau serius Dedy dengar setelah Wintry berpura beranjak pergi menuju kamarnya.
“Lantas, kamu tadi ngomong apa aja tentang aku Win? Dan dia ngasih apa sich buat aku? Kayaknya jadi dech, aku jadi dehh nraktir kamu makan, gimana Win?” tanya Dedy setelah menghentikan langkah Wintry yang mulai tampak jauh dari posisi sebelumnya dan hampir saja tiba di depan pintu kamar. “Hiyy... kalau ada maunya, hem’,” desah Wintry langsung memonyongkan bibirnya, tatapannya tanpa melihat adanya Dedy. Tapi akhirnya Wintry mau cerita juga setelah Dedy meraih dompet disaku belakang celananya, dan memberinya uang puluhan.
“Yaa.. aku ngomong ajach yang bæk-bæk tentang kamu,” jelas Wintry sambil membeberkan uang itu kekeningnya. “Kamu ngomong apa Win? Tanya Dedy mulai berubah sikap sesuai maunya Wintry. “Ya.. aku ngomong ajach yang simple, maaf ya mbak, kalo nyari Dedy tu…tempatnya bukan di sini, dia sekarang ada di rumah, lagi latihan jadi PE NGA CA RA’,” manja Wintry dengan satu telunjuk menggosok – gosok duit itu. “Bagus Win, terus, maksud kamu ngomongin aku mau jadi Pengacara itu apaan sich maksudnya?” tanya Dedy mengangguk-ngangguk ikuti gaya Wintry yang mulai lagi akan buat Dedy sesak, sambil cari perhatian. “Masa’ kamu kaga ngerti sich Ded! Kamu ini kaga gaul banget yach! Pengacara itu artinyaa..., Pengangguran Banyak Acara, dan aku hanya bisa cerita, bahwa cowok yang embak cari itu orangnya baiiik... dech.., cumaaa, dia pemalas sekali mbakkk.., di rumah dia malas, apalagi disuruh jaga Depot Bunga ini. Hichhh hichihihi... gimana Ded? Bagus nggak cerita ilmiahku? Sekarang ini uangmu aku kembalikan, karena aku bukan tipe cewex seperti apa yang kamu maksud,” tegas Wintry membuat Dedy terdiamkaku dan tak normal lagi untuk merangkai kata, detak jantungnya naik turun bak lampu lead Resifer Sound System yang mengiringi lagu Under Ground. “Mangkonyo! Perlu kamu ingat itu, bahwa malas pangkal... eh, maaf salah, orang malas bukan pangkal, tapi llangsung ketemu ujungnye, jadi jelasnya gini ni, orang malas ujung-ujungnya tuch jauh rejeki tauuu, hehehe..., cinta kan juga sebagian dari rejeki loh Ded…, dan rejeki itu sendiri adalah Anugrah, iayakan Ded, itukan yang pernah kamu katakan padaku Ded? masa` kamu udah lupa” jelas Wintry dengan selembar amplop yang baru saja ia ambil dari dalam tasnya. “Kamu cerita gitu Win? Ya udah makasih ya anak jahat, aku marah niiich, terus terang aja ya Win, aku jadi loyo nich setelah dengar apa katamu barusan” jelas Dedy sambil menggaruk-garuk kepalanya, sembari langsung berarah ke ruang belakang, dan dapat dilihat jelas dari ekpresi adanya, kalau detik iini dia benar-benar lesu, tak bersemangat dan tak bertenaga.
“Eee..., kamu lagi ngambek yooo...? gitu ajjach udah loyyo, gimana kalau udah nikah nanti? Hahaha..., senyum dong...! entar kalau kamu suka marah-marah ni ya Ded, nenek kita itu nanti bisa tidak kalah tuanya dari kamu loh…., walau kamu belum keriput hehehe..., tapi hatimu kan udeh kelipuuut……, anak cowok kok mudah ngambek yach? Kamu jadi culun dech Ded kalau begitu,” Wintry berusaha bujuk Dedy dengan expresi yang sedikit agak humoris seperti apa yang sering Dedy lakukan padanya. “Ded... ceritaku yang tadi itu kaga benerrr, rupanya kamu mudah yach kena tipu orang, masa sich sekejam-kejamnya adikmu yang cantik, imut
mungil dan mungil ini tega untuk hianati kakaknya yang jellek seperti kamu yang masih ngambek ini, hem?” jelas Wintry, dan Dedy-pun mulai tampak merubah sikap dan So merasa senang walaupun Wintry tak mengetahui adanya. “Ded! Tadi Merty ituuu memang ke depot kita, tapi aku hanya bilang kalau kamu sekarang llagi di rumah nyelesaikan tugas dari Bapak yang belum usai, gitu aja kok repot, kamu mau ini kaga, hmmm? Ini dari dia,” Wintry mengayun-ayunkan amplop ke sepasang tatap Dedy, dan aroma wangi dari adanya benda itu mulai menerjang perasanya. Iapun baru mau ngomong setelah melihat itu, “Apaan itu Win? Dedy penuh tawa yang belum juga lepas, lirikan matanya tertuju pada genggaman Wintry. “Entah, kamu buka ajach sendiri, ini surat belum aku buka, apalagi dibaca, kan lancang kalo itu kulakuken Ded,” rasa simpati Wintry semakin mendekatkan diri pada posisi Dedy yang lagi perlahan membuka surat itu sambil melangkah menuju halaman, dan Wintry-pun ikuti dari belakang.
Di bawah terangnya lampu taman itu, mereka berdua nampak duduk santai di kursi ayunan. Begitu mesrah-nya mereka, dan sedikit jelas untuk dilihat adanya mereka. Surat yang baru saja Dedy buka dari amplopnya, mereka baca surat itu berdua So setelah Dedy memberi ijin Wintry untuk baca, layaknya apa kata hati Merty yang terwujud di lembaran itu. Tanpa ada rasa segan di antara mereka, karena diantaranya memang saling terbuka, apalagi cuma hal seperti ini.
Isi surat dari Merty itu sangat simple tapi jelas, dan tak ada sepata kata puitis dalam tulisannya. Merty hanya menyatakan, bahwa dirinya tidak mengerti apa maksud Dedy membuat lukisan wajahnya, dan memberikannya padanya tanpa adanya kata lain yang tertulis di hamparan lukisan di atas lembar A3 itu. Tapi memang betul apa katanya, seandainya Dedy benar-benar suka padanya, kenapa dia tidak mengungkapkannya sekalian? Wintry tertawa lebar setelah mencerna adanya isi surat itu, namun Dedy hanya merasakan usaha yang sia-sia tentunya. Wintry berusaha untuk membenarkan isi surat itu, bahwa tidak semua orang bisa mengerti apa maksud kita, sebelum kita menjelaskan pada seseorang yang kita tuju, dan katakan apa maumu, dan apa kepastianmu setelah mauku dalam harap, maka nantikan jawabannya setelah itu terujud kata.
“Ded! Ngomonglah terus terang, jika kamu memang suka dia, sebelum ada orang lain yang menghuni isi hatinya, ingatlah itu Ded, bahwa sekarang bukanlah kemarin sore, karena sekarang hanyalah untuk esok, dan kata itu pula kan yang pernah kamu ceritakan padaku, hem?” Wintry mulai serius dan tampak dewasa lantaran suasana yang berbeda dari sebelumnya. Dedy mulai tampak kosong sambil berulang kali baca adanya isi surat itu.
“ Ded, tidak semua orang loh bisa mengerti apa itu makna sebuah lukisan, entoh walau itu adanya hanyalah ujud dari penyampaian sejumlah kata-mu yang terangkum jelas didalamnya. Aku ini Cewex loh Ded, dan So pastilah…. aku akan merasakan juga jika detik ini aku menjadi seorang Merty, dan kamu adalah kamu yang tertuju padaku. Apakah menurutmu aku akan mengerti apa maksud lukisan yang kamu berikan padaku? Kalau iya, Kalau tidak? mungkin bisa jadi lukisanmu itu hanyala untuk penghias dinding kamarku, atau tidak lebih dari iitu, apalagi lukisan yang kamu berikan padaku itu tanpa aku minta atau pesan, iya kalau akunya senang llantaran sebuah nilai, kalau tidak, apakah terpikir olehmu bahwa tanpa seijin aku kenapa kamu seenaknya melukis aku,” lanjut Wintry berusaha membuat Dedy yang tampak merengut kembali tersenyum untuk hadapi hari esok.
Bab Dua
“Kalian berdua lagi ngapain disini, hmm....? inikan sudah larut malam, kamu kagak mau tidur ya Win? Taaadi waktu di depot kamu bilang ngantuk, he’ sekarang malah cengar cengir,” Zakaria melototi mereka berdua. Sembari langsung duduk di samping ayunan itu dengan sebatang rokok yang baru saja ia nyalakan. “Pak, tadinya sich aku emang ngantuk, sekarang kaga jadi tuch ngantuknya, habisnya Dedy minta ditemenin nich,” Wintry langsung beranjak pindah posisi dekati bapak, dan melemparkan surat itu ke arah Dedy, untungnya Zakaria tidak melihat hal itu. “Heyy Win, kamu kok ngomong gitu sich? Bob bob bohong pak, yang minta ditemenin itu justru Wintry, bukan aku,” Dedy berusaha ngelak dari omongan Wintry seiring matanya yang terpelotot ke arahnya. “Sudah sudah sudah..., kalian berdua sama saja, Ded... tolong ambilkan gunting pangkas di halaman depan, barusan gunting itu lupa bapak bawa,” jelas Zakaria. “Mmm... dimana pak?” tanya Dedy sambil menggaruk kepalanya. “Hoyyy...! Di sana ada bekas bunga yang baru aja bapak pangkas, kamu cari ajach di sekitar sana, yahh,” tegas Zakaria. “Iya.. tapi di sebelah mana pak? Dedy belum juga nyambung, tatapnya tampak kosong, mungkin saja karena surat yang baru saja ia baca membuat dirinya seperti ini. Mendengar Dedy yang lagi berucap kaku itu, Wintry menahan tawa membelakangi Zakaria yang langsung berdiri.
“Hoyyy... Ded, kamu ini kayak anak kecil ajach, kamu ini sudah tua tau`, disuruh ngambil gunting ajach udah banyak komentar, kamu ini enggak jauh beda dengan Awank, mangkanya kalau orang tua ngomong itu didengar baik-baik, akukan udah bilang sama kamu supaya jangan sering-sering main sama Awank, ehh` malah dikelonin, ini jadinyani kalau nggak nurut omongan orang tua. Gayamu sekarang sudah mulai mirip dia, atau memang sengaja kamu tiru, hem`?” panjang lebar komat kamit Zakaria membuat Dedy tak bernapas normal dengan kerlap kerlip matanya. Wintry langsung membelakangi Zakaria, tangannya meng-xpresikan setiap kata yang keluar dari bibir Zakaria, tiba-tiba Zakaria mendadak balikkan badan tepat saat Wintry lagi gitu.
“Hahaha..., rasain tuch anak sirik,” Dedy bisikkan keras telinga Wintry, sembari langsung lari ke taman depan lewat lorong kecil pintu samping. “Tanganmu barusan lagi ngapain Win? Tanya Zakaria yang langsung menuju undak-undak gazebo taman yang tak asing lagi mereka sebut pondok. “Emm... enggak kok` pak, aku nggak ngapa-ngapain pak! Tadi kepalaku cuma gatal, sedikittth,” Wintry mendesis sambil mengangkat kedua pundaknya, matanya sedikit agak sipit menahan rasa malu, dan mulai tampak salah tingkah. “Lantas, kalau kepalamu yang gatal, kenapa kedua tanganmu yang naik turun,” Zakaria menahan senyum belakangi Wintry, padahal Zakaria sudah tentu pasti tahu apa yang Wintry lakukan dari awal tadi. Tidak lama dari itu Wintry tampak meninggalkan Zakaria, tetap menahan rasa malunya, dan dapat dilihat dari perubahan tingkahnya saat dia mulai ngomong sama Zakaria.
“Emmm..., pak! Wintry mau ke dalam dulu sebentar yach,” perlahan Wintry melangkah dan membalikkan arah pandang. “Kamu mau kemana? Udah ngantuk yach, atau... kamu malu yaaa... ama bapak,” Zakaria. “Enggak kok` pak, aku belum ngantuk!! Tenang ajach dech, aku mau buat sesuatu untuk bapak, pokoknya bapak tunggu ajach wintry kembali dechhh...,” tanpa basa-basi lagi Wintry langsung menuju dapur. Zakaria langsung melepaskan tawanya selepas Wintry tak nampak lagi di tatapnya, dan iapun mulai mengusap halus dadanya dengan tatapan kosong lantaran melihat keakraban anaknya yang selalu saja setia untuk menghibur dirinya walaupun secara tidak langsung. Tiba-tiba Dedy datang beserta gunting pangkasnya, sambil bersiul-siul, tawa Zakariapun mendadak henti setelah mendengar suara yang semakin dekat itu makin jelas ia dengar. “Ini pak, gunting pangkasnya,” Dedy menjulurkan benda itu ke tangan Zakaria yang tampak meraih, namun tanpa kata Zakaria langsung turun dari pondok itu menuju bunga-bunga, terlihat Dedy sedang mengikuti llangkah pelannya. “em…, Pak, Wintry kemana?” tanya Dedy. “Nggak tahu, cari ajach di dalam,” singkat Zakaria menjawab pertanyaan Dedy sambil memangkas pohon kerdil itu. Tanpa kata lagi Dedy langsung tinggalkan Zakaria yang terkesan oleh-nya agak cuek dan suasana untuknya kagak cocok untok berkomunikasi, tapi hal ini hanya permainan Zakaria saja, untuk mengetahui perkembangan mental dan karakter anak-anaknya.
Keberadaan Wintry sekarang lagi di dapur, nampaknya dia sedang membuat secangkir kopi, dan dua gelas sirup Markisa. Pikirannya masih mengingat-ingat kejadian tadi, dengan senyam senyum malunya, Wintry berusaha menghilangkan pikiran itu dengan lagu yang ia nyanyikan. Di ruang keluarga tampak Andy bersama Awank lagi asyik nonton Cd-nya “RED VIOLIN” yang baru saja Andy sewa dari salah satu rental karena permintaan Awank yang baru saja terpenuhi setelah tiga hari orang sewa. “Ndy’ kamu lihat Wintry kaga?” tanya Dedy dari pintu samping. “Ded! Barusan aku lihat dia ke dapur, coba ajach kamu lihat lagi, barangkali masih di sana, atau kalau enggak, mungkin dia sudah masuk ke kamarnya, habisnya tadi sore dia beli novel baru sama aku” jawab Andy sambil menyantap snacknya, tapi tatapan matanya soroti TV. Kelihatannya Awank juga serius nonton Red Violin itu, sampai-sampai enggak nyambung pertanyaan Dedy. Perlahan sembari Dedy menuju ruang belakang, semakin melangkah kaki Dedy, nyanyian Wintry makin terdengar jelas untuk dia dengar. Sekarang Dedy nampak membelakangi Wintry dengan langkah pelannya, hingga tak terpikir lagi oleh Wintry yang bertambah serius dengan lagunya.
“Dwoarrr……., hayyo lagi ngapaen,” suara Dedy mengejutkan Wintry. “Ya ampun Ded... kamu ini udah gila ya, untung aja air panas ini tidak aku siram ke muka kamu,” jelas Wintry dengan muka masamnya. Dedy penuh tawa lepas, dan tetap aja goda’ in tu cewek. “Tumben kamu baik banget malam ini Win...,” Dedy sambil meraih pundak Wintry dari belakang. “Yaa iyyalahhh... dari dulu kan aku emang baekkk, cwantik, manis, ayu, imut imut dan…. kamunya ajach yang sering jahat ama aku,” Wintry langsung turunkan tangan Dedy yang masih melekat di pundaknya. “Winn.. please... aku butuh bantuan kamu untuk malam ini….. ajah, kamu mau kan Win bantu aku?” tanya Dedy, expresinya tampak ikut merayu imbangi adanya Wintry. “Kamu minta bantuan apa Ded?” tanya Wintry setelah menyerbet tangannya. “Win, aku sekarang pengen... banget ke Pasir Putih, tapi aku lagi paceklik nich, kamu ngerti kan Win…. maksudku?” jelas Dedy sambil mengaduk minuman yang sudah memenuhi gelas itu setelah sendok itu ia raih dari tangan Wintry. “Oohh.. kalau masalah itu sihhh, aku ngerti bwanget, teruss, aku harus gimana?” Wintry. “Kamu harus dukung omonganku ama bapak entar yaa.., itu ajach kok. “Oke dech, tapi entar harus ada imbalannya, gimana, kamu mau enggak? Masalahnya aku kan entar pasti bantu ngomong juga,” tanya Wintry langsung meninggalkan dapur. “Oke dech, anak baik, kamu tunggu di sana dulu yach, aku mau ngambil gitar sebentar aku nyusul,” Dedy langsung beranjak.
Terlihat jelas kalau Zakaria sekarang lagi duduk santai di pondok tempat semula, mungkin sekarang dia sudah mulai terasa capek, karena seharian kerja membuat taman air terjun dan patung di salah satu rumah pejabat, apalagi pulangnya langsung menyirami bunga-bunga yang ada di depotnya.
“Pak, ini kopi spesial buatan putri kesayangan bapak, cobain dech!” tawaran Wintry dari bawah pondoknya sambil pejamkan sebelah mata genitnya yang juga tampak spesial untuk zakaria, dan perlahan sembari mendaki undak-undak pondok itu, Zakaria langsung sambut minuman itu dari penampang yang Wintry pegang, dan meletakkan tiga gelas minuman itu di meja bundar berukuran 100X50 cm. “Makasih.., tampaknya putri bapak lagi ceriah nich malam! Ada apa ya kalau bapak boleh tahu? Atauuu.. putry bapak malam ini lagi kasmaran yoo...,” Zakaria manjakan Wintry, dan mencubit pipinya seorong tawa. “Iyee…. bapak bisa ajach, Wintry kan belum punya cowok pak,” jelas Wintry sambil meremas-remas tangannya, dan bibirnya nampak monyong saat tatapnya menuju langit-langit hingga langit yang mulai nampak hadirnya bintang setelah tadi temaram.
“Jangan bohooong! Bapak enggak melarang kok kamu pacaran, pacaran itu boleh-boleh ajjah.., asall.. tahu dan mengerti batasannya, kalau waktunya belajar ya belajar, dan kalau waktunya sekolah ya sekolah, dan…. Yang perlu kamu pelajari adalah tujuan kamu punya pacar itu untuk apa. Win! Bapak harap, kalau memang sekarang kamu udah punya pacar, jadikan pacarmu itu penyemangatmu untuk lebih mencintai semua mata pelajaranmu yang ada di sekolah karena statusmu ini masih pelajar, dan sebaliknya, bukakan matamu itu untuk lebih memandang kearah depan yang bakal kamu tempuh setelah kamu berpikir,” Zakaria langsung sentili hidung Wintry, dan iapun tersenyum lebar mendengar apa kata Zakaria yang masih bersua. “Win! Kalau bisa, pacaran itu jangan terlalu serius ya Win,” lanjut Zakaria penuh kesan. “Emangnya kenapa pak, kok kaga boleh seriuss sih..?” tanya Wintry. “Yaa, karena kalau terlalu serius itu..., entar kalau kamu udah bubaran bisa bahayakan diri kamu sendiri, dan bisa jadi gara-gara putus cinta warna ceriamu untuk bapak entar berubah, dan apakah kamu bisa bertahan untuk mencintai semua mata pelajaranmu dengan konsen? Win... bapak enggak mau melihat kamu kecewa karena cinta. Win… sebagian orang ada yang sempat lari ke berbagai jenis Narkoba llantaran kecewa karena cinta sejatinya yang tak berjati lagi, bahkan ada yang sempat bunuh diri lantaran itu juga, pernah kan Win semua cerita itu kamu jumpai dan kamu dengar dalam berita. Maka dari itu Win….. janganlah terlalu serius ya Win untuk menyatukan hatimu ke satu hati? Karena kamu masih sekolah, dan perjalananmu itu masih jauh, maka pikirlah semua itu Win,” Zakaria langsung menyeduh kopi setelah menyalakan rokok-nya. Lantaran suasana dan cocoknya pikiran mereka berdua, Wintry tak segan-segan untuk curhat pada Zakaria atas rasa cintanya yang datang tiba-tiba.
“Kalau menurut bapak, cinta itu apa sich pak?” Wintry tampak serius dengan pertanyaannya setelah cukup lama Zakaria motivasi dia. “Kalau menurutmu Win?” Zakaria balik tanya sambil tersenyum. “Kalau menurutku si..., cinta itu adalah adanya kasih dan kekasih yang tentunya saling menyayangi, hingga lahirlah kesetiaan setelah adanya rasa sehati, kalau menurut bapak, apa coba?” jelas Wintry balas tanya. “Kalau menurut bapak sihh.. apa katamu barusan itu sudah benar, dan cinta itu sendiri bukan berarti percintaan kan Win, dan awal dari adanya rasa cinta itu sendiri adalah kerinduan, tanpa adanya kerinduan maka Wintry anak bapak yang manis ini…. takkan pernah merasakan cinta, gimana Win……, apakah detik ini kamu merasakan rindu kagaa, hmm..? kalau kamu enggak pernah merasakan rindu…, mana pernah ada rasa cintamu untuk pengen jumpa yang kamu rindukan itu Win…,” tanya bapak sambil membelai rambut capek Wintry. “Iya pak, detik ini aku merindukan satu sosok yang sekarang sudah jauh dari kita, jauhhh.…. banget, bisa jadi sekarang dia berada di aras sana ya pak?,” telunjuk Wintry menuju tiga bintang yang sedikit tampak ber-Rasi itu, sembari langsung beranjak mengambil pakan ikan dalam kantong plastik hitam yang bergantung di langit-langit rendah pondok-nya. Zakaria melihat kalau dua titik air matanya baru saja jatuh, dan mungkin dengan adanya ini Wintry palingkan ronanya.
“Lololoh... ..anak bapak kok nangis gitu..! Kamu menangisi siapa Win? Siapa orang yang uda berani menyakiti hatimu, Win?” tanya Zakaria sambil mengambil segenggam pakan ikan dari bungkusan kntong platik hitam yang masih Wintry pegang, dan langsung menaburinya ke kolam. “Pak, saat ini aku merindukan hadirnya ibu, iya pak, aku rindu pada senyuman dan belaian kasih ibu yang udah lama tinggalin Wintry, Kenapa dia terlalu cepat tingggalin kita ya Pak? Apakah dia sudah tidak cinta lagi sama kita ya pak? apakah aku terlalu serius untuk mencintanya sehingga aku selalu aja rindu ingin jumpa? Dan kalau memang betul apa yang bapak katakan tadi, inilah perasaan atas adanya cintaku sekarang pak, inilah rindu yang aku rasakan hingga malam ini pak,” tangis Wintry mulai lepas. Tampa sadar ia langsung peluk erat Zakaria kuat-kuat setelah bungkusan itu lepas dari tangannya hingga berserakan penuhi lantai papan itu, dan tanpa terasa juga air mata Zakaria basahi rambut Wintry, namun ia sembunyikan adanya dibalik katanya yang terucap. “Cantikkk.. kamu kagak usah nangis gitu dong! Jangan buat ibumu yang ada di sana bersedih karena tangisan rindumu, itu berarti kamu kaga rela kalau ibumu telah memenuhi panggilan Tuhan, Tuhan sudah membuat suatu keputusan dari adanya qoda dan qodar, dan itu semua takkan pernah berubah, dan takkan ada yang bisa merubah. Kewajiban kamu sekarang hanyalah berdo’a, do’akanlah ibumu dengan penuh ikhlas apa yang kamu harap untuk ibumu disana, dan tangisanmu itu boleh kamu tunjukkan di hadapan yang Satu dengan segala permohonan dibal;ik harap-mu, karena hanya itulah harapan ibumu disana sekarang, do`a anak yang saleh. Win! Selagi ada bapak, bapak enggak mau melihat kamu bersedih, apalagi menangis, karena bapak akan selalu setia menghibur kamu untuk menghapus rasa sedihmu, tentunya atas dasar cinta, dan bukan karena kasihan seperti apa yang kamu katakan pada bapak kemarin. Zakaria berhasil membendung air matanya sebelum tatapan Wintry meraih tatapannya, dan penuh xpresi Zakaria menghibur Wintry dengan sejumlah kata sambil membelai rambutnya setelah kepalanya berbantalkan pundak Zakaria.
Mereka berdua tampak harmonis, mungkin lantaran kebiasaannya dari kecil, kedua orang tuanya itu mengarahkan prinsip, dan hingga kinipun ia mau nurut omongan bapak-nya. Walaupun saat ini mereka bersilah hanya beralaskan permadani diselah meja bundar, namun suasana di sekitar memang cukup menarik dan sangat cocok untuk menikmati suasana melepas lelah.
Di bawah pondok itu terdapat kolam yang sudah begitu banyak dihuni oleh sejumlah warna-warni ikan emas, di ujung kolam itu terdapat Relief serta tebing yang lengkap dengan air terjunnya, di salah satu sudut pondok itu juga terdapat sebuah patung anak kecil yang terkesan semangat mengencingi ikan-ikan yang ada di kolam, dan sejumlah warna-warni burung peliharaan Andy bersama semua kicaunya mengiringi suara air terjun dan tetesan batu tangis buatan itu.
Dedy tak terlihat jelas oleh mereka berdua, saat ini ia tidak jauh dari pondok itu bersama guitarnya yang belum sama sekali ia petik dari tadi. Rupanya, cukup lama juga ia berada dibalik bunga pagar itu dan yang pastinya, ia sudah mendengar jelas apa yang mereka berdua bahas, hingga ia-pun cukup memahami apa makna dari setiap kata yang Zakaria ucap, itu semua ia dengar untuk sedikitnya lebih jadi pelajaran olehnya.
Bab Tiga
“Menangislah Win! Jika hatimu sekarang mengharuskan matamu untuk menangis. Karena menangis bukan berarti cengeng Win, dan cengeng itu sendiri adalah sifat, dimana kita masih punya nurani,” kata-kata yang pernah Awank ucapkan padanya diulangnya lagi. Sembari Dedy perlahan naiki undak-undak pondok dengan expresi sealur dengan adanya Wintry. “Dan berusahalah intropeksi diri kenapa sih, detik ini juga kamu menangis?” Dedy langsung meraih minuman yang ada di meja itu dan diletakkannya kembali di atas sandaran pondok setelah sedikit menyeduhnya. “Heyy Ded! Apa yang kamu bilang barusan itu tak ada salahnya, tapi kalau menurut bapak siih, menangis itu enggak perlu berlebih-lebihan….`, karena dengan mimik aja orang jelas tahu untuk membaca adanya Ded, dan kitapun harus punya strategi lebih untuk menangis dihadapan siapa? dan… jika itu karibmu, apakah karibmu yang dari tadi setia mendengar warna-warni cerita dibalik tangismu itu akan selalu bertahan untuk menyimpan sejumlah katamu yang mungkin sangat-sangat pribadi terlempar kata setelah kamu tak sekarib lagi dengannya lantaran satu sebab yang detik ini tak terpikir olehmu semua itu bakal terjadi dan bakal itu akan berbuah apa, Hem?” jelas Zakaria pada Dedy yang tampak memeluk guitar-nya, sedang Wintry masih asyik menatap tiga bintang, dan iapun juga mendengar apa kata Zakaria walau tampak kosong. “Yang pasti kalian berdua perlu tahu, kalian harus berusaha siapa diri kalian sebenarnya sebelum kamu kamu mengenal apa itu arti sebuah nurani, Oh iya Ded, tolong temani adikmu sebentar ya? Bapak mau mandi dulu, gerah nich,” Zakaria langsung turun dari undak-undak pondok dan melangkah ke arah pintu. Selain dia memang mau mandi, dia sengaja tinggalkan mereka berdua untuk mengetahui seberapa besar kasih Dedy pada adiknya dan bagaimana cara dia mengarahkan kata-nya, dan hal ini selalu ia persentase tanpa buah hatinya tahu.
“Emm... pak, pak, maaf ganggu sebentar,” Dedy menghentikan langkah pelan Zakaria. “Ada apa Ded?” jelas Zakaria. “em… saya mau pergi jalan, em… maksudku mau pamit,” jelas Dedy. “Iya kalau kamu mau pergi pergi aja sana`,” Zakaria melanjutkan langkah-nya. “Iya tapi.., tapi pak, aku lagi enggak punya uang nichh,” Dedy memasukkan sepasang tangannya ke dalam sakunya, mukanya mulai tampak melucu di hadapan Zakaria sedikit cari perhatian. “Kalau kamu enggak punya uang kenapa mau pergii.., hem? Zakaria menahan tawa belakangi Dedy. “Nah.. justru itu pak... aku mau minta uang ama bapak agar aku jadi pergi, aku kan mau ngisi bensin mobil pak, dan masa` sih pak, bapak tega melihat anaknya yang yang satu ini kaga punya uang jajan sepeserpun….” rayu Dedy. “Kamu ini terlalu banyak basa-basi, bilang ajach mau minta uang dari tadi,” jelas Zakaria. “Lah akukan udah bilang, kalau aku enggak punya uang, pak,” jelas Dedy. “Iya, iya bapak udah ngerti kalau kamu sekarang lagi nggak punya uang,” sembari langsung duduk di hadapan Dedy yang masih tampak berdiri. “Ded..., itu adalah gambaran kecil untuk kamu pelajari, ingat Ded.. usaha dan doa itu penting, dan jangan harap bahwa Tuhan akan memberi, sebelum kamu meminta. Mengerti itu kamu Ded?” tegas Zakaria. “Iya pak,” suara berat Dedy sambil merundukkan kepalanya. Selama ini bapak jarang lihat kamu sholat, apakah kamu sudah merasa hebat, hem? Belajarlah bersyukur Ded! Coba kamu renungkan, tentang hari kemarin,” ceramah Zakaria membuat Dedy diam tak membantah lantaran udah kebellet untuk jalan, tapi setelah keinginannya terpenuhi tentunya. Namun ia tak menampakkan wajah cengengesannya setelah suara Zakaria makin keras volumenya. “Ded! Mobil tadi sudah bapak isi penuh bensinnya, karena kamu sudah minta uang untuk keperluanmu, bapak akan ngasih, tapi tolong temani Wintry dulu, sesudah mandi bapak akan kembali,, ayoo cepat sana, kasihan tu adikmu sendirian,” Zakaria mendesak Dedy yang masih terpaku diam sambil menepuk-nepuk pelan bahu Dedy, sembari langsung menuju pintu masuk rumah, sebaliknya langkah Dedy menghampiri Wintry yang tampak menikmati musik “KITARO” lewat tape compo-nya.
Dedy menggenjreng keras-keras gitarnya dari bawah pondok, tepat dimana Wintry lagi duduk, saat ini iia menyanyikan lagu “MY HAPPY ENDING” miliknya Avril Lavigne, lagu ini adalah favoritnya Wintry, ia berharap melalui lagu ini Wintry akan terhibur. Mendengar lagu yang Dedy nyanyikan, Wintry langsung cabut kable tape nya, dan ikut serta menyanyikan lagu itu. Permainan Dedy tambah panas sehingga giutar yang ia genjreeng makin keras terdengar, matanya terpejam saat dia berdiri tepat di atas batu sela-sela kolam hingga gayanya tak tidak jauh beda dengan bajakan Sless yang tampak kepanasan dibalik cuaca dingin, sedangkan Wintry yang lagi nyanyi sambil menggoyangkan badannya ala Avril di atas pondok itu makin seriuss, hingga warna kesedihan dengan sendirinya seperti Bunglon.
“Adduhh... berisik berisik...!” desah keras Andy yang masih bertahan di depan TV-nya sambil menggaruk-garuk keras kepalanya tanpa adanya rasa gatal, sembari langsung buka pintu jendela yang berada tepat di sampingnya. “Hoyyy..., Deddd...! pelan dikit kenapa sich? Kamu juga Win! Hichh.., dasar genit lo,” teriak Andy dari jendela, ia nampak mencorongkan jemarinya dan ditempelkannya di antara lingkaran bibirnya sambil bersuara keras. Namun mereka berdua tak menghiraukan adanya Andy yang masih terdengar teriak tegur, dan memang suara teriak Andy itu tak terdengar olehnya, saking seriusnya mereka berdua bernyanyi.
Dengan sifat yang desensif Awank mulai ikut bicara “Kamu ini kenapa sich Dy`? Biarin ajach mereka, mereka berdua kan lagi asyik, kamu jangan reseh gitu kenapa sih…..” Dan pada saat itu juga film yang mereka tonton telah The End yang nampak jelas terbaca di layar TV-nya. Expresi Awank nampak sedikit berubah setelah nonton tu film. Ia langsung beranjak menuju kamarnya, kelihatannya dia sedang mengambil sesuatu, ternyata biola yang dia ambil, sembari langsung menuju taman belakang untuk ikut gabungan sama mereka berdua yang masih tampak bertahan di taman kolam.
“Ayo.. Win, kamu nyanyikan ini ni,” intonasi nada yang Awank mainkan mulai berdawai keras hingga menyaingi kerasnya sejumlah kicau burung dalam sangkar yang nampak jelas berbaris di gantungan langit-langit luar rumah. Lewat biolanya, Awank hanya iringi bermelody dari guitar yang Dedy mainkan, sedang Wintry nyikan lagu “I’M WITH YOU”. Dedy bergegas mendekati Wintry yang mulai tampak Xtreme lewat gwayanya, dan terlihat jelas di undak-undak setelah Awank tiba di dekatnya. Mereka semua nampak tenggelam dalam suasana bersama semua lagu favorit yang mereka mainkan, dan dinyanyikan oleh Wintry hingga putaran waktu mengiringi empat lagu yang sudah selesai ia mainkan bersama.
Langkah Zakaria mulai terlihat oleh tatapan Awank yang tampak kaget, nampaknya Awank merasa kebingungan dengan adanya, atau entah dia merasakan apa dibalik salah tingkah-nya, karena sudah cukup llama Awank tidak pernah lagi berkomunikasi ama Zakaria. Dengan wajah yang nampak sedikit ketakutan, sembari langsung pergi menuju kamarnya lagi dengan biola yang tak rapi dalam apitan petinya.
“Mau ngapaaain orang gila itu, hmm?” tanya Zakaria ke mereka berdua. “Bapak kok ngomong gitu sich sama Awank?” tanya Wintry sambil meremas-remas jemarinya sendiri. “Iya pak, kan kasihan sama Awank, selalu.., saja bapak cuekin,” jelas Dedy sambil memetik pelan gitarnya. “Lololo... harusnya kamu ngerti, coba kalian lihat, sudah berapa minggu, atau... sudah berapa bulan dia nggak pernah mandi, coba kamu lihat Win, Ded jaketnya kan udah tahu banyak robekan, eh... malah dijahit dengan sumbu kompor, apalagi ditambah kalung-kalung bulu ayam yang lengkap dengan anting-anting dayaknya, kalian semua nggak malu apa, punya sodara kayak gitu? Dari dulu dia selalu saja buat kita susah, ini lagi,” Zakaria tetap saja ngotot, tatap dan telunjuknya langsung tertuju pada Dedy yang ikut jadi sasaran “mungkin kamu sudah ketularan ya Ded, karena terlalu bettah kalau nongkrong di kamarnya yang tak jauh beda dengan kandang kuda, kandang kuda ajach masih rapi Ded, dan kotoran-nya pun bisa menyuburkan sayuran, dan akan menyehatkan jika sayuran itu nantinya kamu konsumsi,” dengan kata-katanya ini, Zakaria berusaha agar mereka berdua mau membuat adanya satu kebenaran yang harus mereka bantu untuk mengubahnya, dan mungkin dengan cara ini juga Zakaria mau melihat mereka berdua mau ngapusi Awank tanpa harus dia suruh. “Iya iya tapi.. tapi pak,” serak-serak Wintry. “Tapi tapi apa? Kalian nggak usah bela dia, dia sudah hilang di otakku. Ded! Bapak meskipun sudah tua, tapi masalah penampilan nggak merasa kalah sama anak muda zaman sekarang, betul enggak Win, hemm?” Zakaria puji diri, dan berusaha membuat mereka berdua tidak terlalu tegang dengan apa yang dia ucapkan bersama ekpresifnya yang sedikit humor yang Zakaria berikan, namun dia terus komentari tentang adanya Awank yang tak mau pernah berubah setelah berkali-kali hingga Zakaria merasakan bosan untuk benahi adanya Awank yang selalu saja ada benar katanya ketika Zakaria berucap.
“Pak…. Ada telfone dari pak Untung Malang,” teriak Andy dari jendela. “iya… tunggu sebentar,” singkat Zakaria. “Ceppet dikit… katanya penting,” lanjut Andy. “Iya iya… kamu bilang aja ama pak untung suruh telefone bapak lima menit lagi,” jelas Zakaria sambil mengambil uang dari dalam dompet-nya. “Ini Ded,” Zakaria menjulurkan uang seratus ribu sama Dedy. “Ingat Ded, ini duit sudah termasuk uang jajan sekolahmu selama satu minggu, dan bapak nggak mau ngasi kamu lagi,” serius Zakaria tampa warna mimik yang mencerahkan. “Tapi pak,” singkat dedy membuat Wintry sembunyikan tawa. “ sudah, itu sudah bapak kira terlalu cukup, dan seandainya saja kamu mau giat jaga depot dan sirami bunga seperti Wintry, mungkin ada pertimbangan dari bapak untukmu memberi nilai lebih,” jelas Zakaria langsung melangkah menuju rumah lewat pintu dapur, dan menguncinya, sedang Wintry masih merasa keGR-ran dan salah tingkah.
“Mana Ded, janjimu!” Wintry kelap kelipkan matanya dan tangannya menengadah ke arah Dedy tanpa harus melihat adanya Dedy yang tampak lesu. “Hichh`, janji apaan, ini duit kan cuma jatah satu mingguku, kamu kudu ngerti dong Win.., masa sudah tau segini masih mau kamu minta,” Dedy nampak melotot ke arah Wintry yang nampak semangat dengan expresinya. “Ya udah aku kagak jadi minta dehh, tapi kamu harus bawa`in aku oleh-oleh yach pulangnya,” rayu Wintry. “Iya Win, entar aku mau belikan kamu, boneka itupun kalau ada,” jelas Dedy. “Yang namanya Toko itu pasti jual lahh Ded.., asal Tokonya itu Toko Boneka, kalau toko bessi ya mana jual la Ded….,pilun banget lu ya Ded?” Wintry mencubit tipis perut Dedy berulang kali ketika dia mengelak. “Aduh` aduh` adduhhhww` Win.., kamu kok senang main yang bahaya bahaya sich? Entar dulu dong, dengerrin dulu maksud saya, Win`, saya kan belum selesai ngomong… kok`kamu sudah main cubit-cubitan, berarti kamu sering nyubitin pacarmu yach, oooh pantessan ajch doi’mu sering putusin kamu, jadi ini masalahnya?” Dedy berjoget ria kesakitan di depannya. “Hii.. apa enggak salah tuch, aku mana pernah ditinggalin ama cowok, kalau ninggalin cowok barruu.. benerr, dan kamulah orang-nya yang akan aku tinggalin malam ini Ded`, uwekk` malu,” Wintry menjulurkan lidahnya keluar sambil pelototkan mata dengan semangat.. “Kamu nggak usah basa-basi dech, kalau enggak mau beli-in aku Boneka ya uddah, gitu aja kok repot..!” sembari Wintry langsung mengambil tape mungilnya dan melangkah cepat menuju kamarnya lewat pintu tengah. “Eh Win, aku emang mau beliin kamu Boneka, tapi itupun kalau emang ada,” jelas Dedy langsung menghampiri Wintry dan berhasil hentikan langkahnya setelah sampai di pintu, dan kedua tangannya meraih pundaknya penuh mesrah. “Tapi apalagi, hmm? Tapi kalau toko bessi itu ada yang menjual, hem?” tanya Wintry turunkan tangan Dedy sambil menjelit. “Tapi kalau ada yang harganya di bawah 10 rebu, kalau enggak,” Dedy hentikan ucapnya lantaran Wintry tampak ngotot pengen ngomong dengan matanya yang masih tampak melotot. “Kalau enggak, kamu harus juga beli ti…tik. Sudahlah jangan banyak omong lagi, aku udah ngantuk, aku mau tidur, dan kalau kamu mau pergi, pergi aja sana,” tanpa basa-basi lagi Wintry langsung menuju kamarnya. “Grubbbhakkk” Wintry menutup keras pintu kamarnya hingga hiasan yang melekat dipintu itu jatu dan menimbulkan suara yang cukup keras didengar. “Addohhh... kah, ini cewek kenapa sichh... dari tadi,” gerutu Andy kembali menggaruk keras-keras kepalanya tanpa adanya rasa gatal, dan keberadaan dia masih tampak bersilah manis di depan TV. “Gelenjit banget sich jadi cewek`, enggak jauh beda dengan temannya yang tadi siang kesini,” lanjutnya langsung kerasin tu volume TV-nya. “Adduh...! Brisik brisik brisik..., hoyy..., kecilin dikit dong anak manissss volume TV-nya, inni kan udah waktunya tidur, Grumpyiangggg!” teriak Wintry dari dalam kamar langsung melemparkan kaleng fanta kosong ke pintu kamarnya hingga semua-nya tampak ribut, ditambah lagi adanya Wintry yang menghidupkan mesin CD-nya keras-keras, tidak mau kalah saing dengan suara keras yang terdengar dari luar kamar, dan untungnya hal ini terjadi ketika Zakaria keluar rumah selepas menerima telefone tadi.
Bab Empat
“Oh, iya Ded! Pada awalnya…. seorang pria kan selalu memuja wanitanya, salah satunya nama Bulan selalu terucap untuk satu kalimat pujian, tapi kenapa ya...? pada waktu itu juga wanitaku sedikit enggan terima satu kata limat itu dariku, saat aku menyebutnya Bulan dia malah marah, katanya sich...! dia tidak mau disamakan dengan Bulan,” Awank langsung menyalakan rokoknya. “Dan dia sempat bilang padaku bahwa aku cukup memuja dia dengan kata cantik, jika memang penilaianku itu nyata, atau... manis, jika katamu aku memang manis, dan realitakan sajalah atas adaku kini setelah kamu pelajari tentang adanya Bulan yang sebenarnya,” lanjut wanita itu padaku. Hal itu pengalamanku waktu duduk di bangku SMT dulu,” Awank tampak serius menceritakan masa lalunya pada Dedy, sambil menatap langit yang hampir dipenuhi bintang, namun sinar bulan belum juga tampakkan lenteranya.
“hahahaha...,” mendengar cerita Awank, tawa lepas Dedy tak mau henti, sembari langsung berlari mengejar pulangnya gelombang putih itu yang membawa serta ranting, dan sejenak dia kembali pada posisi semula. “Awank Awank, hahaha... , Wank! Tentunya kamu lebih paham dari aku, bukan?” Dedy meraih pundak Awank yang masih tampak bertahan dengan mata sipit tajam-nya yang terpaku bintang. “Wank! Di balik kecantikan sinar bulan iitu yang sebenarnya kayak apa sich? ada benarnya juga sih… menurut wanitamu itu, ya… seperti apa yang wanitamu maksud itu.... dan itu semua juga masuk akal, itu kalau menurutku. Ada baiknya juga kalau kamu realitakan apa adanya dia, karena bisa jadi... dia punya khayalan sendiri untuk sanjung dirinya, entoh walaupun nantinya kamu bilang dia akan merasa gelap tanpa kata Bulan sanjungmu itu, dan mungkin.. khayalan wanitamu itu sudah menuju cahaya lain sebelum kamu berkata,” jelas Dedy langsung meraih batu kecil tepat dikakinya, dan dilemparkan-nya ketengah pantai. Awank merasa asyik melihat dan mendengar adanya Dedy bersama kata-katanya yang So ikut-ikutan puitis banget gitu loh, mangkanya dia sengaja diam dan Dedy-pun lanjutkan katanya lantaran Awank mau dengar, dan tersenyum walau tampak masih berat.
“Wank…, Bulan- kan hanya datang pada wanita, dan….. seandainya aja bulan itu datang padaku atau padamu sekarang, aku sendiri sich masih nimbang-nimbang kata itu Wank,” jelas Dedy. “Kenapa?” singkat Awank dengan suara beratnya. “Kamu mau tahu kenapa? Kalau se an dai nya Bulan itu datang padaku atau padamu malam ini juga……, berarti….! Berarti….! Kita berdua malam ini udah pada Datang Bulan dunk…….” Jelas Dedy. Awank langsung tertawa lepas setelah melihat Dedy yang tampak menggemulai-kan jemarinya seiring kedip matanya ala banci ke arah Awank.
“Menurut kamu kata apa yang bagus untuk satu kata limat sanjungan pada seorang gadis yang mungkin suatu saat nanti aku temukan rasa hati?” tanya Awank sambil menghamparkan tikar diatas pasir, dan diletakkannya biola beserta guitar itu.
“hahaha..., kok tumben kamu Wank, nanya ama orang awam seperti aku, ya.. tapi tak apalah, karena kamu uda memaksa aku untuk berkomen. Kalau menurut aku sich... yaitu tadi, So Dedy mencengkram halus kepalanya. Kamu realitakan ajah’ adanya dia, atau ..!! bisa jadi wanitamu itu seperti Mawar kek`, dia cantik! Dia wangi! Dan ... So pasti berduri! Dan bisa jadi durinya itu menjadi bisa untuk melindungi dirinya, namun duri yang dia miliki itu tidak mudah untuk membuat satu kesalahan, ia bisa menyerang jiwa-jiwa yang jiwanya tidak menjiwai adanya mawar itu sendiri. Wank kamu pasti pernah melihat pohon mawar itu dengan melekatkan tatapmu lekat-lekat akan adanya, bukan?” tanya Dedy makin sok puitis, hingga tak ada kata lain yang Awank jawab selain dengan senyuman kearah titik lentera separuh layar nelayan ditengah pantai. “Wank, coba kamu resapi adanya mawar itu jika suatu saat nanti kamu menjumpainya lagi dan jika kamu menjumpainya lagi tentunya kamu pasti melihat juga, siapa yang selalu setia menopangi mawar itu, hemm? Hahaha... aku kok jadi romans gini ya, nggak nyangka aku bisa romantiss gini,” lanjut Dedy sebaya dengan expresi yang baru aja reda dari kerasukannya, dan tanpa pikir panjang lagi ia llangsung meraih gitarnya. Awank baru mau ngomong setelah Dedy bertanya “Gimana Wank, bagus kaga menurutku itu, kaga bagus ya Wank?” tanya Dedy sambil petikkan guitarnya. “Nggak nggak nggak…., nggak apalah, bagus, dan asyik Ded, aku nilai seratus untuk ponten katamu, terusin aja, terusin, karena aku masih mau mendengar lanjut katamu,” Awank penuh expresif. “Kamu memang romans Ded, terusin aja ngomongnya, aku suka itu kok`,” lanjut Awank. “hahaha... kamu ini bisa aja Wank!, jelas Dedy. Ya udah aku lanjutin ya Wank ya, aku hanya tidak ingin kamu menjadi kumbang yang selalu nakal untuk menyakiti hati mawar itu,” lanjut Dedy melata mata sipit Awank. “Hmm.. maksudmu, Ded?” Awank bertahan dengan senyumnya. “Iya.. maksudku…., begini ni begini, Wank, coba kamu lihat sendiri setelah saripati yang yang dimiliki oleh mawar itu sudah habis terkuras oleh sang Kumbang, kamu tahu kagak Wank, apa yang akan dilakukan oleh Kumbang itu selanjutnya, hem? Dan apakah Kumbang itu mampu bertahan untuk tidak menghisap sari patih Mawar lain sebelum mawar yang pertama dia kuras habis tadi kembali ujud semula setelah musimnya berganti, mampukah Kumbang itu bertahan Wank, dan masih maukah Kumbang itu untuk tidak mengabsenkan dirinya hadir tuk slalu temani sang Mawar, serta melindungi-nya. Tapi walau begitu adanya, aku merasa bangga pada Prinsip Kumbang itu Wank. “Bangganya dimana Ded?” singkat Awank. “Ya aku bangga pada Kumbang itu karena…., tidak ada makanan lain yang dia makan selain dari saripati itu, dan iapun takkan pernah menyerang sebelum dirinya terusik, dan hal itu emang nyata, bukan?” mendengar yang satu ini, Awank langsung bangkit dari silah-nya, dan bertepuk tangan salut tertuju pada Dedy yang mulai tampak salah tingkah. “Sip sip sip... , kamu romans gini belajar dimana Ded? tidak sia-sia aku punya adik sepertimu, dan aku bangga loh Ded,” Awank menatap penuh mata Dedy dan mengelus keras kepala Dedy dengan cengkraman-nya.
“Wank! Alangkah baiknya jika semua pengalamanmu itu dijadikan lagu ajach, gimana, Hemm?” Dedy tersenyum lebar melirik Awank. “Sudah Ded! Pengalaman itu sudah kujadikan lagu, dan semua lagu yang aku buat sesuai dengan sejarah-ku kemarin, atas apa yang pernah aku lihat aku dengar dan aku rasakan” jawab Awank dengan tatapan kosong kearah separuh layar yang berlayar jauh dari tatapnya, namun lentera sampan iitu cukup bisa menjelaskan adanya. “Kalau sudah, mana hasil CD rekaman-nya,” tanya Dedy. “ada.. ada di Buah batu Bandung, dan masih tersusun rapi di rumah Kost-ku yang entah masih ada atau tidak lantaran sudah lama aku tinggal,” suara berat Awank pelankan geleng kepalanya, dan ia-pun langsung pindahkan arah tatap ke llangit. Sembari langsung membuka peti biolanya tidak lama setelah ia kosong dengan ingatan ingatan-ingata yang terputus cerita untuk Dedy dengar, dan diraihnya biola itu ke pundaknya dengan tatap tajam-nya yang makin tampak merah dengan satu titik arah tatap kosong.
Desing Biola itu mulai terdengar jelas mengitari kesunyian malam suasana pantai, dan dengan sendirinya Dedy iringi dawai itu dengan tremolow-nya yang sudah banyak dapat pelajaran dari Awank. Tampak terlihat sejumlah sosok orang yang hampir tak jelas untuk disaksikan. Sebagian dari mereka ada yang tampak berpasangan digelapnya sudut pandang mata para penyaksi, dan terlihat jelas deretan mobil yang nampak terparkir tak rapi di area dalam pagar pembatas antara pantai dan jalan raya, dan ada pula yang tampak berjajar rapi tepat didepan deretan Villa. salah satu bus yang tampak terparkir tepat di bawah rindangnya pohon cemara itu dipampangi spanduk bertuliskan “STUDY TOUR” dari kota Malang menuju pulau Dewata.
Dua sosok wanita tidak begitu jelas terlihat penuh adanya dari luar bus, walaupun hanya diterangi oleh llampu kecil yang tidak begitu jauh dari adanya, namun cukup jelas juga untuk terangi sosoknya setelah ia pindah tempat tepat dibawah sinarnya langit-langit kabin bus. Nampaknya mereka berdua sekarang lagi membangunkan lelapnya tidur sahabatnya yang mungkin belum lahap akan mimpinya.
Sembari bertiga nampak duduk bersimpuh malu dari kejauhan Dedy dan Awank yang belum juga henti dalam alunannya. Semakin lama dawai yang ia mainkan makin cepat pula jemari tanganya menjelajahi nada ketukan tempo notasi, hingga histeris ini membangunkan juga tidur seseorang dari salah satu kamar penginapan, korden di balik jendela itu bergoyang-goyang tanpa adanya angin, telah terpaku sepasang mata menatap kedua pemain itu yang menenggelamkan suasana malam.
Jajaran lentera sampan itu menembus celah mata mereka berdua, setelah mereka lihat percikan lampu cerobong PLTU PAITON yang sedikit jelas mereka lihat dari tempatnya berpijak, bak Bintang Kejora terhalang petir. Lembutnya nada angin nampak membelai mesrah layar nelayan. Tatap mereka berdua tesuguh akan suasana yang malam ini mereka lihat, mereka dengar, dan mereka rasakan telah menjelma dalam nada yang ia mainkan hingga detik ini. Makin lama ombak itu makin ketepiannya bibir pantai, dan tanpa terasa olehnya kalau putihan itu hampir saja menjilati kakinya.
Tiga dari lima gadis tadi berlari dengan lambaian tangannya kearah hamparan tikar hanya untuk selamatkan peti biola beserta perkakas lainnya yang tampak olehnya, dan buku mungil itu berhasil diselamatkan dari adanya ombak itu oleh wanita satunya, namun mereka berdua masih cuek atau mungkin karena jiwanya sudah tenggelam, pikiran tiga wanita ini tertuju olehnya setelah semua benda ia raih. Tiga gadis itu membaca bersama lembaran-lembaran yang dipenuhi tulisan romans, kelihatannya mereka tertarik untuk membacanya, apalagi nada itu mengiringi bahasa bibir manisnya yang lagi bergumamkan kata romans itu. Mendadak Awank hentikan nada, dan tatapnya menuju arah ketiga wanita itu.
“Kamu ini siapa`? dan mau ngapaen disini, hem`? Berani benar kamu yah uda baca tulisanku?” Awank langsung mengambil lembaran itu dari tangannya, sedikit agak ego dan kasar sikap yang tak ia sadari adanya. Satu di antara dua cewek ini ketawa menahan senyum melihat penampilan Awank, walau dengan sendirinya Awank sudah tahu kalau tawa cewek itu tertuju padanya, namun dia hanya menganggap bahwa dialah yang lebih gila dari aku. “Ayoo.. Ded.. kita pindah dari sini,” Awank langsung beranjak menuju dermaga, “Wank... tunggu dulu dunk!” teriak Dedy sambil bereskan barangnya, “Mmm... maaf ya mbak, maafkan kakak saya tadi ya,” jelas Dedy, sambil mengambil satu lembar kertas di bawah kakinya. “Seharusnya aku yang harus minta maaf mas, aku udah lancang baca lembaran kakak-mu tadi, nich bukumu,” mereka menjulurkan benda itu pada Dedy. “O iya kenalkan, namaku Dian,” Dian menjulurkan tangan pada Dedy, sebaliknya Dedy, dia meletakkan guitarnya dulu baru menerima jabatan itu. “Namaku Dedy, singkatnya. “Mereka berdua adalah temanku, ayo Fan.. kenalan dulu, mumpung kita-kita ada waktu, dan mungkin hanya malam ini kita bisa bertemu, dan saling kenal ketika kita udah saling jabat, iya kan?” ungkap Dian sambil kelipkan satu mata pada kedua temannya. “Okke dech, namaku Fany,” “namaku Cindy..,” mereka berdua bergilir jabat.
“Ded... kakakmu kok sombong bwanget sich..., kita-kita kan, cuma pengen nyelamatkan barang-barangmu yang hampir di basahi ombak itu, untung aku tolong, kalau enggak, kan udah basah, dan mungkin itu semua akan musnahhh,” Cindy sambil menaik turunkan tangannya seirama dengan kata yang keluar dari bibirnya. “Huss... kenal ajach bellum.. udah bilang sombong,” jelas Dian, memonyongkan bibir merahnya yang sedikit agak pudar.. “emmm... perasaan, enggak kok, dia enggak sombong mbak, kamunya ajach yang nilai gitu,” Dedy mengangkat pundaknya, dan alis matanya sedikit dinaikkan. “Udah yaach, aku mau ke dermaga dulu, makasih ya semua! Kalian sudah menyelamatkan semua barang kakak-ku yang mungkin baginya berharga,” Dedy langsung melangkah pasti ke tempat Awank berada. “Okke dech, Ded.. salam yach, ama kakakmu dari aku, aku salut ama musik yang kamu mainkan tadi, lebih lagi biola yang kakakmu mainkan,” jelas Dian mencari perhatian lewat kata dan xpresi-nya. “Ded... jika ada kesempatan karena adanya ijin Tuhan kita dapat jumpa lagi, mau enggak ajarin kita-kita, hem?,” teriak Cindy pada Dedy yang udah hampir nampak jauh dari dekatnya.
Apa yang mereka berdua bahas tak terdengar jelas oleh telinga Dedy yang masih tampak melangkah kearah dimana Awank berada. “Dadada Dedy, dada Dedy..., emmuachhh, kompak mereka bertiga sambil melompat dengan rentangan tangan ke atas, dan nampaknya mereka tak juga puas untuk mendengarkan dua alat musik yang dimainkan oleh kedua kakak beradik tadi, walaupun ketua panitia tour sudah memanggilnya sejak tadi, dan ia-pun tetap tak memperhatikan panggilan itu. Mereka bertiga cuek dengan semua temannya yang entah apa mereka bahas pada ketua panitia dari tadi, yang ada dalam pikiran Dian sekarang, pasti mereka berdua akan mainkan alat musiknya lagi, dan mereka-pun jelas-jelas ingin menyaksikan serta akan setia mendengar jika hal itu memang terjadi seperti adanya. seraya beserta kedua temannya betul-betul ingin menikmati adanya malam ini yang masih terasa penuh suka cita akan sejarah-nya masing-masing, dan mungkin dengan mendengar alat musik itu ia merasa sadar akan adanya kenikmatan tersendiri yang bisa ia nikmat dari adanya isi hati yang menjelma nada, apalagi si Fany memang benar-benar BT lantaran baru ajah satu minggu di tinggal pergi Some1-nya.
“Sorry Wank, terlalu lama ku tinggalin kamu,” singkat Dedy. “Kamu marah ya Wank,” lanjut-nya sambil meletakkan gitar. “Enggak apa kok, ngapain juga marah,” singkat Awank. “Oh iya Ded,ngomong-ngomong… salah satu diantara mereka bertiga ada yang kamu suka kaga Ded, em…maksudku… ada yang kamu sir kaga?” lanjut Awank sambil mengusap keras hidung dengan lima jarinya. “Baru ajah ketemu, kok udah bilang suka si Wank, dari mane datangnya?” jelas Dedy. “Ded, pandangan pertama itu penuh makna lo Ded,” jelas Awank dengan rasa berat putarkan kepalanya, dan sipit matanya mulai membentuk senyum tipis beratnya ke erah segerombolan ikan yang nampak jelas dia lihat. “Iya…, maknanya dimana?” tanya Dedy yang tampak meraih senderan palang kayu pagar dermaga yang tingginya sejajar persis dengan pusarnya. “Karena suasana, tempat, dan waktu pertama tadi kamu jumpa mereka hingga kamupun berhasil jabat tangan mereka itu takkan pernah terjadi lagi seperti adanya esok dan nanti kita ketempat ini kembali,” jelas Awank tersenyum malas pada tatap bintang yang mulai tampak jauh adanya sinar Bulan. “Ded, katakan ajah kenapa sih,” lanjut-nya. “Terus Wank, seandainya aku memang punya rasa hati untuk tertarik ama salah satu dari mereka gimana,” jelas Dedy balikkan badannya kearah Awank, dan disenderkannya pinggulnya kepagar seiring di hembuskannya asap rokok terakhirnya. “Ded, JIKA, detik ini juga hatimu nyata merasa tertarik atau suka ama salah satu diantara mereka bertiga, katakan ajah terus terang detik ini juga, karena ada kemungkinan si dia yang ada di dalam hatimu sekarang belum ada orang yang benar-benar punuh miliki hatinya penuh seluruh, sebalik-nya dengan adanya dia, katakanlah detik ini juga padanya atas apa yang nyata terjadi atas adanya kamu yang mendasari pandangan pertamamu ama dia Ded,” Awank penuh senyum sambil membersihkan biola yang ia pangku dengan jari teunjuk-nya. “Lantass Wank! Seandainya nyata menyatakan kenyataan adanya dia sudah ada yang menghuni dan dihuni oleh hatinya? dan gimana nasibku entar setelah rasa hatiku yang udah terucap karena adanya rasa relita hatiku? Dan So, aku merasa malu lah Wank karena udah terlanjur bilang suka, dan mengatakan apa adaku kini padanya, iya kan Wank..!?” lanjut Dedy bersama alis matanya yang tampak hampir menyatu. “Ded, nasibmu detik ini tergantung dia, dan kamu sendiri janganlah pernah mau untuk digantung oleh perasaanmu sendiri, karena aku sangat yakin, dia bisa menilai adanya bahasa nurani, dan saya juga yakin bahwa dia juga punya rasa untuk lebih bisa memilih, mana yang paling baik di antara kamu, dan kekasih-nya yang mungkin katamu sudah ada penghuni hatinya, mudah bukan, Ded? Jadi pandangan pertama itu penuh arti loh Ded dan itulah sejarah yang akan membuatmu suatu saat nanti tersenyum berdua ketika pandangan pertamamu nyata jadikan kata cinta menuju kata limat percintaan, dan terangkum kata menjadi sebuah cerita yang pastinya akan kamu ceritakan dalam kalimat turunan.jelas Awank dengan kalimat batanya. “Ded..! coba kamu lihat ke ujung sana, disamping perahu ketiga yang layarnya belum tergulung rapi itu, coba lihat Ded, nampaknya lirikan mata mereka bertiga sekarang menuju kamu dech, kamu suka yang mana Ded, hem? Hahaha….,” lanjut Awank dengan lepas-nya tawa setelah melihat adanya Dedy yang masih tampak menimang-nimang pendapatnya. “Iddih, kamu bisa ajah Wank,” singkat Dedy mulai tampak salah sikap setelah meraih rokok Surya disakunya. “yang mana sih Ded yang kamu suka, udah tau namanya belom kamu Ded, hem?” tanya Awank sambil petikkan jempol dan mainin mata berkode minta rokok ama Dedy. “Yang mana Wank?” singkat Dedy langsung melemparkan rokok ama tangan Awank yang tampak siap meraih. “Yah…. Sama orang yang kamu taksir dunk, dan kalau emang kamu tahu nama mereka semua,” Awank langsung nyalakan rokoknya, dan api dari korek yang ia nyalakan itu ia hadang dengan biolanya lantaran berkali-kali korek ia nyalakan mati lantaran terjangan angin yang mulai terasa kencang. “Oooo…yang itu namanya Fany, dan yang pake baju merah itu tu, nah yang baru ajah merundukkan badannya itu namanya Cindy, nah... dan yang itu tu, kalau yang pake baju kuning itu..., nampaknya sich, suka sama kamu Wank, dia tadi udah nitip salam padaku untukmu Wank, nah… cewek itu namanya Dian, dia juga titip pesan sama aku, kalau bisa sih… ini kalau bisa loh Wank, jangan marah,” jelas Dedy tunjukkan adanya mereka bertiga dengan kode lirik matanya. Pessen appaaa..” singkat Awank dengan nada beratnya. ‘Kalau bisa, kumis dan jenggotmu dipotong, katanya sihh dia ngerasa gelli Wank” jelas Dedy membuat Awank menggaruk-garuk palanya. Hahaha….. belum di apa-apa in ajach udah gelli, apa lagi di icum ya Wank….?” jelas Dedy dengan lepas tawanya. “Hahaha..., yo iyo iyo iyo, siapa sich nama cewek itu Ded?” tawa Awank mulai lepas setelah melihat adanya Dedy yang mulai tampakkan xpresi culun-nya. “Nama cewek itu Dian Wank,” singkat Dedy. “Hem, Dian?” mata Awank langsung melotot kearah Dedy. “Iya Dian! Tapi itu bukan Dian seperti yang kamu lukis kemaren.., kalau Dian yang kamu lukis itu kan namanye Dian Sastrow miliknya pak Sastro yang belum kamu dapatkan hati-nye Wank….” Lanjut Dedy. “kamu bisa ajah Ded, ntar Dehhh…, kalau lukisan dan lagu yang kubuat khusus untuk-nya berhasil dia raih, pasti ku-ungkap cintaku menuju nyata khayalku bersamanya kemaren,” canda Awank buat Dedy tersenyum kaget, dan matanya yang tampak melotot kaget itu membuat Awank kembali lepaskan tawa. “Amin… amin.. amin… semoga aku juga berhasil punya kakak ipar Dian yang sekarang sibuk Syuting, dan kamunya sibuk ngayal, amin…” jelas Dedi sambil mengusap-usap dadanya, alah seorang ibu yang belum bisa disebut seorang ibu sebelum anak yang dikandungnya lahir. “Terus, mana cewex yang kamu taksir Ded…” tanya Awank, tunjuk mereka bertiga dengan lirik matanya. “Entar duluh Wank, sabar, biar kujelaskan nama mereka satu-persatu dulu mah kamu biar tau, dan…. Baru ku bahas yang spesial itu…” Dedy nampak serius tapi tak seserius expresinya yang selalu ingin membuat Awank tertawa. “Oooo..yaudah, llanjutin,”Awank. “Hehehe…., nah kalau yang itu tu, kalau yang itu…. itulah yang udah buat gelli dengar pesan gelinya tadi, nah… cewex geli itu namanya… namanya Dian Day kaliii…..,” mereka berdua kompak lepaskan tawa kerasnya hingga suaranya hampir sedikit jelas terdengar oleh mereka bertiga lantaran terbawa angin yang menuju kearahnya. “Udah udah udah..., sekarang bukan waktunya guyon, nikmatilah arti adanya malam ini, bersama rasa yang kau rasakan, lebih baik sekarang kamu iringi gitarku, Ok Ded...!” jelas Awank. “Ok Boss,” singkat Dedy dekatkan diri ma adanya Awank yang tampak menggosok-gosokkan senar setick biola dengan arphus. “Oh iya Ded, kamu kan sudah bisa main biola, kamu ingat kan Ded Lagu yang pernah aku ajari padamu waktu rabu kemarin, hem?” Awank PD-kan Dedy. Dedy memang sedikit bisa mainkan biola itu, walaupun dirinya kurang memahami notasi, tapi dia bisa melakukan perjalanan nada itu melalui fellyng, dan iapun selalu berusaha untuk bisa, serta rutin belajar pada saat suasa untuk dirinya minta ajari maen biola itu sama Awank tepati sikon, dan hal itulah yang mungkin membuat dirinya betah berada di dalam kamar Awank walaupun adanya itu selalu contra dengan siBapak.
Terlihat mereka berdua penuh canda dalam tawa, sedikit demi sedikit motivasi Dedy untuk Awank terus perlahan ia lakukan, dan mungkin dengan membuatnya ia tertawa, Dedy dapat menyesuaikan diri untuk berucap kata hati yang mungkin menurutnya dapat berguna menterapy ingatan Awank ke masa lalunya yang penuh dengan segudang mimpi dan harap.
Ketelatenan Dedy untuk mengatur strategi sikap beserta kata-kata memang nyata buahkan hasil sesuai dengan harap-nya, masalahnya ia mampu untuk menguasai sikon, dan tahu kapan dia harus bercanda dan kapan dia harus serius, selain dia ekpresif, dia juga pandai ngomong tanpa harus merangkainya terlebih dahulu, walaupun nyatanya itu tampak sedikit kaku. Hal ini hanya bisa dia lakukan sesuai dengan apa yang dia bisa sajah, So pasti, dia hanya ingin melihat Awank berubah, dan mau kembali seperti adanya dulu.
Perlahan Awank meraih buku mungilnya dari dalam peti biolanya setelah instrument kedua ia usai mainkan, dan perlahan ia buka halaman dari lembar satu ke lembar yang ketujuh. Sekarang terdengar jelas kalau ia langsung mengatur tinggi rendahnya vokal dari perbandingan setelan nada gitarnya yang baru saja diakurkan dengan notasik Etnik lewat Harmonika. Sebaliknya Dedy, terlihat kalau dia sekarang lagi serius mendengarkan irama gitar itu, dan langsung pusatkan pikirnya untuk menyesuaikan biola yang akan ia mainkan kembali.
FOTOSINTESIA HEART
Terkelupasnya mendung oleh Matahari
Karena mataku lapar akan Cahaya
Apa artinya Mendung
jika tidak Mengandung Air
Hanya menjadikan Langit seperti Langit-Langit
Apa artinya Puisi jika tidak Ujudkan Kata-kata
Dan
Kata
Hanya menjadikan Lisan sebatas Tulisan Terpenjara Hati
Akan kuramu
Air
Api
Cahaya
Dan
Udara
Karena Hidupku
Bak
Fotosintesia
Tampak kobar xpresi dibalik suara lantang yang mulai terdengar parau, sedang Dedy nampak-nya hanya jinakkan dawainya lewat nurani yang dia sesuaikan dengan adanya alunan guitar yang Awank petik. Sejumlah mata tampak terpaku menyaksikan mereka berdua dari masing-masing posisi yang tersebar, namun di antara sejumlah mata itu, tiga gadis tadi tampak lebih serius mendengarkan alunan nada yang memang nyata terbawa arus angin melintasi para telinga.
Entah apa yang ditulis oleh Fany saat ini, dia tampak serius mengisi buku hariannya dengan pena tinta birunya, namun tatapnya selalu saja memandang ke arah dermaga dimana dua beradik yang masih memangku alat musiknya itu berada, mungkin saja petikan nada guitar atau dawai yang mendesing tadi menjadi latar belakang Fany semangat untuk menulis, atau… bisa jadi dia meng-agendakan rasa adanya mereka dibalik nada yang juga dirasakan Fany hingga malam ini atau.. entahlah apa yang Fany tulis, karena kedua temannya-pun yang masih tampak jelas berada di sampingnya tak segampang itu untuk membaca adanya tulisan Fany untuk mencari tahu ada apa dengan rasa mendadak Fany itu sebenar-nya. Mungkin saja adanya faktor lain yang membuat dia enggan memberi izin kedua teman-nya itu untuk membaca adanya, dan ia pun selalu mengelak.
Dedy tampak beranjak meninggalkan Awank setelah “FOTOSINTESIA” usai dimainkan, sembari melangkah pasti beserta peti biola yang ia pegang layaknya koper, hingga gayanya tak jauh beda dengan mafia Jepang segera melakukan transaksi.
Seiring dengan langkahnya, tatapnya tertuju arah pandang pada tiga gadis itu yang baru saja tampak bangkit dari simpuhnya. Cukup jelas untuk dilihat oleh tatap sipit Dedy yang masih tampak gagah dengan langkah tegapnya tirukan gaya Awank, hingga terkesan sedikit ego. mereka bertiga saling berkejaran layaknya anak kecil yang kurang masa lalu menuju teman-temannya yang lagi asyik menikmati kobaran lentera api unggun, dan sebagian di antaranya lagi asyik gitaran, mengiringi sejumlah vokal sambil memanggang ikan tongkol.
Dedy mulai tampak Cuek, PD, dan hilangkan pikiran negatif hampiri adanya Fany, walaupun di hadapannya sekarang ada sekitar dua puluh lima orang teman Fany yang tampak terpencar dengan aktivitasnya masing-masing. Dari segi penampilan yang trandy dan gaya bahasanya-pun cukup mengandung logika yang memang benar-benar satu arah tuju hingga cukup dimengerti oleh siapa saja lawan bicaranya, dan sedikit dari gaya bahasanya yang setiap ia ucapkan beserta gerakan-nya memang melata gayanya Awank, tapi itu semua nyata pada saat dirinya jumpa dengan satu karakter yang sama. Detik ini dalam hatinya hanya mampu berkata, “terus terang, bahwa malam ini, detik ini aku tertarik akan senyumnya, dan... tatapan matanya itu sudah mampu menggores hatiku yang hanya di awali pandangan pertamaku tadi. Dan detik ini pulah ia harus tahu apa yang aku rasakan.”
“Maaf, Ganggu sebentar,” sapa Dedy kepada salah satu orang di antara sejumlah temannya yang masih tampak cuex. Matanya mengikuti gerakan bibirnya yang mulai terasa berat untuk bersuara kembali, hingga tak banyak gerakan yang ia lakukan selain bahasa expresi lewat rona-nya. namun sapa Dedy tak jua terjawab oleh satu orang-pun yang ada di depan matanya, mungkin saja mereka semua yang dimaksud, tidak mengerti pada siapa sebenarnya Dedy menyapa, dan merekapun tak mengerti adanya kata sapa itu tertuju. “Sekali lagi…Ma`aff... bolehkah saya bertanya sesuatu pada anda-anda semua yang ada di sini?” suara Dedy semakin tegas dan tangannya mulai tampak menterjemahkan kata, seiring tatap lirik tajam-nya yang ikut mengarah tunjuk.
“Oh ya, anda mau tanya apa? Sory boy, kita-kita tadi… pada kgak da nyang tahu kalau kamu tadi iingin bertanya, sekali lagi sory,” kata salah satu cowox berbadan gemuk sambil melahap ikan, dan langsung beranjak pergi tinggalkan adanya Dedy karena terpanggil oleh kedua temannya yang tampak satu gerombol bermain guitar di arah barat. Dedy mulai tampak keharusan mengeluarkan satu karakter perubahan bahasa karena entah apa yang ia rasa dibalik terpakunya tatap yang mulai tampak kosong. “Upsss! anda sekarang mau tanya apa?” kata salah satu cewek berambut cepak berbando kaca mata ala Super Man, dan ia lagi asyik memeluk pundak cowoknya dari belakang, dan dari suaranya itu, udah membuat Dedy tersentak kaget. “Oh iya, saya cuma mau tanya dimana Fany sekarang berada? Dan bolehkah saya minta izin pada kalian semua untuk menemuinya?” tanya Awank sambil menyalakan rokoknya, matanya agak sedikit merah karena dia merasa, bahwa cewek satu ini sombong dan angkuh sekali untuk menjawab pertanyaan Dedy yang berusaha layangkan sebuah kata lewat etika sebelum-nya. “Hmm... Fany toh…. Yang udah buat kamu penasaran. Sorry yah masss! Aku nggak tahu dimana Fany sekarang, kalau tadi sich aku lihat dia lagi asyik main kejar-kejaran sama kedua anak ingusan itu,” singkat cewek ini langsung melepaskan pelukan cowoknya yang kurang enak dilihat dari cara-nya, cowok si cewek ini langsung pergi menuju teman satunya yang masih tampak manggang ikan. “Maaf.. bisakah anda menjelaskan padaku, kenapa anda menyebut mereka berdua anak ingusan?” Dedy langsung lletakkan peti biolanya. “Karena dia itu sok alim, dan sok ikut-ikutan kalem lantaran bergaul dengan sih Fany yang sok kecantikan hingga semua cowox yang ada disekolah kita sulit untuk mendapatkan cintanya,” tegas sicepak tanpa nafas normal beserta monyong bibirnya. “Ow` itukan hak mereka, dan mungkin itu hanya satu diantara jumlah yang menilai adanya satu prinsip” jelas Dedy sambil menyipitkan matanya, hingga sepasang alisnya hampir menyatu sudut. “Maksud kamu,” singkat Cepak yang juga mengangkat alisnya, dan matanya terpelotot akan adanya expresi Dedy. “Maksudku, kamu ada apa dengan mereka, dan apa untung nya kamu menjelekkan sikap temanmu sendiri, hem, nona manis?” tanya Dedy sampbil tersenyum berat, yang tampak pada mata merahnya. “O` Owww, coba kamu lihat, mereka bertiga nggak ada disini kan???” tanya Cepak. “Ia, kenapa? Jawab Dedy yang mulai tampak malas menengadahkan arah tatap tanpa arah titik pandang. “Mereka semua enggak mau gabung sama kita-kita, gaul dikit kenapa sich, coba kamu lihat, mereka semua kayak anak kecil yang belum bisa bersihkan ingusnya sendiri,” si Cepak mengikat rambut-nya seiring tatapnya menuju pada mereka bertiga yang baru ajah tampak dimatanya, dan nampaknya mereka semua mulai terasa capek berkejaran. Saat ini mereka berdua duduk tidak jauh dari busnya, sedang si Dian nampak meneguk botol minuman kaleng.
“Makasih ya non! Anda udah meluangkan banyak waktu untuk saya, non! Belajarlah untuk dewasa, karena itu adalah temanmu juga, dan tolong, pribadi anda dengan mereka bertiga jangan kait-kan dengan pikiran yang sehat ketika hal ini terjadi lain kali” Dedy menggenggam erat pegangan peti biolanya, dan langkahnya langsung menuju tiga gadis itu. “Gilla,” ungkap singkat sinis si Cepak langsung berteriak sapa. “Hoyy..! maksud kamu apa, hem???” suara cepak berhasil hentikan langkah Dedy yang langsung berbalik arah pandang, dan perlahan melangkah kembali padanya. “Nona manis…! Perlu anda tahu ya, kadang semua orang pintar dalam hal ilmu pasti, dan disitu pula mereka pintar untuk meng-Kali, me-Nambah, dan me-Ngurang. Tapi kadang dibalik semua itu, salah satu diantara mereka tidak tahu bagaimana cara mem-Bagi, dan apakah menurutmu benar, jika ilmu pasti itu akan selalu menghasilkan arti sebuah kepastian?” jelas Dedy mengiringi kata dengan jemari telunjuknya. Kata ini Dedy pelajari dari adanya catatan Awank yang tanpa sepengetahuan-nya ia baca, namun kalimat kata dari adanya itu ditutup dengan “Benar?” “Maksudmu itu apa…, hem???” kesal Cepak sambil menggaruk kepalanya. “Jawabannya, ada di Nurani anda.” Dedy langsung berbalik arah dan persetan-kan apa yang ingin di utarakan siCepak pada Dedy yang menuju arah utara.
“Emmm.. bolehkah aku mengganggu kalian sebentar?” senyum Dedy merona sapa pada mereka bertiga. “Bolleh, ada apa emangnya, Ded?” Dian langsung mengambil tisyu dari sakunya, dan di sapunya ke lehernya. “Maaf, bolehkah saya pinjam Fany sebentar, saya pengen ngomong empat mata dengannya,” pandangan Dedy menuju mereka berdua yang tampak tersenyum tipis. Fany terlihat malu, dan mulai tampak salah tingkah saat kata yang baru ajah terdengar, terngiang di telinganya, hingga dapat dilihat dari tingkahnya yang mendadak berubah, terkesan malu tapi mau. “Mmm.. gim ana yach, kita-kita kan baru saja kenal ama kamu Ded! apa kamu bisa kita percaya, mmm... maksud-ku gini ni, aku takut entar kamu apa-apain dia, hehehe.” jelas Cindy, ekpresinya agak sedikit mengandung humor.
Di benak mereka bertiga, pikiran negative tentang si Dedy sih tidak ada, mereka hanya ingin tahu seberapa besar sih mental Dedy sebagai cowox yang baru ajah ia sapa kenal untuk mencapai keinginan di balik harap-nya, entoh walaupun pikiran Dedy sudah dapat membaca apa yang ada di benak mereka semua. Dedy memang harus mengungkapkan isi hatinya.
“Oke oke oke, sekarang aku mengerti maksudmu semua, hehehe… sebenarnya... emmm.. sebenarnya saya sich pengen ngomong sama kamu ajah Fan! Tapi nggak apalah, jika kalian berdua pengen dengar omonganku. Tapi saya harap, apa yang nantinya kalian dengar… tolong, kalian semua adalah saksiku atas apa yang aku paparkan ama Fany,” Dedy langsung duduk jongkong tepat dihadapan Fany yang nampak duduk ditengah antara kedua teman-ya. “Emangnya.. kamu mau bicara apa, Ded?” tanya Cindy, sambil mengangkat alis dan sedikit dagunya menyetarakan manisnya cara ia duduk. “Iya Ded, kamu pengen ngomong apa lagi? Ayo cepetan, sebentar lagi ayam berkokok, jangan sampai omonganmu didahului suara Kok` itu Dunk…, hahaha ,” jelas Dian mengiringi katanya dengan sepasang pundaknya terngkat, jempol mengapit ke empat jemarinya, dan menirukan gaya Semmar dalam cerita Komedian, dan hal itu membuat semua serentak tertawa lepas.
“Mmmm... Fan! Aku, aku... suka kamu Fan,” jelas Dedy, tatap matanya tidak lengah menatap tajamnya tatapan Fany yang langsung berubah sikap. “Appa.. apa aku nggak salah dengar nich? Kita kan belum berapa jam bertemu Ded! Kok bisa-bisanya kamu ngomong gitu sich, latar belakang kita kan sama-sama belum jelas, siapa kamu dan siapa aku? Kamu belum tahu siapa aku, sebaliknya aku,” jelas Fany menahan senyum, dan pastinya senyuman itu mengandung tanda tanya buat seorang Dedy, apa sebenarnya arti sebuah senyuman. Malukah dia, nolakkah dia atau maukah dia, ataw…., entalah? kata itu membuat kata tanya yang harus dia jawab sendiri dibalik ambang katanya. Dian dan Cindy tampak senyum menahan tawa, dan yang pasti mereka masih menunjukkan etika untuk tidak ikut campur urasan karena yang mereka tahu ini masalah hati.
“Iya Fan, semua yang kamu katakan itu tak ada salahnya, tapi aku hanya ingin menyatakan rasaku lewat ujud nyatanya kata ungkapku padamu, bahwa malam ini, hari tanggal tahun dan detik ini aku suka kamu yang di awali kata ber iring tatap pandangan pertamaku dengan-mu tadi,” jelas Dedy, “Dan tolong kalian berdua catat,” lanjutnya sambil mengarah tatap tunjuk pada adanya Cindy dan Diyan yang tampak tersenyum tanpa adanya kata selain meng angguk-angguk, dan langsung meraih Diary-nya untuk merangkum adanya kata yang terungkap, sesuai apa yang Dedy maksud. Sedang siFany tampak sayu dibalik tatapnya yang mengandung kata ragu adanya Dedy. “Dan yang pasti kamu perlu tahu, bahwa pada pandangan pertamaku dengan-mu aja udah membuat ku suka sama adanya kamu sekarang. Fan! Aku harap, pandangan kedua ketiga dan seterusnya, kamu akan menjadi milik saya, sebaliknya kamu padaku Fan,” Dedy tambah serius tanpa ada rasa grogi walau kedua temannya mendengar, namun Fany tampak semakin malu tanpa adanya spontanitas balas kata untuk Dedy seperti awal kalimat tadi, yang ada hanyala getaran hati yang mulai menggemetarkan tubuhnya. “Dan aku iingin membuktikan padamu detik ini juga, kalau pandangan pertama itu penuh arti, dan inilah artinya, pleasee... maukah kamu menerima adanya aku dibalik kata ucap pandangan pertamaku, Fan?” Dedy langsung menjulurkan tangannya pada Fany yang masih merundukkan kepalanya ke bawah kakinya yang tampak bermain pasir. Dedy tak peduli apa yang nantinya akan dibicarakan kedua temannya jika Fany harus menjawab, iya, atau tidak. Yang pasti pikiran-nya detik ini hanya tertuju pada Fany. Tatap Fany nampak terpaku pada binatang mungil yang baru ajah melintas di kakinya, lalu masuk dalam pusaran lobang kecil lingkaran tumpukan pasir. Kedua temannya tersentak kaget, dan tidak habis pikir lantaran kejadian ungkap rasa malam ini sangat aneh tapi nyata, hingga tangannya ikut terasa gemetar untuk menulis adanya sebuah kenyataan cinta pada pandangan pertama yang entah endyng-nya nanti melahirkan kata apa.
“Fan! Pleasee... tatap mataku, tataplah! Inilah pandangan pertamaku beserta rasaku, dan inilah adanya aku padamu Fan. Aku ngerti dan cukup memahami apa yang ada dalam pikiran kamu dan juga temanmu sekarang, bahwa kamu tidak tahu latar belakang saya, begitu pula aku padamu, adalah benar. Tapi.., aku tidak memiliki rasa untuk latar belakangmu Fan, karena aku hanya ingin merangkai latar depanku bersamamu yang dimulai detik ini setelah kamu buka hati, sambut tatap pertamaku dan mau menjawab semua kalimat tanya dibalik nuraniku, dan tolong tutup pintu hatimu setelah namaku meruang dalam kabin hatimu, tolong Fan, beri sedikit keyakinanmu padaku untuk nyatakan kataku, pleace……!!” mata Dedy mulai tampak merah setelah lama tak berkedip pada tatap Fani yang tampak kedap-kedip lantaran tak mampu menerima tatap adanya Dedy.
alangkah PD-nya Dedy, karena penuh enjoy dia melakukan itu, namun Fany masih juga bertahan dengan tatap kosongnya sebuah kata tanya yang mulai mengambangkan masa lalu cinta, dan dia-pun merasa berat untuk mengangkat tangan setelah kepalanya, dan menerima juluran tangan Dedy yang masih tampak terpaku tatap mata ragu.
“Baiklah Fan! Aku nggak akan memaksa-mu untuk menjawab “iya” kok, karena yang kutahu cinta sejati itu bukan berasal dari adanya rasa terpaksa karena adanya aku dibalik kata, dan aku tak ingin kamu menerima cintaku atas dasar terpaksa karena ada yang memaksamu. Fan, yang pasti hatiku sekarang sudah lega karena udah berhasil mencurahkan nyata kata isi hatiku, padamu, makasih Fan, atas waktu yang kau berikan padaku, dan maaf sebelum-nya, karena aku udah lancang menculik waktu- happy neight mu,” Dedy langsung berbalik arah bersama langkah beratnya menuju arah dermaga itu tampak lenyap wajah cerianya yang terasa ditelan kata hatinya sendiri. Cindy dan Dian nampak mencorongkan adanya rona wajah-nya kepada Fany sambil memeluk pundaknya, seolah-olah mereka berdua mendukung banget atas pernyataan kata Dedy yang disertai dengan sikap sentuh hati mereka juga.
“Fan! Kalau menurut penilaianku sich…. Dedy itu udah serius banget makamu, bahkan sangat-sangat berharap akhir kalimatnya kamu mau menjawab, walau-pun katamu tidak. Itu menurut ku Fan, jarang-jarang lloh Fan kejadian ini terjadi ama kita,” jelas Dian tampakkan ekpresi haru membaca dan menimbang nimbangi adanya. “Iya Fan, benar, mungkin hal ini hanya kita temui di film sinetron, dan buku-buku cerita. Tapi malam ini nggak Fan, ini bukan mimpi, ini kenyataan Fan,” sambung Cindy sambil mencubit-cubit halus pipinya. “Pleacee... tolong kejar Dedy Fan, aku yakin dia udah pasti kecewa untuk berkata jujur adanya padamu, dan So, entah apa yang Dedy rasa lantaran katanya tak kamu jawab,” lanjut Diyan yang berusaha mendorong pelan pundak Fany untuk bergegas. “Inilah cintamu yang sebenarnya, aku yakin hatimu juga merasakan itu, iya kan Fan? Udahlah.. nggak usah munafik Fan` karena kita punya hati yang sama kok,” Cindy mulai tampak expresif dan dewasakan sikap, karena ia juga merasakan jika dan seandainya dirinya adalah seorang Dedy.
Bab Lima
“Bhuk, dhak, dhak, bhuk” seorang pria mendadak pukuli Dedy dari belakang, nampak kelima temannya datang menghapiri adanya pertikaian yang makin tampak memanas itu. Tapi kedatangan mereka semua tidak lain hanya untuk berusaha menenangkan keadaan yang memang tampak sulit untuk dihentikan. Biola yang tadinya masih tampak kokoh Dedy pegang terlepas jatuh, jauh dari posisinya, namun pukulan seorang pria tak dikenal itu terus menerus menghantamnya tanpa sempat Dedy balas. “Hoyy... bangsattt! Kenapa kamu pukuli adikku, Ded... kamu jangan diam ajah, lawan dia Ded, lawan lawan lawan, dan tunjukkan kalu kamu memang laki-laki,” teriak Awank dari dermaga sambil berlari kearah terkaparnya Dedy yang sudah tampak memar, dan titik kental merah mulai tampak mencair dari hidung-nya.
Tanpa adanya kata, Awank langsung terjangi pria itu dari lompat jauhnya, dan pria inipun melanting agak jauh dari adanya Dedy. Awank tak juga puas dengan terjangannya, dia langsung mengangkat kancing baju dadanya dan meninju pipi pria itu berkali-kali diluar kesadaranya. “Bangsattt…., kenapa kamu pukul adik kesayanganku, hmmm, kenapa, jawab, kenapa, dasar setan alas, iblis, binatang…. Anjing anjing anjing, pantek loe keparat……!” Awank terus pukuli dia, walaupun dia nampak dihalangi temannya, namun tangan Awank tak berhasil untuk dikuasai oleh sejumlah tangan.
“Mas, pleasee... pleasee... hentikan mas,” Dian berusaha menghalangi tubuh pria ini di hadapan Awank, tapi agak ragu karena takut kena sasaran tangan Awank. “Ini hanya salah paham mas, plesee donk ah…. Dewasa dikit” lanjutnya sambil berusaha menarik-narik baju awank dari belakang. Diyan baru dapat info asal mula kejadian ini lantaran salah satu diantara teman-teman pria yang masih tampak terkapar ini menceritakan yang sebenarnya.
Awank pun baru sadar setelah genggaman erat tangannya yang hampir memukul pria itu terhenti oleh cengkraman tangan Dedy, dan ia-pun langsung menyeret-nyeret tangan Awank sambil mengusap titik darah yang mulai nampak deras lintasi sudut bibirnya dengan lengan bajunya. “Sudah sudah sudah, ada apa ini?” tanya petugas keamanan yang baru saja tiba dan sedikit mengintrogasi mereka. “Tidak pak, tidak ada apa-apa, ini cuma main-main,” jelas di antara salah satu temannya, dan merekapun tampak bubar. “Ayo, kalian bertiga ikut aku ke pos sebentar,” petugas ini paksa mereka. Namun mereka bertiga hanya diam dan tak mau mengaku apa yang terjadi. Petugas itu tak bisa percaya begitu saja dengan adanya kalimat-kalimat alasan yang memang tampak mencurigakan sikap.
Kejadian ini dikarenakan adanya salah paham atas ungkap kata Dedy yang merasa singgung hati gadis berambut cepak tadi, gadis itu mengadu kejadian itu pada cowoknya yang sekarang sudah tampak beracak warna memar wajahnya. Cepak melebih-lebihkan kata atas adanya kata Dedy yang udah menyinggung hatinya. Cowoknya-pun jelas-jelas ikut merasa tersinggung atas adanya berita gadis ini, apa lagi dengan kata tambahan yang membuatnya emosi lantaran tak rela jika kekasihnya diperlakukan seperti apa kata cerita, maka terjadilah hal yang tidak diinginkan. Namun pada akhirnya mereka sadar, setelah guru pendamping hadir, dan petugas keamanan mendamaikan mereka setelah kurang lebih setengah jam, panjang lebar isi introgasi itu berlangsung. Suara ayam berkokok itu bertepatan pada masing-masing di antara mereka yang nampak berjabat tangan menyimbolkan tak ada apa-apa yang terjadi tadi. Tapi, guru pendamping tetap saja marahi si murid yang menurutnya sudah kelewat batas dan entahlah, komat-kamit amarah guru itu udah membuat asmara si cepak punya sejarah buruk malam ini.
Awank dan Dedy langsung pergi dari hadapan mereka semua, dan tak ada kata dendam di antara mereka semua, begitu pula para guru yang tentunya sudah maklumi adanya kejadian ini lantaran dapat isi cerita. Barang-barangnya sudah tersusun rapi, kini saatnya mereka pulang, karena mentari sebentar lagi mau hadir tampakkan sinarnya. Langkah Dedy beserta Awank menuju mobilnya. Sepanjang jalan pelannya, Dedy terus mengusap-usap bibirnya dengan lengan bajunya.
Wank! Kalau ada pertikaian, maka yang harus kita bantai terlebih dulu adalah masalahnya, bukan yang bertikai, dan perlu kamu tahu ya Wank, masalah akan jadi bermasalah jika kamu permasalahkan. Tapi mungkin inilah yang namanya variasi karakter hidup, dan menelantarkan emosi tanpa tahu masalahnya dulu, kenapa ada emosi sebelum mereka tahu datangnya emosi itu,” jelas Dedy terus dengan kata-katanya, kata ini sering didengar oleh Wintry dan di teruskan kata pada semua temannya yang pada akhirnya tahu isi cerita. Tapi ada satu kata yang harus Dedy katakan, dan kata ini pernah ia baca dalam buku mungil si Awank, “Wank, apakah kata “Benar” itu adalah arti dari kata “Benar yang sebenarnya?” dan apakah benar itu sudah menjadi cerita sebuah kebenaran? Yang salah satu contohnya terjadi ama aku tadi,” tanya Dedy membuat Awank yang tampak diam dibalik ngos-ngosannya iitu bertanya dalam hati “Dari mana Dedy dapatkan kata itu?.” “Wank, bukankah kata benar itu akan membuat semua orang “yakin benar” hingga si pendengar akan berkata “Aku yakin benar, karena cerita itu juga benar atau… banar, aku yakin,” dan salah satu contoh cerita benar itu terjadi ama aku tadi, Wank” lanjut Dedy. Hampir saja langkah mereka berdua mendekati mobilnya. Begitu pula para pelajar itu, masing-masing dari mereka tersebar dengan kesibukannya masing-masing, ada yang menuju kamar mandi, rumah makan, dan sebagainya, karena bus segera melaju tidak lama lagi.
“Fan! please... ini kesempatan terakhir buatmu untuk mengungkapkan isi hatimu, karena hanya kamulah yang tahu apa sebenarnya isi hatimu saat ini,” Dian penuh serius tampakkan ekpresi yang ikut serta memotivasi. “Iya Fan, apa yang Dian katakan itu benar, ingat Fan, hari ini bukan untuk kemarin loh Fan,” Cindy meraih tangannya, dan matanya tertuju kearah Dedy. “Cepat Fan, nampaknya mereka hampir sampai ke mobilnya, kalau kamu memang tidak menerima kata hatinya, ya… setidaknya kamu harus meninggalkan kesan baik untuknya, karena kita sebagai manusia punya perasaan yang sama Fan,” Dian masih ngotot, dan tangan-nya bersih keras untuk menyuruhnya beranjak pergi hampiri Dedy.
“Iya Yan, sebenarnya…..! sebenarnya…. Hatiku udah tersentuh atas semua ungkap kata hati Dedy tadi, dan jujur ku katakan ma kamu, tadinya aku juga ragu. Tapi sekarang aku mulai sadar selepas kamu dan Cindy meyakinkanku untuk menghapus rasa keraguanku,” jelas Fany seiring kerlap kerlip matanya yang tampak mendung. “Nah, lantas apa yang membuatmu begitu, hem?” sambung Cindy petikkan jempol dan meraih bahu Fany dengan tangan kirinya. “Karena seumur hidupku….., iya Cin, karena seumur hidupku baru sekarang aku mengalami spontanitas ungkapan cinta pandangan pertama, apalagi cara dia bicara romans banget, dan penilaian ku untuk dia sebagai lelaki sangat gantleman, dan diapun berhasil lumpuhkan rasa keraguanku” Fany langsung mengatup bibirnya dengan lima jarinya, tampak malu-malu. “Lantas kenapa kamu nggak ngomong tadi Fany kiooo….., hem? Jangan buat hati orang kecewa Fan, karena itu adalah cermin kita kita jika detik ini kita jadi dia, gimana cara kita bayanginya?” Cindy pelototkan matanya, dan bibirnya sedikit agak mengapit seiring tangannya yang mengapit pundaknya sendiri. “Aku takut,” singkat Fany. “Taku apaaaa Fanikioooo?” tanya Diyan sambil tarik hidung Fany kencang-kencang dengan rasa gerg gettan. “Takut ditelan, hem,” sambung Cindy pelototkan mata yang langung mangap expresikan katanya. “Aku hanya takut nanti kaga bisa jumpa dia lagi setelah aku menerima kata hatinya,” Fany penuh malu dengan tangan yang diremas-remasnya, walaupun tampak berat untuk berkata itu. “Fan! Dimanapun kita berada cinta tetap hadir dan nyata selagi kita masih sehati. Kejarlah Dedy Fan, ayyoooo cepat, sebelum dia pergi dan di antara kamu berdua pasti ada kecewa dan penyesalan nantinya,” Cindy langsung mendorong Fany hingga tampak mau kepeleset jatuh, dan Fanypun pada akhirnya mau juga setelah Diyan tak mau bicara lagi dan melangkah tinggalkan Cindy, sembari berpura ngambek.
“Ded...! Dedy...!!!” Fany berlari sekuat tenaga hingga hampir kepeleset jatuh, dan tali sandal mungilnya iitu putus, namun untungnya telinga Dedy mendengar teriakan itu walaupun roda mobilnya sudah perlahan berputar. Dedy mendadak matikan mesin mobilnya setelah mendengar sura teriakan sapa nama itu berkali-kali. “Wank, tolong tunggu dulu sebentar yah, aku ada urusan,” Dedy melangkah cepat setelah pintu mobilnya terbuka dan ia melompat untuk menyambut Fany penuh rasa gembira yang mendadak datang-nya. Dengan tetap berdiri saling tertuju tatap, seolah-olah mereka merasa akrap berapa hari, minggu bulan, dan tahun yang lsudah lewat.
“Ded...! pleasee!! Maukah kamu mengulangi ungkap kata hatimu seperti yang kamu ucapkan barusan, Ded!? Pleasee… Ded! aku ingin mendengarnya sekali… lagi, dan aku akan menjawabnya, Ded” jelas Fany yang mulai tampak merintikkan air dari mendung matanya. Tapi tak terlintas gapai dimata dedy bahwa detik ini Fany merasakan sejumlah warna rasa keburaman masalalu tlah terhapus oleh satu warna keceriahan, hingga lahirla kata dibenak Fany bahwa kemungkinan besar Dedy akan bisa dan selalu bisa membuatnya tersenyum disaat warna dengan sendirinya berubah akan cuaca rasa yang kemungkinan besar tak terduga hadirnya.
Dengan senang hati ia ulangi kata yang tidak jauh beda pertamakali ia paparkan pada Fany yang detik ini nampak merah merona diwajah mungilnya, dan iapun ucapkan berkali-kali hingga mereka berdua saling meraih tatap searah rasa debaran jantung. “Fan, aku suka kamu, aku cinta kamu dan aku..., aku ingin hatimu sama seperti adanya aku sekarang,” Dedy mengangkat jemari tangannya yang terbuka lebar ketatapan Fany. Fany langsung menyambut jemari itu dan di genggamnya erat-erat setelah ia berada di pelukan. “Ded!! Maukah kamu berjanji padaku, maukah kamu menemani aku disaat aku merasa sepi, disaat aku merasa Bt, dan disaat aku….” Fany menatap mata Dedy tanpa kerdip setelah ia melepaskan diri dari pelukan Dedy, Dedy menyambut tatapan itu dengan mata merahnya yang menyipit. Tanpa terasa oleh mereka berdua kalau mentari sudah mulai pancarkan aura bersama panasnya. Teman-teman Fany sudah mulai bergegas masuk dalam Bus, karena perjalanan akan dilanjutkan lima belas menit lagi.
Terdengar jelas oleh telinga mereka berdua kalau Cindy saat ini berteriak panggil Fany, dan semua gerakannya berkode waktu sudah habis. Tapi walau memang begitu adanya, mereka berdua sudah berhasil untuk meringkas ceritanya masing-masing dari ungkap hatinya, dan mereka-pun saling memberi lembar catatan yang berisikan tentang identitas lengkap selain dari nomor ponselnya.
“Fan, ingatlah kata-kata terakhirku ini, dan kata ini bukan berarti kita takkan berjumpa lagi, karena sejarah ini akan buatku dan kamu abadi” Dedy membelai rambut Fany seiring tatapnya yang belum juga llepas, “Iya Ded, apa?” serak Fany mulai tampak berkedip sayum. “Fan, janganlah kamu merasa sepi lagi yah, karena sepi itu bukan berarti kesepian, dan aku akan selalu ada di hatimu jika aku belum hilang dari ruang hatimu, sebaliknya kamu,” Dedy menggenggam jemari Fany dan ditempelkannya kedadanya setelah katupan jemari itu terbuka. “Iya Ded, aku akan ingat selalu kata-kata mu, dimanapun keberadaan-ku nanti,” jelas Fany membuat Dedy tersenyum dan berkedip. “Oh iya Ded, kapan kamu ke Malang, dan temui aku? Aku akan menunggu kapan pun kamu akan datang,” tanya Fany penuh kesan, seolah-olah waktu akan mengejarnya, “Ded terus terang aku katakan, bahwa baru kali inilah aku merasakan cinta pandangan pertama ini, dan ini terjadi bagai mimpi, tapi nyata adanya setelah kucubit pipiki sendiri,” lanjut Fany melepaskan tangan-nya seiring tatap beralih pandang pada sepasang camar yang baru ajah melintas tepat di atasnya menuju segerombolan. “Fan!! Bapakku punya villa di Malang, tapi lokasinya di Kota Batu, tidak jauh bukan? Dari Sawo jajar tempat tinggalmu itu,” jelas Dedy sambil ber arah tatap ke arah bus. “Iya sihhh…” singkat Fany. “Fan, dua minggu sekali aku pasti ke sana, karena aku harus membantu bapakku mengambil pesanan bunga-bunga seperti yang kuceritakan tadi, entar aku hubungi kamu dech,” jelas Dedy. “Oke Fan, kayaknya waktu sudah pisahkan kita, sekarang kamu harus pergi, dan enggak enak tuch ama teman-temanmu yang sudah menunggu,” Dedy langsung meraih jemari Fany dan menciumnya dengan kecupan terakhir, Fany tampak malu saat sejumlah teman yang ada di bus itu bertepuk tangan menuju dirinya. “Mari Fan, aku antar kamu ke sana, oh iya tunggu di sini sebentar ya, aku mau ngambil sesuatu yang tertinggal,” Dedy langsung bergegas ke arah mobilnya. Tampak dia mengambil biolanya di kursi belakang, dan terlihat jelas olehnya kalau saat ini Awank sedang pulas dengan mimpinya, mungkin lantaran dia terlalau lama menunggu adanya Dedy yang tadinya minta izin sebentar untuk meninggalkannya.
“Ayoo Fan! Aku akan mengantarmu ke bus,” Dedy meraih tangan Fany dan dirangkulnya seiring biola yang ia jinjing dengan tangan kanannya. Semua teman-teman Fany saat ini sudah berada pada posisi di dalam busnya dengan tempat duduk-nya masing-masing, Dedy nampak ikut naik ke dalam bus itu setelah Fany. “Loh Ded, kamu.., kamu kok ikut naik sich, kamu…. Kamu mau ikut, apa? Tanya Fany mengarah tatap pada Dedy dengan satu langkahnya ke undak-undak terakhir bus itu. “Ssst, naiklah, dan duduklah dimana tempatmu berada,” Dedy mendesis dengan satu telunjuk yang menempel di bibirnya. Dian dan Cindy hanya bisa diam dan tersenyum lebar dari kursinya. Supir itu tampaknya agak sedikit marah lantaran waktu keberangkatan sudah lewat delapan menit, apalagi si para guru. “Pak, permisi sebentar, aku minta waktu bapak 5 menit saja, pleasee pak, kali ini ajah,” tatap Dedy menuju supir itu dengan kedua tangan jemarinya yang menyatu, dan diangkat-nya keantara dadanya sambil digerakkan sesuai dengan tempo ucap-nya. Terdengar teriak sambut Dian yang tampak duduk di bangku samping Cindy, beserta teman-teman yang lain setelah melihat adanya Dedy mengeluarkan biola dari petinya. “Pak, tolong beri izin dia sebentar,” kata Cidy menghampiri sang supir yang tampak malas. Tampak-nya teman-teman yang lain terlihat dan terdengar jelas, ada yang pro kontra atas adanya permohonan Dedy bersama adanya Cindy yang ikut berusaha mendukung adanya Dedy. Dedy langsung mengangkat biolanya, dan di apitkan-nya keantara bahu dan dagunya, hingga semuanya pun mulai terdengar sunyi dari adanya jumlah kata tadi, termasuk supir itu yang lagi meneguk air mineralnya setelah mengngguk kata terserah.
“Maaf, aku minta izin pada kalian semua, terutama pada bapak beserta ibu guru pendamping, rasa hormat saya pada semua yang ada disini hanya minta izin untuk membawakan sebuah instrument lewat biolaku ini,” jelas Dedy sambil mengangkat biolanya keantara tatapan mereka semua, dan semuanya-pun mulai bersorak seiring gemuruh tepuk tangan. “Dawai ini adalah adanya nuraniku yang tertuju untuk Fany yang saat ini lagi tersenyum padaku itu, hehehe,” Dedy mengarahkan tatap bersama dagunya pada Fany, hallo Fan!” symbol hormat Dedy tertuju padanya, setelah yang ada didepanya semua. “Dan please.. aku ingin mengatakan sesuatu pada kalian semua, sebelum biolaku mendawai, karena anda-anda semua perlu tahu, dan memang harus tahu, bahwa hari ini, detik ini kami sudah jadian sama Fany,” jelas Dedy penuh cuek alias PD, dan persetan dengan perasaan-perasan negativ-nya. Semua tampak berdiri penuh sorak dan tatap mereka semua menuju dimana Fany berada. So pasti Fany jadi malulah dengan kejadian ini. Tapi inilah realita seorang Dedy yang mmpu bertahan dengan prinsip.
Semua tampak terpaku seiring dawai mulai mendesingkan telinga, tatap Dedy tak lepas dari adanya tatapan Fany hingga semua jadi ikut terkesan, terutama semua guru. Dawai itu perlahan makin tinggi dan merendah seiring matanya yang mulai tertutup bersama adanya Fany dibalik pejaman matanya. Semua tampak terpaku, tersenyum. Dan larut dengan imagi-nya masing-masing, hingga penghujung nada alunan dawai itu usai ditutup dengan serentaknya suara tepuk tangan ber iring kata salut dan sebagainya yang terlontar dari mereka semua, bahkan diantara mereka semua ada yang terlihat tersentak kaget dari lamunannya setelah adanya suara iitu, dan iapun mulai ikut tepuk tangan walau lambat adanya.
“Terima kasih, karena anda semua sudah mau meluangkan waktu untuk mendengarkan kata hatiku, dan kalian semua adalah saksi atas adanya ikatan cintaku pada Fany, sekali lagi terimah kasih,” Dedy mainkan mata pada Fany, sembari langsung beranjak ke arah pintu, dan melompat keluar dari undak-undak yang kedua.
Tidak lama dari adanya itu, bus pun mulai melaju sesuai rencana tujuan selanjutnya. Lambaian sejumlah tangan dari dalam bus itu terlihat jelas oleh Dedy yang tampak mengangkat jemarinya, melambaikan tangan beserta tatapnya lekat-lekat kearah Fany yang tampak duduk di bangku tengah meraih tatap Dedy.
Dedy langsung menuju mobilnya, dan perlahan ia buka pintu setelah ia letakkan biola dibangku belakang lewat kaca yang terbuka lebar. Awank pun mulai terjaga selepas Dedy nyalakan mesin mobilnya. “Sorry Wank, aku udah lama tinggalkan kamu,” jelas Dedy sambil perlahan pijakkan gass, mobilpun meluncur ke arah timur, Awank terkesan cuek saat Dedy berusaha menghiburnya dengan cerita barunya, mungkin saja dia merasa kesal karena terlalu lama harus terkurung sendirian dalam mobil, sampai-sampai dia lelap setelah lama menggerutu sendiri, tapi ekpresinya tak tampakkan adanya rasa marahnya.
Sepanjang jalan tak terdengar kata terucap diantara mereka, menurut Dedy, jika ia akan tetap berucap, maka kata-katanya akan menjadi basi untuk didengar oleh seorang Awank yang menurutnya tak pernah mengerti atau entahlah. Lewat kaca yang tampak terbuka lebar, Awank lebih serius menatap penghijauan yang tampak selimuti pegunungan hingga sesaat. anginpun berhasil mengacak total rambut ikal panjang-nya yang masih tetap ber-ala jepang dengan konde pena hitam. Tapi, mendadak Awank mau berucap setelah tatapnya tertuju pada adanya Dedy yang dari tadi tampak tersenyum aneh menurutnya. “Ada apa dengan senyummu, Ded” tanya Awank yang juga tersenyum berat. “Ada Cin Ta,” singkat Dedy sambil bersial siul. “Oh, ow…! Cinta,” Awank. “Iya, Cin ta,” Dedy menatap Awank yang mulai mau melepaskan senyum tawanya ketika melihat Dedy mengapitkan bibirnya kedalam dan mengangguk-angguk melihat kanan kiri. “Seperti apa cintamu, hem?” tanya Awank yang tak jauh beda dengan adanya tatap Dedy. “Kamu mau tahu Wank?” Dedy balik tanya. “Kalau boleh,” singkat Awank sambil menekan tombol Power DVD, dan memutar Musicnya Paga Nini, sembari langsung nyalakan rokok Harley. “Wank, detik ini aku merasakan cinta seperti adanya sebuah penyakit yang secara tiba-tiba tersembuhkan bersamaan, seperti adanya matahari dan hujan, seperti adanya panas dan dingin, dan! Seperti adanya api yang terpisah dari panasnya. Itulah yang ku rasakan hingga detik ini kamu tersenyum padaku, Wank” jelas Dedy mendadak hentikan mobilnya tepat diatas pantai berbatas taming, dan ia tersenyum arah pada titik bukit pecarron (sebuah makam para ulama diatasnya, yang hampir mirip dengan tanah Lot Bali, dan tak kalah jauh tingginya). “Uwau……..! itukah yang kamu rasakan Ded, cukup bagus dan sangat-sangat ironi,” Awank langsung membuka pintu mobil, dan melangkah pasti menuju bagasi mesin untuk bersandar. Matanya mulai menerawank ketengah pantai yang birunya berbaur dengan langit, dan ia hembuskan kencang-kencang asap rokoknya selepas meitik pandangkan tatapnya pada gumpalan awan yang cukup terang tanpa adanya titik asal cahaya. Dedy mulai menghampirinya setelah meneguk sebotol air mineral, dan dilemparkannya botol itu ketengah. “Apa yang kamu rasakan pagi ini Wank,” tanya Dedy seiring dirinya duduk diatas bagasi. “Aku merasakan, sebuah kedamaian pagi ini, adalah matahari tak terbit, tapi cahaya itu tetap saja seperti yang juga kamu rasakan,Ded. “Hem…,” desah dedy sambil baringkan tubuhnya, dan menengadah tatap pada ranting pohon asam diatasnya.
Bab Enam
“Andy..!! ada temannya,” teriak Zakaria dari halaman depan. “Masuk aja dek lewat pintu samping, Andy ada di taman belakang,” Zakaria mempersilahkan keenam orang itu masuk sambil memangkas bunganya seperti rutinitasnya, tapi jika ada waktu luang saat dia berada dirumah. “Makasih om, saya masuk dulu yach,” singkat Reno dan kelima temannya ikut serta. “Oh iya, iya nak, masuk ajach enggak apa kok, anggap ajah rumah sendiri,” Zakaria langsung menuju bunga asoka yang memagari pembatas taman kolam yang ada di halaman depan teras ruang keluarga.
“Hoyy.. Ded, rajin bettul kamu yach,” jelas Diko, menyapa Andy yang lagi memupuk bunga-bunganya dari jauh. Sejumlah warna-warni beserta nama jenis burung peliharaan Andy terdengar jelas di telinga dengan merdu suara kicau-nya. Tampak Wintry tidak jauh dari adanya Andy sedang memberi makan ikan-ikan di kolam itu. “Yeahhh, GR tuch ye... dipuji temannya...., eh dek! si Andy rajin tuch karena ada maunya, coba kalo nggak,” guyon Wintry pada Diko. “Kamu ini kenapa sih Win, dari tadi kok sewot melulu, kerjaanmu ajah belum beres,” gerutu Andy sambil menghapus keringatnya. “Ah…. Uda udah udah..” kata Reno. ayo Ndy kita jalan yuk?” Dion mengajak Andy ke rumah Sinta, Nury dan pasangan teman lainnya. “Gila ni anak, sudah tau aku lagi ngapain, masih juga,” dalam hati Andy selalu menggerutu, tapi dia mempersilahkan mereka semua duduk di pondok itu setelah minuman itu diantar oleh bibik Fatima.
“Tin, tintin,” bunyi klaksound itu dikendalikan Dedy dari pintu pagar, mobilnya tak bisa lewat lantaran ke enam motor itu menghadang jalannya tepat di depan garasi. “Tintin tin...! Andy…..tolong motornya pindah sebentar...,” teriak Dedy setelah keluar dari mobilnya. Zakaria penuh desah ucap sambil menggelengkan kepalanya setelah melihat Awank yang baru saja melintas di hadapannya, tentu saja dia marah. Dedy langsung melangkah menuju kran air, sambil menunggu motor-motor itu pindah posisi. Saat langkah Dedy melintas tepat di depan Zakaria, dia mendapat kata teguran yang sangat histeris untuk di dengar.
“Ded` jadi semalam kamu pergi sama Awank yach? Kamu nggak ngerasa malu, yah? Ngajak dia dengan penampilan-nya yang begitu. Coba kamu lihat, pakaiannya ajach enggak jauh beda dengan orang gila yang sering lewat di depan depot kita, dan itu wajar lantaran dia memang gila Ded. tapi kalau Awank itu Gila yang dibuat-buat, Ded, kalau kamu dan dia sich nggak pernah merasa malu, tapi aku, aku Ded, sebagai orang tuanya selalu melihat dia kayak gini, malu Ded, malu. Seandainya aku tahu semalam kalo kamu mau pergi sama Awank, aku nggak bakalan ngijinin kamu pergi Ded, dan kaga bakalan ngasi kamu uang jajan,” Zakaria tampak emosi, dan terus bahas tentang Awank, namun Dedy hanya bisa diam sambil menyemprot mobilnya yang penuh busa.
Awank memang keras kepala, omongan Zakaria tak pernah masuk ke kepalanya, apalagi orang lain? selagi katanya baik, itulah yang terbaik untuk Awank. Panjang lebar Zakaria bahas soal itu hingga mobil usai Dedy steam.
“Pak, bapak harusnya lebih mengerti dari saya, dia beginikan lantaran adanya gangguan mental, tentunya bapak mengerti bukan?” perlahan Dedy luncurkan kalimat strategi setelah ia dapatkan dibalik diamnya sambil nyuci mobil tadi, dan iapun bahas soal adanya Awank untuk membuat satu pengertian sikap pada adanya Zakaria yang selalu nampak emosi jika melihat dan mendengar adanya Awank.
“Pak, semalam aku berusaha untuk mencari tahu apa latar belakang Awank selama keberadaan-nya di Bandung, ya.. alhamdulillah sedikit demi sedikit aku bisa membuatnya mau cerita padaku. Yang pasti aku sudah bisa membaca dan mempelajari kenapa dia sampai jadi begini, seperti adanya kalimat emosi bapak ama Awank, yang selalu begitu,” lanjut Dedy, dan Dedy-pun membahasnya pada Zakaria sesuai dengan apa yang ia peroleh dari adanya cerita Awank semalam, tapi bukan termasuk prinsip yang membuatnya Xtrem.
Dengan adanya jalan cerita yang berusaha menuju adanya pintu hati Zakaria, Dedy-pun sangat-sangat berharap akan katanya untuk membuka pintu hatinya. Tapi pada adanya ujung cerita, Zakaria-pun mulai sadar untuk kembali pada ingatan masalalunya yang terlupa lantaran rutinitasnya.
Ternyata, Zakaria sudah mengetahui latar belakang Awank sebelum Dedy menceritakan semua itu, dan dia-pun mulai sengajakan diri untuk diam tak memotong jalannya cerita Dedy yang masih berlanjut, tidak lain hanya untuk membuat satu kecocokan antara cerita yang sudah diketahui sebelumnya dengan cerita yang masih Dedy bahas detik ini. Pasalnya, kurang lebih dari dua bulan sebelum kematian istri tercintanya, tanpa sepengetahuan
–nya sekeluarga Zakaria pergi ke Bandung hanya untuk mencari tahu dimana adanya Awank saat itu. Zakaria langsung menuju kampus dimana anaknya kuliah, namun alhasil, usahanya nihil mencari tempat dan keberadaan Awank. Dalam langkahnya menuju luar pagar kampus itu, Zakaria tanpa sengaja menyapa seorang pria berbadan jangkis untuk bertanya apakah orang yang disapanya itu mengenal dan mengetahui dimana Awank sekarang berada. Pria itu bernama iqbal, dan sangat kebetulan sekali pria yang ia sapa adalah teman akrabnya si Awank, dan Iqbal-pun tak banyak tahu tentang keberadaan Awank saat ditanya, Iqbal hanya bisa berkata pada Zakaria bahwa semua teman kampusnya merasa kehilangan sang biola maut, dan semua teman beserta orang yang mengenal adanya sang biolis selalu terngiang dengan sikapnya yang pendiam, tapi tak mau diam selain dawai beserta lagu-lagunya. Tapi keberadaan sang biolis itu tak terungkap berjalan dua tahun kurang lebihnya.
Tidak lama dari itu, Iqbal langsung mengajak Zakaria ke rumah kost, dimana Awank sempat tinggal di tempat itu yang masih dalam kawasan Buah Batu, tepat di belakang kampus. Teman-teman lama Awank sudah pada ditemui oleh iqbal beserta Zakaria, tidak lain hanya untuk mencari info dimana adanya Awank saat itu. namun cerita yang tidak jauh berbeda Zakaria dapatkan, hingga Pikiran negatif Zakaria mulai sedikit mengarah ke arah positif, dan kata negatif sudah merasuki otaknya beserta kata tebakan-ya mengenai adanya Awank hingga Zakaria kembali tiba di Situbondo.
Dari Awal Zakaria menyangka, bahwa Awank pasti tidak serius dengan kuliah-nya, pasalnya, satu minggu dua sampai tiga kali dia harus mengirim kebutuhan Awank, yaa... walaupun ekonomi Zakaria saat itu hanya cukup untuk dimakan, itupun kalau cukup, apalagi kesehatan sang istri perlu biaya besar untuk pengobatan setelah sang istri keluar dari Rumah sakit. Nama Awank selalu terucap oleh sang ibu yang saat itu nampak terbaring lemah dibalik adanya penyakit yang menyetubuhinya, hingga menjelang wafatnya, nama Awank…! Awank dimana kamu Nak, Wank!!! Awank, ibu sakit Nakkk! Ibu sakit! Dan tak ada kemampuan untuk menemuimu kamu Nak, Awank..! kamu dimana Nak,” ucap sang ibu dibalik tangisnya yang mulai mengering hingga kata “Nak” yang tertuju pada Awank, terpanggil namanya sampai ajal datang menuju titik kata pusaranya.
Dedy akan bercerita masa lalunya, yang mungkin dari cerita inilah Awank menjadi depresi hingga desosiasi mental.
Bab Tujuh
Garis
Diantara pagi dan siang ini
Akan kurubah garis kakiku
Walau harus merendamnya dalam bara penjuru mata
Melintasi rangkuman kata mata mata
Dan
Khayalan hanyala bagian dari cita citaku
Itu yang kumau
RidhoMu atas iklasku
Menjalani adaMu
Sebelum sudahku
Dan
Menyatakan kata
Sebelum ku berkata
Inilah aku kini
Yang bukan
Kemari soreh
…………………
sebayang wajah
di peZaman mataku
tiba dipermukaan rindu
menunggangi cumbu nyata sebelum terjadi
jika mimpi tak nyata
maka kita
takkan pernah bermimpi
………….
Seorang biolis berbakat selalu mendapat perhatian oleh kalangan mahasiswa, pelajar dan masyarakat umum penikmat musik. salah satu media mingguan kota tak asing lagi mengorbit namanya, dalam ajang kreasi seni. Predikat–nya bermusik diawali dari bakat yang dia tekuni sejak SLTP.
Sejak duduk di bangku STM, jurusan bangunan gedung. berulang kali ia mendapat penghargaan, antara lain seni Lukis, Teater, Puisi dan Musical. Tahun 98 dia mulai hijrah dari Situbondo untuk mendalami bakat seni beserta musiknya di salah satu Akademi Seni, di Kota Bandung. Hingga perjalanan waktu, dia mampu menguasai semua alat musik seperti yang di harap sebelum langkahnya, dan yang paling menonjol adalah Biola. Celaka, saking seriusnya menggesek tu biola, sennarnya putus dan matanya nyaris terkena pecutan. Tak kapok dengan kejadian itu, ia tetap mengasah kemampuan untuk melahirkan sejumlah ide yang menurutnya hanya untuk sebuah karakter untuk dikenal dan mengenal. Dibalik itu ia amat terkesan untuk tampil beda dari apa yang pernah ia lihat, dengar dan ia ciptakan dawai dengan unsur nada yang dikaitkan dengan ilmu pasti.
Seorang gadis muda berkacamata minus bernama Nesia sangat piawai dalam mengolah vokal, walau ia jurusan Tari, tapi tetap saja rasa ingin tahunya membumbung tinggi setelah ia pelajari dari lagu lagu orang yang ia dengar. Nesia selalu berusaha untuk meluluhkan hati Awank yang berhasil menggantung hatinya dibalik adanya kata tanda tanya Nesia, dan hingga saat itu juga belum ia dapatkan kata jawab pasti adanya hati Awank yang sebenarnya.
Nesia berasal dari golongan orang mampu dan sangat potensial dibalik sikap-nya yang selalu tampak Nyentrik. “Wank, Gua ingin Loe selalu menghuni ruang hati Gua, sebaliknya Loe, dan Gua tidak akan segan-segan untuk buat Loe lebih kecewa apabila suatu saat nanti Loe kecewakan Gua,” tegas Nesia sambil merangkul pundak Awank dari belakang, dan matanya melotot kearah tatap Awank yang tampak berpaling arah tatap. “Apa Nes, apa apa apa? Nes! Apa kamu enggak salah ucap untuk lebih memilih aku jadi kekasihmu, kan masih banyak cowok laen yang lebih dari adanya aku, Nes? Apa lagi gaya bahasaku tidak segaul adanya kamu, dan berulang kali aku bilang makamu bahwa kita adalah orang indonesia, maka belajarlah untuk merubah gaya bahasamu,” tanya Awank sambil menurunkan tangan Nesia, dan langsung meraih buku Darwin yang berjudul “The Origin Of Spescies dalam peti biolanya. “Nggak bisa” tegas Nesia. “kenapa?” Awank. “Karena Gua, udah terbiasa dari kecil, jadi kaga bisa,” jelas Nesia. “Nes, sebut saja bisa, bisa berbuat itu sudah berarti bisa, dari pada tidak bisa apa-apa,” jelas Awank. “Dan perlu kamu tahu Nes, bisa itu adalah sebuah kata kepastian, maka kamu pasti bisa merubah sikap jika kamu yakin dengan kata bisa mu,” lanjutnya sambil lekatkan tatapnya kearah langit yang hampir saja berbentuk pohon beringin, dan iapun mulai tersenyum berat melihat adanya yang mulai berandai andai.
“Kenapa omongan Loe berubah gitu seeh Wank..., jadi selama ini Gua salah, begitu? Dan kenapa kita mesti bahas soal tata bahasa seeh, dan bukan hati, kenapa, hem” ungkap Nesia sambil menghembuskan nafasnya kencang-kencang. “Karena kata bahasamu adalah hatimu, dan kamu takkan pernah tahu cara berbahasa dengan baik tanpa adanya bahasa hati. Sudalah… kamu tak perlu lata dengan adanya isi cerita Sinetron, atau orang yang sama seperti adanya.” Jelas Awank sambil meraih buntung rokok dalam peti biolanya, lalu dinyalakan-nya sambil tersenyum berat.
“Ok, Gua coba merubah kata untuk berkata dengan mu, jika itu yang Loe mau, Ok,” jelas Nesia sambil mendesah, dan tampakkan rasa kesalnya. “Jangan mencoba, tapi laksanakan bahwa kamu bisa, dan jangan Cuma sama aku,” jelas Awank dengan lirik matanya yang menyipit. “Iya iya iya…, sekarang kita bahas yang laen ajah Ok, dan kembali pada hati. Adakah hatimu untuk Gua, eh, maksudku untuk a k u, Wank? Dan merasakah kamu seperti apa yang tiap hari kurasa, tentang, CIN TA?” tanya Nesia langsung meraih buku dari jemari Awank. “Nes.. Nes!!! Kamu ini lucu banget yah,” Awank. “Loh, kok lucu seehh,” Nesia sambil melotot, seraya kaget. “Coba kamu lihat, Beli rokok ajach aku susahh, dan apa sih` yang bisa aku banggakan untukmu, Nes? Dan justru kamu adalah harapanku, setelah semua orang,” Awank tertawa lebar sambil pandangi tatap Nesia yang mulai tampak tomboy-kan sikap beserta ucapannya tadi. “Maksud mu apppa…. Cintaku pujaanku kekasihku duniaku dan semua kata baik hanya untukmu……,hem?” tanya Nesia dengan goyang pinggulnya beserta gerakan jemarinya, hingga kacamatanya baru saja terlepas jatuh. “Hahahaha….., kamu mau ngappaen….., hem?” “iya maksudku, kebanggaan apa yang kamu harapkan dariku, Hem, cintaku?” Nesia langsung peluk bahu Awank. “Aku Cuma mengharap, kamu adalah Nesia Raya, yang bakalan meRaya-kan senyuman banyak orang atas nama satu nama baik atas adamu. Hingga kamu takkan kemana-mana, tapi ada dimana-mana, manis, jadikanlah hidupmu berarti untuk semua orang, dan kamu sendiri, walau suatu saat nanti, aku tak pernah tahu dimana kamu berada.” Jelas Awank langsung lepaskan tangan Nesia dari bahunya, dan dipasangkannya kaca mata Nesia yang tadinya terjatuh, setelah ia raih dari geggaman Nesia.
Selama ini Nesia memang terlalu banyak pengeluaran uang, di setiap jumpa sama Awank, dan tak sepeserpun uang yang pernah Awank keluarkan untuknya disaat adanya pertemuan, walaupun itu bukan kemauan si Awank. Tapi ini hanya lantaran rasa sayang Neia yang amat mencintai adanya Awank yang menurutnya selalu apa adanya, dan lagian menurutnya, awank adalah sebuah Mobil mewah bermerk tak memiliki aki untuk berjalan hingga kelilingi arah harap. Ialah yang mungkin nantinya menjadikan dirinya untuk menyalakan mesin itu hingga berduapun ia tiba harap dengan sejuta makna dibalik kata. Tapi Awank tak pernah mau mengerti hal itu, dan iapun tak mau hal ini terus-terusan terjadi, karena dirinya merasa tak nyaman dan tak wajarkan sikapnya sebagai laki-laki, walaupun hal itu tak terpikirkan oleh Nesia.
Nesia hanya merasa nyaman disetiap jumpa dan menikmati adanya suasana bersama Awank, dan diapun menilai adanya Awank yang lebih roman`s dari pada orang-orang yang sebelumnya ia kenal. Walaupun berbicara dengan Awank selalu membuat hatinya jengkel, dan gereggedh. Tapi adanya sikap itulah yang selalu membuat Nesia jadi berpikir, dan selalu kepikiran dibalik adanya sikap Awank yang selalu saja begitu disetiap pertemuan, apalagi saat Awank mainkan biola-nya tepat di saat dirinya merasa BT. Semua pikiran itu membuat Nesia tak pernah absain untuk berpikir sebelum tidur hingga terbangun dari lelapnya ia harus menyiapkan strategi kata untuk berdialog denga Awank
Setelah begitu lama mereka berdua tukar cerita, dan saling tanya jawab, amarah pun tampak jadi asmarah, walau singkat terasa oleh seorang Nesia yang pengennya setiap detiknya selalu saja inginkan hal itu terjadi padanya. Tatapan Awank mendadak berubah arah pandang pada salah satu temannya yang agak jauh melintas di tatapnya,
“Iron.!! tunggu! Awank langsung bangkit dari tempat duduknya dan berlari ke arahnya. sedang Nesia ditinggal begitu saja, lantaran dia akan segera dijemput oleh seorang supir bersama jaguar merah hitam-nya yang tampak sebentar lagi pasti menuju ke arah mereka berdua.
“Ron! Ini adalah konsep lagu kita yang baru, tolong jangan kamu kasih ini sama anak-anak, karena dalam lirik ini udah aku lengkapi dengan sejumlah notasi pilihan, dan tolong kamu pelajari yach, salam juga ama yang laen, biar entar malam ajah kita bahas ini di kost ku, ok” lanjut Awank seiring biola-nya yang baru ajah ia sandang. “Tapi... kayaknya kita butuh dana dech Wank, untuk merilis ulang kelima lagu kita, dan dana ini kan tidak kecil, coba dari mana kita akan mendapatkan duit untuk semua lagumu, Wank? Apalagi duit untuk bayar Kost-ku udah terikut biaya rekaman semalam, ah… gimana dunk Wank?” jelas Iron sambil mengamati notasi dalam lembaran yang ia genggam, seraya melotot saat melihat lirik itu berjajar angka angka tak rapi dan entalah, iapun tak mau membahas soal itu selain dana yang harus ia dapatkan atas nama baik. “Ron, tolong jangan buat aku patah semangat, Ok, dan tolong jangan buat aku harus teriakkan kata tolong” jelas Awank berbisik keras ketelinganya sambil menepuk pelan pundak-nya.
“Phak phak...!” suara pelan tepuk tangan Nesia terdengar dari dalam mobil yang kacanya tampak terbuka penuh, dan sangat jelas terdengar oleh telinga Awank beserta adanya Iron yang masih tampak kebingungan atas sikap Awank yang menurutnya makin hari semakin aneh dan tak seromans hari hari sebelumnya.
Mereka berdua pun terdiam tanpa kata setelah mendengar dan melihat adanya asal suara itu yang makin dekat iringi langkah seiring suara genit.
Setelah pintu terbuka, ia mempersilahkan supir untuk membawa serta mobil-nya menunggu di bawah pohon akasea yang tidak begitu jauh dari keberadaan Awank. Sembari Nesia langsung menghampiri mereka berdua sambil mengusap bibir merahnya yang tipis dengan selembar tisyu. “Kalau masalah biaya gampang-gampang ajach, aku bisa bantu kalian berapapun besar dana untuk rekam semua lagumu. Tapi, akulah vokalis dari Band-mu, gimana?” Telunjuk genit Nesia mengarah ke Awank yang tampak cuek, dan tak memperhatikan omongannya. “Wank, gimana?, kamu terima enggak tawaran Nesia? Tanya Iron sambil mencengkram pundak-nya di hadapan Nesia, Awank langsung bergegas tinggalkan mereka berdua tanpa adanya kata, dibalik rona malasnya.
“Hmm..., Wank…!!! tunggu dulu, kamu mau kemana?” teriak Iron tampak kebingungan. “Nes... sory ya, entar aku kabari dech, yang pasti aku akan berusaha bujuk Awank, Oke!” Iron langsung mengejar Awank, dan Nesiapun melangkah pasti ke menuju mobilnya setelah berkata “Terserah,”
Sepanjang jalan mobil itu melaju, pikiran Nesia selalu tertuju pada Awank yang selalu tak mau mengerti. Hampir satu tahun mereka menjalin hubungan cinta tak terungkap adanya kata saling cinta. Yang ada hanya kata jalani saja, hingga suka dukapun pasti mereka alami bersama dalam perjalanan cerita asmara yang kadang-kadang menjadi amarah lantaran kata yang tak sealir.
Minggu-minggu ini, hingga menuju bulan, Nesia merasa bahwa ada yang berubah pada diri Awank, iya betul, mulai karya lewat lirik lagu-lagunya itu berhasil orang lain bawa tanpa sepengetahuan-nya beserta teman. “Tapi kenapa dia tak menceritakan padaku, jika memang ini alasannya? Ya... setidaknya akukan mungkin bisa membantunya, jika aku bisa, atau aku!!, aku.. ach, entahlah, kenapa dia jadi begini,” tanya jawab dalam hatinya mengiringi cepatnya roda mobil itu berputar hingga putarannya berhenti tepat di depan pintu garasi rumahnya.
“Awank memang keras kepala, dia sok, dia egois, dan.. dan dia sangat membosankan, chih...,” Nesia selalu menggerutu sambil melekatkan tatapnya ke photo Awank yang tampak teriak sambil mnggesek keras biolanya tanpa mengenakan baju, dan saat ini ia berada dalam kamarnya. Photo Awank tampak terpajang dinding kamar bersebelahan dengan sejumlah Photo Nesia yang berjajar dengan sejumlah Poster bergambar biola dan koleksi Guitar akustik berbagai merk.
“Awank… Awank…! Jijik nian lah…. Aku makamu, Wank,” gumam Nesia dihadapan cermin, rada-rada manja tapi tampakkan rasa kesal. “Kenapa sich, Loe ego banget? Sudah Sok, Belagu lagi ma Gua, hem... belum tahu Loe yah, siapa Nesia,” Nesia langsung mencengkram pena tintanya, dan di orat maritkannya lembaran dari bukunya yang tertuliskan nama Awank, hingga lembaran itu bolong dan tersayat tembus kehalaman kosong berikutnya.
Belakangan ini Awank memang selalu cuek, persis apa yang dikatakan Nesia tadi, dan tak seperti biasanya ia nyatakan sikap itu pada Nesia. Awank tidak ingin membebani hidupnya pada Nesia, dan akan terus dalam usahanya sendiri untuk mewujudkan mimpi-mimpi indahnya dari potensi yang mulai tergali atas adanya kata kebencian yang ia simpan sendiri, tanpa semua tahu, pada siapa ia benci. Dari sinilah ia berusaha dan selalu berusaha untuk merobah sikap agar Nesia segera membenci adanya Awank, dan cepat-cepat melupakan dirinya.
Konser tunggal VIOLIN AND GUITAR Tahun 2000 lalu menjadi sorotan kaum pencinta musik, hingga saat itulah Awank mendapat julukan sang Biola Maut dari kalangan kampus maupun di luar dari pada itu, lantaran kegilaannya mengeluarkan skill yang baru dia ciptakan atas dasar kolaborasi antara petikan empat sennar biola beserta gesekannya. Saat itu juga potensi otaknya mulai mengandung derasnya karya, sederas emosi yang keluar dari jiwanya, hingga suatu saat nanti bersemi karena cinta.
Orang tua mana sich, yang kaga bangga melihat anaknya penuh kreativitas? Dan siapa yang nggak merasa bangga kalau suatu saat nanti, anak kesayangannya bisa mewujudkan rangkaian mimpi indahnya, seperti harapan si anak beserta do`a di balik usahanya. Hadiyani, ibu Awank menangis saat Awank kembali ke Situbondo beserta hasil rekamannya. Tapi kenapa sang ibu menangis, saat mendengar nyanyian beserta Instrument`s biola dan guitar lewat CD-nya.
“Apakah ibuku cengeng lantaran menangis? Tidak, ibuku tidak cengeng. Hem` tapi kenapa dia menangis?” tanya jawab Awank dalam hati setelah ia menunjukkan hasil karyanya. “Tidak, ibuku tidak cengeng, karena menangis bukan berarti cengeng dan cengeng hanyalah sebuah sifat,” lanjut nya dalam hati sambil tersenyum berat melihat adanya sang ibu yang tampak menangis dibalik senyumnya.
Sang ibu merasa terharu, lantaran jerihnya terwujud satu nama kebanggaan, dan ini sangat mustahil, kata sang ibu, tapi inilah realita-nya. Entoh walaupun sang ibu harus bangun sebelum ayam berdendang dengan nyanyian ikhlasnya, bangunkan lelapnya para jiwa.
Dirinyapun harus terjaga dari lelapnya, walau ia belum juga lahap akan petualangan mimpinya yang harus di endingkan sebelum tiba kewajiban. dengan penuh ikhlas, ia bergegas menuju dapur untuk memasak sejumlah aneka hidangan pagi, lalu dijualnya ke pasar. Hal ini menjadi tugas rutinitas sang ibu yang tidak lain hanya untuk mencari kebutuhan yang dibutuhkan, dan.. dari sinilah dia dapat membantu nilai tambah pendapatan sang suami untuk membiayai kebutuhan ketiga anaknya sekolah dan satu anaknya yang saat ini duduk di Akademi. Seberapa besar sich, pendapatan seorang penjual nasi, ketan, dan bubur? Itupun kalau hari cukup cerah, kalau tidak? Mungkin saja air hujan itu mengiringi air matanya dibawah langit langit tenda biru, dimana ia berjualan. Tapi itulah realita si ibu, yang berjualan di pinggir jalan, bersampingan dengan pintu masuk kaplingan pedagang ikan.
Hadiyani selalu saja berkomunikasi dengan dirinya sendiri, karena menurutnya, berkomunikasi dengan hatinya sendiri akan lebih baik, dibanding berkomunikasi pada semua anaknya yang mungkin nanti akan berpengaruh pikiran si anak yang pastinya ikut terbebani atas adanya, entoh walaupun hal ini sudah lebih jauh dirasakan oleh ketiga anaknya, tanpa Hadiyani tahu. Tapi hal ini sulit untuk dirasakan oleh seorang Awank yang jauh untuk berusaha mengerti dan pahami perasaan sang ibu.
“Nak, jangan pernah kau berpikir, bahwa kamu terlahir oleh keadaan rasa nasibmu, walau katamu benar bahwa nasib telah melahirkanmu. Tapi nyatanya, aku mampu membiayai sekolahmu kan nak, entoh walau tanpa sepengetahuanmu aku selalu menangis sambil mengusap-usap dadaku setelah keringat harapku terhapus oleh ingatan katamu. Jika nasib emang seperti pikirmu, entoh pada akhirnya biaya sekolahmu tidak berbeda jauh dengan nasib orang yang setelah menekan tombol duitpun ia dapat sesuai harap, iya kan nak? dan tolong buka matamu lebar-lebar untuk menyaksikan bahwa inilah realitamu Nak, inilah nak.”
“Tolong jawab nak, kita ini termasuk golongan nasib yang bagaimana? Miskin kah, saya rasa tidak, karena miskin hanyala sebuah sifat yang selalu merasa tidak cukup. Ibu mau tanya lagi pada kamu Nak, kenapa sipaling kaya itu selalu kurang atas adanya sekarang, kurang apa mereka? Tidak lain hanya untuk kurang dari keadaanya sekarang kan nak. Tapi ibu merasa lega nak, saat kamu katakan adanya kelahiran katamu yang harus kau nyatakan, Kaya ilmu, kaya jiwa, kaya karya, dan kaya raya hingga namamu merayakan adamu dan So kamu takkan kemana, tapi ada dimana-mana, walau suatu saat nanti aku tak lagi tahu tentang penjuru atas keberadaanmu,” katamu itu nak yang selalu dan selalu membuatku tersenyum jika tersentak kuingat.
apabila suatu saat nanti kata itu benar-benar nyatakan adamu sekarang untuk hari esok, ibu hanya minta tolong padamu nak, tolong, perhatikanlah orang-orang seperti adanya ibu kini ya nak, termasuk adamu kemarin? Karena dari sinilah kamu berasal dan kesinilah kamu kembali ingat.
Begitu pula Zakaria, Zakaria hanyalah seorang makellar mobil tua yang umurnya mungkin lebih tua dari dirinya. Seberapa besar sich penghasilan seorang makellar? Itupun kalau misinya berhasil, kalau nggak? gimana cara dia untuk memenuhi kebutuhan keluarganya? Ditambah lagi untuk biaya kuliah Awank, apalagi si Awank sering meminta kebutuhannya mendadak, dan harus ia dapatkan saat itu juga, tanpa ada nafas untuk Zakaria berpikir darimana ia dapatkan. Kadang dua minggu sekali, atau bahkan lebih, kebutuhan Awank harus terpenuhi, dan itu harus, kalau nggak? Bisa jadi biolanya tak mau berdawai lagi selama kebutuhannya terpenuhi, atau sejumlah alasan lain dari Awank pada kedua orang tuanya hanya untuk mewujudkan semua pintanya.
Tanpa sepengetahuan semua anak, suka duka Zakaria dibalik dunia kerjanya selalu memberi kesan baik untuk keluarga agar tetap tersenyum, entoh walaupun dia harus jarang berada di rumah lantaran kariernya.
Pengendara mobil tua yang melajukan rodanya berputar cepat, adalah Zakaria yang mengendarainya. Sepanjang jalan tanpa arah pasti, setelah si pembeli gagal membeli apa yang ia kendarai sesuai dengan harapnya selepas melangkah dari pintu rumah. Dia menangis dibalik doa, agar semua impian sang anak bisa terwujud, dan harapannya hanyalah semoga suatu saat nanti semua mimpi-mimpi si anak akan nyata. Tapi dalam hati ia bertanya, sampai kapan kata sarana dan prasana akan balance-kan kenyataan.
Tak pernah keluarga tahu, dan mungkin takkan pernah tahu, bahwasanya pekerjaan yang dia hadapi penuh lika-liku rayu dibalik samarnya kata tipuan? Tapi inilah realita seorang Zakaria yang tidak lain hanya untuk menyatakan bahwa barang yang akan dijual itu keadaannya baik, walaupun nyatanya tidak.
Pernahkah sang anak tahu bahwa caci dan maki semua orang sering kali membuat kenyang rasa laparnya yang tadinya sudah lama tertahan di jalanan.
Sudah satu minggu Awank tiba di Situbondo, tanpa pengetahuan Nesia dan para sahabat kalau ia sekarang lagi PuKam alias Pulang Kampung gitu loo. Saat ini ia tampak mengurung diri dalam kabin kamarnya, entah kenapa? Zakaria menjelaskan karena keinginannya tak terwujud gapai, ingin apa sih, si Awank itu sebenarnya? Zakaria selalu saja bertanya dalam dirinya sendiri lantaran tanyanya pada Awank hanya terjawab tawa tawa tawa dan tawa kosong yang menggila.
Ternyata, dia hanya menginginkan uang uang dan uang, tidak lain hanya untuk melanjutkan rekaman lagunya. Tapi, uang sebesar pintanya tak sebesar kata nyata Zakaria untuk si Awank, entoh walau harus menjual apa yang ia miliki, ia tetap saja menggali lubang hanya untuk menutup lubang. Tapi sempat terpikir olehnya, akankah suatu saat nanti lubang yang selalu dirinya gali akan menjerumuskan dirinya sendiri kedalam lubang yang ia gali, dan tertimbun nama sebuah corengan.
Jangankan untuk setengah kebutuhan Awank, untuk biaya pengobatan sang istri saja hanya sebatas pikiran, dimana ia harus menggali lagi. Tapi, walau nyatanya begitu, Awank tak pernah mengerti tentang itu, dan dia selalu saja membuat semua keluarga emosi atas kata-kata yang tak segampang itu dimengerti semua keluarga, apa lagi ditambah dengan seluru bahasa indranya. Dia memang egois, dia emang sok, dan dia selalu saja persetankan semua kata nyatanya sebuah keadaan. Tapi Zakaria selalu saja mengalah, dan selalu saja menyalahkan dirinya sendiri sebagai orang tua yang tak bisa berbuat apa-apa atas impian sianak. Zakaria akui, bahwa Awank emang potensial, dan ambisius untuk mewujudkan mimpinya tanpa melihat kanan kiri. Entah sampai kapan ini akan berakhir, dan Zakaria selalu saja mengharap, janganlah sampai mimpi akan mengalahkan akal sehat si anak lantaran tibanya khayal sebelum langkahnya.
“Wank, bangun Wank, hari sudah siang,” sapa Wintry dari balik pintu kamarnya. “Wank, sampai kapan sih… kamu akan gini terus, ayolah Wank….! nich Wintry udah masak nasi goreng spesial untuk kamu, kita sarapan bareng yuk…! Ayolah Wank, sebelum Wintry berangkat,” lanjutnya masih juga tak terjawab oleh Awank yang tampak kosong dihadapan cermin, menatap lekat-lekat wajahnya sendiri yang mengkabutkan asap rokok. Perlahan Wintry mengetuk pintu kamar yang ke tiga kalinya setelah letakkan dua piring nasi diatas meja, tidak jauh dari pintu. Sudah dua bulan ini biola itu tak berdawai seperti biasanya, menyambut datangnya sang mentari, dan ini baru terpikir oleh Wintry. “Wank….!” Sapa Wintry untuk yang terakhir kalinya setelah melihat putaran jam dinding. “Enggak!! aku belum lapar, makan sendiri ajach kenapa sih……” tegas Awank mendadak kagetkan Wintry. Ia mulai merasakan sesuatu, ada yang berubah pada diri Awank detik ini, karena tak seperti biasanya ia perlakukan Wintry seperti adanya sekarang. Tanpa pikir panjang, Wintry langsung beranjak menuju kamarnya untuk mengambil tas. Wintry, Andy dan Dedy langsung berangkat menuju sekolah setelah sarapan bareng.
“Assalamu’alaikum...” suara itu terdengar jelas dari pintu luar. Tiga orang ibu-ibu adalah teman Hadiyani yang juga bekerja di pasar sebagai penjual ayam potong, beragam ikan laut, dan sembako. Kedatangan mereka bertiga tidak lain hanya untuk menjenguk Hadiyani yang saat ini masih terbaring sakit. Zakaria menyambutnya dari taman depan, dan mengantar mereka ke kamar istrinya setelah menyuci mobil tua milik pak Ibrahim yang akan segera mendapat tawaran dari dua orang peminat.
“Assalamualaikum….” Sahut ibu yang mengenakan kacamata minus tebal yang sering kali disapa Tin. “Wa alaikum salam,” jawab Hadiyani yang tampak kaget dan berusaha duduk. “E e e e…. jangan dulu Ni, biar ajah, kamu tak perlu duduk jika belum bisa,” sapa si bu Sor sambil menghampiri Hadiyani, dan menyapu keringatnya dengan tisyu.
“Ni! Lekas sembuh yah, kami semua merindukan canda tawamu, dan cepat jualan lagi yah, karena semua teman yang ada di pasar kangen akan masakanmu, hehehe...,” sahut mereka bertiga tersenyum lebar. “Iya, semoga doa kalian semua adalah obat yang mujarrab untuk kesembuhanku,” jawab Hadiyani iringi senyum, dan membuat semua serentak tawa. “Ah…! Yang mujarrab itu adalah jamu ramuan madura kali Ni, setelah kita berdoa, maksudku,” kata seorang ibu yang mengenakan baju daster bercorak bunga lili, dan ibu itu bernama Saritun, sering kali disapa Sartun oleh Hadiyani.
Putaran jarum jam yang baru ajah terlihat oleh Sartun menutup kalimatnya dengan kata pamit pulang setelah kalimat cepat sembuh berulang kali ia ucapkan. Sejumlah kata yang kedengarannya berkonotasi semangat, udah mereka lakoni bertiga diselah ekpresi humornya. Hadiyanipun jelas-jelas telah terhibur oleh adanya semua itu walau sejumlah warna-warni kue yang tampak berjejer dimeja, samping dipan dimana Hadiyani saat ini tengah berbaring, tak enak untuk ia nikmatin selain adanya doa para sahabat beserta kata dan humornya yang akan membuat dirinya emosinal sikap positif untuk selalu berpikir sembuh sembuh sembuh dan tak ada penyakit dalam dirinya kecuali dirinya sendiri yang melawannya dengan kata-kata.
Hadiyani tampak berusaha keras bangun dari pembaringannya hanya untuk mengantarkan mereka keluar pintu, dan mungkin hingga pintu pagar. “Jangan Ni! Kamu nggak boleh banyak gerak dulu,” ungkap Sor. “Iya Ni, biar ajah kami jalan sendiri keluar, kami bertiga enggak akan tersesat dikamar suamimu Kok,” sambung si Sartun membuat semua kembali serentak tawa lepas hingga terdengar oleh Zakaria yang tengah berada di halaman. “Yah udah…, hati-hati yah, karna aku hanya takut, kalian entar digoda ama anak ABG diluaran sana,” sahut Hadiyani terbata bata. “Udah udah udah…, entar kita bertiga enggak jadi jualan lagi” jelas si Tin. Mereka bertiga penuh kesan setelah melihat titik air matanya terjatuh dibalik tawa, namun Hadiyani pandai menyembunyikan nya dibalik mendung matanya, dan iapun merasa semangat untuk sembuh walaupun harus menyembunyikan rasa sakit kepada mereka dan semua keluarga yang benar-benar terasa nyeri keseluruhan tubuhnya. “Yaudah, yang tak sengaja kembali bergerak seperti semula. “E e e e… ni anak kalo di bilangin tetap bandel yah…,” jelas Tun sambil mengoyangkan pinggulnya dan satu telunjuknya menari seirama katanya, “ akukan udah ngomong jangn dulu banyak gerak Ni,” lanjutnya. “Iya Ni, yau wess… Ni, kamu beleh ngatur model-model semua gerakan ama suamimu ajah, tapi entar kalo kamu udah sembuh total, dan totolkanlah semua gerakanmu itu, Ok,” sambung Sartun dan mendadak mendapat lemparan bantal dari Tin. “Eh, ngomong- ngomong kalian naek apa?” Tanya Hadiyani. “”Nyarter Becak,” jawab mereka bertiga serentak dan langsung tinggalkan Hadiyani setelah berucap salam.
Dua minggu kemudian Hadiyani paksakan diri untuk berjualan lagi seperti biasa, walaupun Zakaria dan ketiga anaknya berusaha keras melarangnya. Menurutnya, terlalu lama dirinya absen tuk rutinitasnya, membuat hari-harinya mengurangi dayanya untuk berpikir atas apa yang selalu terpikir oleh si Awank dan semua anaknya. Tapi mungkin juga inilah yang namanya ketegategaran kasih ibu untuk mewujudkan mimpi sang anak yang tak jua putus harap untuk sebuah kata harapan. Namun dibalik adanya itu, satu pertanyaan sang ibu yang yang mendadak hadir dalam mimpinya, “Satu saat nanti, pertanyaan ini akan selalu kupertanyakan, namun cukup dalam hatiku,” ujarnya dibalik senyum, “Kasih anak seperti apa sich besarnya pada orang tua? entoh walaupun nantinya dia berhasil, menikah dan juga merasakan punya anak, masih ingatkah dia padaku? Dan masih bisakah dia membuatku tersenyum, dan aku tidak akan minta apa-apa darinya selain kata senyum dari semua anak-anakku yang tersenyum melihat dari apa dia terlahir, dan sejarah apa yang membuat dirinya akan bersejarah bagi semua yang mempunyai nilai tambah dari adanya hari kemarin. Maka, tak ada kata kesombongan yang bisa kamu sombongkan setelah kamu ingat bagaimana kamu-kamu hari ini setelah hari kemarin,” Lanjutnya sambil mengusap-usap dadanya sendiri.
Dalam benak Hadiyani, jika memang suatu saat nanti semua impian anak-anaknya nyata, Hadiyani hanya inginkan semua anaknya menurani pada setiap nurani dan mengerti apa itu makna cinta seperti yang ia inginkan. Selayak kata Zakaria masih perjaka, dan menjalin cinta dengan seorang Hadiyani yang masih gadis dan tampak cantik bagi seorang Zakaria yang selalu memujanya. kata ini pernah terucap olehnya Cinta bukanlah berarti percintaan, karena cinta itu adalah penjuru mata hati,. Rindu, adalah awal lahirnya cinta setelah satu bayang menyetubuhi hatinya. Tanpa kerinduan, maka, kita takkan pernah mengerti dan memahami apa itu makna cinta, maka tanyakanlah detik ini juga pada diri anda sendiri, apakah detik ini anda merasa rindu? Dengan siapa? Siapa saja yang anda rindui, maka itulah cinta anda yang selalu ingin anda jumpai, bahkan setiap menitnya,” kata Zakaria pada Hadiyani pada saat sejara asmaranya.
Hingga satu bulan berlalu dibalik senyum tanda tanya, Hadiyani menjalani rutinitasnya. Walaupun sejumlah rasa sakit masih terasa pada dirinya, semua ini terpaksa dia kerjakan agar kebutuhan si anak bisa terbutuhi, dan si anak tambah bersemangat, terutama untuk mewujudkan keinginan Awank yang masih keras dalam pendiriannya.
Bab Delapan
“Bu, kalau masih sakit! Sebaiknya ibu jangan jualan dulu kenapa sih…..!? kan masih ada bapak, Bu,” ujar Wintry sambil memijat pundaknya tanpa si ibu minta, sambil asyik nonton filmnya “PASIR BERBISIK” di ruang tengah yang nampak agak sedikit sempit. “Iya bu, karena saat ini ibu perlu istirahat banyak, tampaknya ibu perlu ketenangan dulu dech, bu,” sambung Dedy. “Bu, anak ibu bukan cuma Awank, saya rasa..!! ibu terlalu banyak mikir dia dech, udahlah bu!! Ibukan sudah tahu sendiri, dia itu sudah banyak habisnya biaya kuliah, dan apa sich, hasilnya bu?” tanya Andy tanpa tahu sikon dengan suaranya yang agak terdengar lantang. “udah udah udah, sebaiknya kalian semua belajar aja untuk persiapan sekolahmu esok, itu lebih baik dari pada ngomongi kakakmu sendiri,” jelas Hadiyani langsung beranjak ke kamar, dan tampaknya mereka bertiga merasa bersalah atas semua kata beserta sikapnya. tanpa kata terucap, merekapun kembali kekamarnya masing-masing setelah Dedy cabut kabel TV.
Suara jangkrik terdengar jelas dari dalam rumah yang mulai sunyi akan suara, dan percikan cahaya kilat itu baru ajah terlihat dari ruang tengah yang tampak gelap. Anginpun mulai menarikan sejumlah tirai ketika semua jiwa tampak lelap dibalik mimpinya masing-masing, Hadiyani mendadak terjaga dari lelapnya seiring histeris suara petir beserta angin dari luar menembus masuk kedalam kamarnya. air langitpun mulai jatuh lintasi langit-langit kamar, sembari langsung menampung tetesan air disejumlah sejumlah tempat lainnya yang bocor. Makin lama suara tetesan itu kedengaranya tak jauh beda dengan musik perkusi yang tak terpikir olehnya. Mendung matanyapun mulai menghujani kemarau pipinya sendiri seiring langkah perlahannya menuju ruang tengah untuk nyalakan lampu. Saat ini ia terpaku tatap pada barisan tropy beserta Piagam yang tampak terpajang hampir memenuhi dinding papan.
“Nak! aku mengerti perasaanmu,” ungkapannya pada foto Awank yang tampak aksi dengan biolanya. “Aku akan berusaha keras untuk untuk penuhi kebutuhanmu, nak. Tapi perlu kamu tahu yah nak, aku hanya menginginkan biolamu berdawai lagi, dan aku tak ingin lagi melihatmu murung lagi dalam kamarmu tanpa kata. Iya nak, ibu mendukung penuh inginmu untuk ujudkan adamu yang pernah kau ceritakan padaku waktu itu nak, tapi sebelumnya, tolong kamu mengerti adaku dulu, nak,” lanjutnya sambil meraih salah satu tropy, dan di lapnya dengan tangannya setelah menyapu pipinya yang basah.
Mendadak ingatannya tetuju pada ungkap kata dari salah satu anaknya tadi, bahwasanya Awank sudah banyak habisnya biaya untuk keperluan kuliah dan biaya musiknya, dan hal itu memang realita. Seandainya saja Awank tidak kuliah, mungkin kehidupannya tidak sesusah ini, tapi itu tidak ada di benak Hadiyani, dan mungkin kata itu sudah lama tertimbun dengan rutinitas serta keinginannya untuk melihat semua tersenyum.
Tidak biasanya Hadiyani pulang dari pasar di bawah jam 11.00, langkahnya langsung menuju kamar mandi selepas turun dari becak, sambil menahan rasa nyeri yang terasa pada seluruh organ tubuhnya.
Saat ini ia merasa bak baru ajah berlari mengelilingi alun-alun kota, dan rasa capek itu tak jauh beda dengan adanya perbandingan itu.
Kebetulan hari ini adalah hari minggu, jadi hari ini adalah hari tenang alias hari tenang bagi mereka yang sekolah. “Bu! Kok tumben ibu pulangnya cepat, dan kenapa tempat-tempat nasi itu tidak ibu bawa balik, kenapa bu? Ibu sakit lagi ya?” tanya Dedy yang tak asyik lagi membaca “SAYAP SAYAP PATAH” novelnya Gibran milik Awank. Biasanya si ibu pulang langsung panggil si Wintry, Dedy dan Andy untuk mebantunya mengangkat tempat-tempat nasi selepas turun dari becak. Tapi ini tidak, dan ini jelas jelas terpikir oleh semua anaknya,
“Iya bu, pada kemana barang-barang ibu, termasuk belanjaan yang buasa ibu beli, atau mungkin… ibu mau kembali lagi ke pasar, ya bu?” sambung Wintry perlahan iringi langkahnya. Hadiyani hanya bisa menjawab dengan senyum paksanya, namun hal ini makin membuat tanda tanya mereka berdua yang menghentikan langkahnya, dan kembali keruang tengah untuk berpikir byentang adanya si ibu.
“Aduh...!!!! aduh...!!! h h h h h!!! ya Allah!! Berilah, berilah, hhh, daku!! H h h! daku segala kekuatan Mu, hem..! hem! berilah…hhh, berilah daku kekuatan Mu untuk melawan sejumlah penyakit yang ada pada diriku detik ini ya Allah h h h h….. Ya Allah sakit apa sebenarnya diriku ini ya Allah….., hem! hem hem hem!!! Hem..! aku..aku… benar-benar tak kuat lagi, tak kuat lagi menahan semua penyakit yang kurasa ini ya Allah” rintih Hadiyani dalam kamar mandi sambil ngos ngosan dibalik tangisnya. Hadiyani nyasir syok saat derasnya darah yang keluar bak air kemih keluar dengan gumpalan darah titik titik kecil bak agar-agar jelly, dan diiringi bau anyir yang begitu cepat meruang dalam kamar mandi hingga tercium sampai luar. Semakin deras darah itu keluar, Hadiyani tak kuat lagi untuk merintih dan menagis kesakitan, dan dia hanya mampu menyandarkan tubuhnya disamping bak mandi dan menidurkan kepalanya yang berbantalkan lengannya.
Bak seikat jarum mengujuri tubuhnya dan menyumbat aliran darahnya, itulah yang ia rasakan. Tapi, teriakan Asma kepada-Nya ia sumpal dengan bibirnya sendiri,dan tetap merengek kesakitan.
Hingga hari kemarin dia selalu enggan diajak Zakaria ke rumah sakit untuk kontrol, dan ia selalu saja menjawab bahwa dirinya baik baik saja. Ia selalu saja memberi alasan itu, karena menurutnya, daripada Zakaria membuang buang duit untuk dirinya berobat, lebih baik untuk kebutuhan si anak yang memang membutuhkan karena poritive nya harap.
“Win, kamu mencium sesuatu kaga?” tanya Dedy. “Iya Ded, kayak bau anyir gitu,” jelas Wintry sambil mondar mandir. “Iyaya, coba kamu lihat sana gih! kenapa ibu lama banget ke kamar mandinya? Kayaknya bau itu dari dalam kamar mandi deh, dan perasaan ku tambah kaga enak nih Win,” Dedy menyuruh Wintry untuk mengontrol keberadaan Hadiyani, Wintrypun langsung bergegas tidak jauh beda dengan apa yang Dedy kira. “Bu, ibu kenapa? Ibu sakit apa? Kok kedengarannya ibu merintih, ibu nangis ya?” tanya Wintry dari luar pintu yang ketiga kalinya masih juga tak terjawab oleh Hadiyani yang tidak sadar oleh suara sapa itu. Hadiyani semakin menangis dengan adanya darah yang makin deras. Setelah mendengar suara tanya Wintry yang ke lima kalinya dari balik pintu, Hadiyani langsung tersentak kaget dan bergegas keluar setelah sirami gumpalan kecil kecil darahnya, sembari langsung membuka pintunya dan melangkah keluar.
“Nak ibu nggak apa-apa kok,” ungkap Hadiyani, matanya tampak merah dan jelas ketara habis nangis. “Kalau nggak ada apa-apa ama ibu, tapi kenapa wajah ibu tampak pucat, eh, maaf bu, bukan pucat, tapi... tapi mata ibu, iya iya, mata ibu kok kayak yang abis nangis, ayooo!!! Ibu habis nangis kan…..!?” Wintry kelepasan ngomong, takut sang ibu salah arti olehnya. “Ah..., enggak kok, mata ibu nggak apa-apa, barusan mata ibu hanya kelilipan sedikit, makanya ibu agak lama di kamar mandinya, ibu nyuci mata dulu, nak,” jelas Hadiyani sedikit mencurigakan lantaran jelas dan sangat kentara untuk ditebak atas adanya mimik ibu yang jelas tampak pucat. Hadiyani tampak tergesah menuju kamarnya lantaran serasa lumpuh segera ia rasa, jelas, dia kehabisan stamina untuk berdialog dengan Wintry yang ngngotot dengan kata tanyanya.
Setelah banyak tanya dengan dirinya sendiri, akhirnya ia temukan jawaban yang sangat-sangat masuk akal, dan iapun langsung menuju kamar mandi seperti curiganya. Ternyata dugaan Wintry tak meleset, bau anyir tercium jelas oleh hidungnya, dan bercak-bercak merah mengental itu adalah jejak langkah ibu setelah keluar dari kamar mandi. Tapi ia tak mau lagi komentari terhadap apa yang terjadi pada ibunya, karena ia hanya takut menambah beban pikiran si ibu lantaran ucapnya. Dia langsung panggil Dedy untuk membahas adanya Hadiyani, yang jelas tanpa sepengetahuan Hadiyani. Zakaria yang ditunggu-tunggu mereka berdua dari tadi tak jua pulang hingga sore ini.
“Bu, saya tidak bisa lagi jalani hidup begini terus, aku harus pulang ke Bandung secepatnya bu, entah bagaimana caranya aku harus pulang, aku bosan sembunyi-sembunyi begini terus, bu” jelas Awank pada Hadiyani yang masih terbaring. Panjang lebar ucapan Awank itu hanya sedikit yang bisa dimengerti oleh seorang ibu. Nampak jelas, Dedy Andy dan Wintry yang ada di samping Hadiyani diam tanpa membantah, dan sedikit merubah kesan mimiknya, mungkin saja karena mereka bisa menjaga perasaan ibu, dan tahu sikon untuk mendebatnya.
“Bu! Gimana? Kapan saya bisa pulang? Saya sudah merasa terpenjara di sini,” Awank masih ngotot dengan posisi berdiri tegap di depan pintu sambil mengusap keras-keras mukanya, dan mengusutkan rambutnya dengan lima jemarinya seiring desah menjijikkan. Dedy mulai tampak muak atas prilaku Awank, namun tetap saja bertahan untuk ngendalikan sikap.
“Iya nak, kamu boleh pulang kapan saja, kamukan juga harus kuliah, sudah berapa lama kamu nggak masuk, aku tidak lupa dengan semua pintamu nak, tapii..., tapi semua itukan butuh dana, ibu belum dapatkan dana itu sekarang nak, sabar ajalah nak, rekaman lagumu memang harus berlanjut. Orang tua mana sich nak, yang tidak menginginkan impian anaknya nyata, hem? Tapi itu semua kan butuh biaya, dari mana kita dapatkan biaya itu dengan mengejapkan mata nak, apa mungkin ibu harus ngerampok, hem?” jelas Hadiyani berusaha bangun, dan sejumlah kata motivasi pada Awankpun tak mampu lagi tercurah, walaupun karena terpaksa. “Jangan bu, ibu jangan banyak bergerak dulu,” jelas Wintry, kedua tangannya meraih pundak Hadiyani dan merangkul tangannya ke badannya lalu dibelainya. “Iya bu, ibu jangan banyak bergerak dulu, biarin ajach Awank ngomong apa saja, ibu jangan banyak mikir dulu,” sambung Dedy sambil menggumpalkan tangannya. Emosi Awank tampak meningkat, mungkin dirinya tersinggung, atau bisa jadi karena dirinya salah paham atau salah arti atas ungkap kata kedua adiknya.
Ia semakin comel dengan kata-katanya yang kokoh atas tujuannya, sikap ego rupanya sudah mengakar dalam jiwanya dan berbuah kata. “Iya bu, aku ngerti maksud ibu, tapi, tapi aku tidak ingin laguku selalu saja dibawa orang sebelum semua orang tahu bahwa lagu-lagu itu adalah hasil dari hatiku yang terujud karya. Aku udah bosan bu! Melihat orang-orang yang seenak e’ dewe’ itu, dan perlu ibu tahu ya bahwa karya itu nilainya tinggi dari pada harga karya itu sendiri setelah orang tahu. Tolong jawab bu, dan tolong ibu pahami Awank untuk kali ini aja, harga diriku sekarang terletak di penjuru mana bu oleh orang-orang yang berani banget memetik lagu-laguku?” Awank semakin ngotot tanpa membaca sikon adanya Hadiyani, dan tetap tak mau mengerti tentang keadaan.
“Kring... kring... kring...” bunyi telphone itu terdengar dari ruang tengah, sembari Wintry menuju telphone itu, dan mengangkatnya, rupanya teman Wintry yang menelpon. Dedy menggantikan posisi Wintry di samping ibu, dan tetap pada emosinya terhadap Awank yang tak mampu terbendung lagi. “Bu, aku tidak mau orang se enak e’ dewe merendahkan kita! Aku tidak rela bu, kalau karyaku dicuri begitu saja tanpa bisa aku tuntut karena tak adanya makhluk yang namanya uang, dan bukankah Zaman ini adalah zamannya uang untuk mencari uang,” Awank tampak menangis seperti anak kecil dengan sejumlah ungkapnya setelah menyandarkan tubuhnya dipintu dan melorotkan badannya hingga iya terjongkok.
Sejumlah kata yang keluar dari mulut Awank membuat Dedy penuh tanda tanya, apakah ini hanyala sekedar sikap aroganisme yang melatar belakangi adanya kata idealisme? Atau ini hanyalah acting dia belaka? Untuk menggapai keinginannya, karena di benaknya selalu berpikir bahwa Awank juga menguasai ilmu Teater. Apa mungkin mungkin ini termasuk actingnya, atau..., bisa jadi ucapannya semua itu benar? Kalau memang iya, kenapa dia tidak pernah menghormati perasaan ibu apalagi dengan adanya sekarang? Dan karya musiknya yang terwujud jelas dari hasil-hasil rekamannya seperti apa yang mereka dengar bersama hari-hari itu sedikit bukti adanya penjelasan yang ia ucap barusan. Musik musik dan musik selalu... saja musik yang ada di otaknya hingga tujuan hidupnya untuk menjadi seorang biolis ternama tak terhalangi adanya keadaan atas dirinya.
Dedy mulai menggenggam erat-erat tangannya, menggumpalkan emosi dibalik adanya kata beserta sikap Awank. Tapi dibalik itu dia merasa kasihan pada sosok Awank yang detik ini belum juga meredakan tangisnya, namun dengan adanya Awank yang masih tampak ngotot ini mungkin hati ibu menjadi tertekan dan Dedypun jelas jelas tak menerima adanya sikap Awank lantaran takut terjadi apa apa pada sang ibu. Tatapnya semakin tajam seiring katupan bibirnya yang bergetar seperti adanya Awank. Tatapan itu tak jua lepas pada rona Awank, bak raja judi yang menatap lawan dengan lirikan tajam.
Ketika bibir Awank nampak sedikit bergerak untuk berkata lagi, Dedy langsung bangkit dari dipan, sembari mendadak tarik tangan Awank secara paksa keluar kamar menuju halaman. Ia langsung tinju muka Awank tanpa sadarkan diri hingga serangannya menuju perut dada dan kembali kemukanya, “Bangsat... kamu ini binatang apa manusia sich’, itu adalah ibu saya, kamu ini, ah... kamu ini tak punya hati kali, ya? Coba kamu pikir, berapa tahun sudah kamu itu kuliah, hem? Dan semua itu siapa yang biayai kamu? Pikiranmu hanya untuk rekaman rekaman dan rekaman, pernahkah kamu berpikir duit dari mana itu, hem? Dan tahukah kamu bahwa untuk membiayai semua pintamu itu ibu selalu saja meminjam duit tanpa kamu tahu. Tapi itulah kewajiban ibu, demi tak ingin melihat kamu putus asa, dasar kamu tak punya hati…….ihhhh…. dasar se tan, binatang kucing alas” serangan Dedy itu tak mau henti beriring comal-camel celotehnya.
Tak habis pikir bahwa Awank hanya terbahak bahak lepas mirip orang kesurupan, dan iapun membalas serangan itu melebihi emosi Dedy, “bhuk, phakkk dhuk bhak,’ katupan jemari tangan Awank yang menggepal erat menuju sosok Dedy, “Hwoyyyy.... chihhh, kamu mau jadi pendekar ya..., oke! Lawan saja kakakmu ini, ayyo jika memang itu maumu,” Awank menggerak-gerakkan hamparan jemarinya dan ditamparkannya kemuka Dedy. Baku hantam itu tak jua henti hingga mereka berdua saling bergulung gulung dihamparan tanah saling balsa pukul. Sang ibu memaksakan dirinya untuk bangkit dari pembaringannya setelah mendengar teriakan tetangga dan iapun bergegas menuju halaman dengan langkah yang terbata-bata tidak jauh beda dengan ucapnya yang terpotong potong parau. “Nak... Hentikan!’ hentikan nak, tolong lihat ibu,” teriak Hadiyani dari pintu depan, sembari langsung menengahi kedua anak edani itu. Awank dan Dedy tak juga mendengar omongan Hadiyani karena mereka lebih serius tumpahkan amarah. “Hwooyyyy..., hentikan kataku, kalau kalian berdua tidak lagi menganggap aku ibumu ini, lebih baik kamu bunuh saja aku,” teriak lantang Hadiyani yang berposisi tepat di tengah mereka.
“Ded… kamu dengar nggak sich apa kata ibu, hem? Coba kamu lihat, coba lihat ibu Ded, buka matamu, kenapa ibu?” teriak Wintry beriring tangis, dan berlari kearah ibu yang tampak jatuh kehabisan tenaga untuk berkata dan berdiri hampiri mereka berdua, lalu ia memangku Hadiyani yang tampak ngos ngosan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dedy langsung menghentikan pukulannya terhadap Awank yang tampak dibawah tubuhnya, lalu melompat ke arah Wintry, sembari langsung memeluk ibu dan menciuminya setelah ia rangkul kepalanya kebadannya. Sedang Awank baru tampak sadar setelah melihat wajah ibu yang mulai tampak kurus pucat dan entalah apa yang ia rasakan detik ini terhadap adanya.
“Bu, ibu kenapa!? tolong bu, ibu jangan buat Dedy takut, ngomong bu ngomong,” ujar Dedy membasahi pipi ibu dengan air matanya. “Bu……!! Ngomong dong… !!! ngomong!” lanjutnya berulang kali dengan kata yang sama, lalu ia menggendong Hadiyani menuju kamarnya melintasi sejumlah tatap mata tetangga yang ikut iba atas adanya. Awank tampak mengusap usap keras rona merahnya, dan mendesah kata penyesalan sikap dirinya sendiri.
“Bu! minum dulu bu,” Wintry menjulurkan satu gelas air hangat setelah mengompres keningnya, Dedy tetap saja menangis di dekat Hadiyani yang dari tadi tak mau bicara. “Bu, maafkan aku bu, aku sudah berdosa pada ibu, tolong untuk kali ini aja bu, hal ini takkan pernah terulang lagi,” Dedy ciumi pipi Hadiyani hingga tapaknya. Tapi Hadiyani baru mau bicara setelah kepala Dedy tampak bertahan berbantalkan tapaknya beserta ucapnya. “Bebebenarkah apa yang kau kakakatakan itu nak, hem?” tanya Hadiyani sambil menjulurkan kedua tangannya untuk memeluk Dedy. Gegas Awank sebelum Dedy, ia langsung peluk erat Hadiyani seiring tangis bernada tawa, “Bu aku juga minta maaf, selama ini aku memang salah dan aku memang bukanlah kakak yang baik untuk semua adik-adikku, Ded! Maukah kamu memaafkan kakakmu ini?” lanjut Awank, sembari langsung meraih tangan Dedy. “Wank harusnya aku yang minta maaf, bukan kamu, hehehe...” Dedy langsung peluk Awank seolah-olah tak terjadi apa-apa dengannya, dan Wintrypun ikut tertawa lebar sambil berusaha menghibur Hadiyani. “Bu, aku janji, bahwa mulai sekarang juga, aku takkan bermusik lagi, gara-gara musik aku jadi gila begini,” tutur Awank sambil menyisir rambut capek Hadiyani dengan lima jemarinya yang terhampar. “Tidak nak, kamu tidak boleh ngomong gitu, dan janganlah pernah kau berkata itu, dan aku tidak akan pernah mau melihat semua anakku patah hati, patah harap menggapai kenyataan hanya gara-gara aku,”
“Nak, aku sebagai ibumu tidak menginginkan kekayaan yang pernah kamu ceritakan dulu padaku mendadak jatuh, kamu ingat kata itu nak?” tanya Hadiyani penuh semangat. “Kamu ini penuh potensi, maka wujudkanlah sejumlah karyamu, karena ibu sudah kangen untuk mendengar lagu barumu,” makasih bu,” singkat Awank. “Oh iya Ded, bisakah kamu putar kaset rekaman kakakmu? Aku udah kangen mendengar suara beserta dawai biolanya,” penuh senyum Hadiyani menyuruh Dedy untuk memutar seluruh rekaman-rekaman indie Awank beserta Guitar And Biola solonya, dan ia pun langsung bergegas mengambil kaset dari susunan kaset lainnya, dan memutarnya. Penuh rona ceria, Hadiyani mendengar nyanyian Awank bersama dawai-dawai semangat biolanya. Lagu-lagu ini sendirinya merubah warna suasana menjadi warni, meskipun Hadiyani masih tertahan dalam pembaringannya.
“Bu, saya akan nyanyikan satu lagu untuk ibu,” ungkap Awank setelah Tape-nya ia matikan, karena pita kasetnya membatasi adanya. Ia langsung meraih gitarnya untuk menjelajahi nada nadinya, dan menurutnya mungkin dengan inilah ia bisa menghibur ibunya. Dedy dan Wintry sangat-sangat bangga atas apa yang Awank bisa, dan ia akui bahwa kakak-nya yang satu ini adalah kebanggaan untuk keluarga. Sekejap Wintry hampiri Awank yang masih tampak menyanyi dengan pejaman matanya, mengadah langit-langit, “Saya harap, Awank akan menjadi sejarah baik yang bisa aku ceritakan pada semua orang,” gerutu Wintry dalam hati.
Seiring perjalanan nada dalam petikan gitar, sekilas air mata Hadiyani terjatuh tanpa sepengetahuan semua anaknya. Bulu kuduknya penuh rinding, dan penuh senyum ia tatap Awank yang nampak serius dengan alat musik yang ia mainkan. Penuh harapan ia berharap pasti, bahwa suatu saat nanti Awank bisa jadi panutan untuk adik-adiknya, dan bisa merubah sejarah masa lalunya.
Lekaslah sembuh
Kekasihku

Sambutlah matahari pagi

Lekaslah mekar bungaku yang layu

Sambutlah nafas rindu wangimu

Ibu
sambutlah tatap mataku
Rindu canda
Rindu ceriamu
Jangan biarkan lemah menghinggap
Usirlah dari tubuhmu yang terbaring
Semoga Tuhan tak lama menguji
Kualirkan doaku untukmu
Setelah meletakkan gitarnya, ia langsung cium tapak kakinya penuh seluruh rasa, hingga semua saudaranya terharu melihat adanya Awank. Setelah melihat ibu menangis dalam pelukan Awank, ia berharap, suatu saat nanti semua anaknya akan berhasil untuk wujudkan masing-masing mimpinya, dan janganlah kata kemiskinan jadi penghalang atas apa yang pernah mereka katakan.
Bab Sembilan
“Dek, Alhamdulillah….! tadi sore aku dapat rejeki dari mobil teman yang berhasil kujual, Lima juta, dan uang ini rencananya akan aku pergunakan untuk biaya Awank kembali ke bandung, karena di sini bukanlah dunianya untuknya yang tak terpikirkan lagi bagi kita,” jelas Zakaria setelah bangunkan lelap Hadiyani, dan dia baru saja datang dari kerjanya dengan sejumlah keceriaan. “Eh pak, aku merasa kasihan sama Awank?” jelas Hadiyani penuh ceria. “Ada apa dengan si Awank, dek?” singkat Zakaria balik tanya. “Nggak..., kemarin dia banyak cerita sama aku, kalau karyanya ada yang dibawa orang tanpa dia tahu, dan saya rasa hal itu ada benarnya juga ya pak? Hadiyani palingkan muka ke arah foto Awank yang terpajang di depan sudut kaca almari mik up itu. “Ah... itu cuma salah dengar kali, atau mungkin barangkali hanya kbetulan aja” jelas Zakaria sambil melepas bajunya karena merasa gerah, dan digantungkannya dibalik pintu. “Dek, orang pintar musik itu bukan cuma Awank anak kita, di dunia ini masih banyak pemain biola, apalagi musikus, jadi kalau masalah kemiripan yang ada pada lagunya itu wajar-wajar aja, siapa tahu itu unsur ketidaksengajaan atau yah… entahlah,” lanjut Zakaria sambil menyalakan rokoknya dan di hembuskannya kencang-kencang. Semua anaknya tak terdengar suaranya, mungkin saja dia hanyut dalam lelapnya warna-warni yang belum diukir sebelumnya, entah walaupun diukir sebelum dia lelap untuk melahap realita cerita fantasi, mimpi itu takkan sama dengan hasil rangkuman sebelumnya.
“Hmm... bapak ini! Dari dulu memang tak pernah mengerti arti adanya Awank. Kalau apa yang bapak katakan itu benar, karya diakan sudah banyak terwujud dengan lagunya sebelem apa yang dia dengar setelahnya,” Hadiyani masih ngotot memuji anaknya, tapi yang jelas apa yang Awank katakan itu serius, yang jelas karakter musik dibalik lirik lagunya itu ada kesamaan sepersis apa yang ia buat, itu kata Awank….., maklumlah kita tak tau musik” lanjut Hadiyani kembali pada posisi tidurnya. “Hahaha... udahlah dek, kalau itu memang iya, tentunya Awank bisa lebih dewasa, gimana caranya hal itu tak terulang lagi, sekarang yang pasti Awank harus segera pulang dulu, karena kalau larut-larut begini mau jadi apa dia disini?” jelas Zakaria sambil meraih handuk yang nampak tergantung dibalik pintu. “Dek, ego Awank itu sangat sangatlah tinggi, kadang kala aku sendiri menilainya sepertinya ia hidup di alam mimpi, dan dimimpi itu seakan dirinyalah peran utama yang sudah mampu melintasi angan sebelum langkahnya. Yah… tapi sudalah, yang pasti dia harus secepatnya kembali kedunianya untuk mencari lawan bicara yang searah dengannya,” lanjutnya langsung menuju kamar mandi.
Saat ini Awank memang suka mengurung diri dalam kamarnya, tak biasanya dia begini menurut semua keluarga, mungkin saja penjelasannya pada semua keluarganya itu ada benarnya juga, atau bisa saja tidak. Tapi kalau menurutnya sich..., lagu-lagunya memang pernah dia dengar sendiri dibawa oleh salah satu Band lewat kilas intro biola yang terpotong, tapi tidak sepenuhnya. Bisa jadi yang mereka bawa sedikit karakter, lirik dan intonasi misalnya, tapi... bisa jadi itu hanya salah duga saja. Hal ini membuat Awank lepas emosi, pasalnya sebelum lagunya terngiang di sejumlah telinga pecinta musik, dan dikenal orang bahwa itu adalah karyanyanya, lagu itu sudah disalip (didahului) orang. Semua teman kampus juga mengakui adanya masalah ini. Maka dengan adanya realita ini Awank selalu saja tersenyum dan tersenyum melihat karya lukis animasinya yang tergambar seorang Sincan yang tampak memakai anting dan mengenakan kaos ketat hingga pusarnya tampak beranting seperti adanya kuping dan telinganya yang juga begitu, dan Sincanpun nampak disalip dengan tangannya yang mengajungkan symbol Metal dengan rokok di bibirnya yang mengerut seiring matanya yang tampak menyipit tajam, dan iapun hanya bias menjerit kesakitan dalam hatinya lantan paku yang memaku kaki dan tangannya ditiang penyalipan itu. Dibawah gambar itu tertulis sebuah judul “DISALIP” (DiDahului), menurutnya, Sincan adalah seorang anak mama yang manjanya selangit dan selalu saja banyak ulah terhadap lawan bicaranya, dan entalah. Ia hanya tersenyum dan tertawa lepas jika menatap adanya itu berulang kali hingga iapun menuliskan kata di buku mungilnya
Jutaan dikepalaku
Ribuan dikantongku
Dan
Recehan ditanganku
Kering ditempat banjir saat harga tak bernilai lagi
Maka
Pujilah aku di media-media
Dan
Corenglah mukaku atas kenyatan
Agar
Lingkungan tidak menghargaiku lagi
******************************
Aku
Tak pernah jiwaku mengakui keberhasilan
Karena hatiku selalu saja mencaci maki kegagalan
Adanya aku bersama Keberadaan yang tidak pernah diketahui
hingga matipun aku tidak dicari
lalu
sang hati berbisik kepada jiwaku untuk mengutus otakku menggerakkan tangan bersama pena menari diatas kertas buram, seburam pikiranku malam ini
Pujilah aku dimedia-media
Dan
Corenglah mukaku atas kenyataan
Hingga lingkungan tidak menghargai aku dengan sebuah nilai
Hendro teman Band-nya ikut periHatin atas adanya Awank sekarang, sudah berapa bulan ini dia tak menjumpai Awank yang hingga kini tanpa ada kabar pasti. “Ada apa sebenarnya dengan Awank?” tanyanya pada semua teman lain yang merasa dekat sama Awank. Bukan saja Hendro, semua teman kampus merindukan sosok seorang biola maut yang mempunyai sifat pendiam tapi tak mau diam, selain itu Awank terkenal akan penampilannya yang sangat beda dari lainnya. Awank banyak disukai orang lantaran dirinya selalu setia menemani para sahabat yang merasa terluka hatinya, dan dia berusaha membalut luka-luka itu dengan tutur beriring nada, hingga dawai biola itu menjadi penutup atas luka-luka itu dengan sendirinya.
Mungkin apa yang dikatakan Zakaria sedikit banyak ada benarnya juga, “seorang biolis di dunia ini banyak, apalagi musikus berbakat, buktinya sekarang, siapa musikus paling ngetop, apakah dia merasa paling hebat? Tidak, malah dia pengen lebih baik dari hari kemarin, dan esokpun hanya untuk hari berikutnya setelah nyatanya hari ini,” tanya jawab Zakaria pada nurani. “Tapi... yang namanya hak cipta itu memang harus tetap dihormati, karena di sinilah sumber potensi seseorang harus dilindungi, maka aku harus menghormati karya seseorang. Apa mungkin pembajakan hak cipta lebih kejam dari bajak laut? Lantaran sebuah hak yang tak mampu hakimi dirinya sendiri,” Lanjut Zakaria langsung tersentak dari mimpinya.
Bab Sepuluh
“Wank! Besok pagi kamu sudah bisa berangkat ke Bandung lagi, tapi..!! aku hanya bisa memberimu Rp. 2.500.000,- itupun aku sudah susah payah mendapatkannya, kamu terima ajach ini dulu ya, lain hari bapak kirim lagi, jika ada, pasti,” jelas Zakaria langsung menjulurkan uang yang sudah siap di saku bajunya. Awank tampak menerima uang itu dengan corak sedikit tak menyenangkan, pasalnya dia butuh kurang lebih Rp. 5.000.000,- untuk biaya rekaman di salah satu Studio yang ada di Buah Batu kota Bandung. Mau tak mau Awank harus menerima uang itu, karena sudah lama sekali dia tidak melihat perkembangan Bandung tentang teman dan musiknya.
“Pak, sebetulnya!! Sa..!” belum usai ngomong Zakaria potong bicaranya. “Nak, tolong tak usah kau bicarakan lagi maksudmu, aku sudah cukup mengerti, tolong pahami aku nak, aku juga nggak tega memberimu uang ini yang menurutmu sedikit, tapi inilah hasil banting tulangku nak, dan belum lagi ini untuk biaya adik-adikmu sekolah,” Zakaria tampak serius. “Wank, apa yang bapakmu bilang itu turuti saja dulu, entar kalau dapat rejeki lagi pasti dikirim kok, kamu ngerti kan nak?” sambung Hadiyani sambil melipat rapi baju-baju Awank yang akan dibawa besok. Wintry, Dedy dan Andy tampak membereskan barang-barangnya juga.
“Bapak dan ibu jangan khawatir, saya tidak harus maksa ibu dan bapak untuk mengirim uang kepadaku lagi, karena aku tidak mau membuat satu kesalahan lagi, dan ini adalah janjiku bahwa aku tidak akan pulang lagi ke sini, sebelum aku sukses, itu janjiku pada bapak ibu setelah diriku sendiri, aku sudah bosan Bu, Pak hidup begini terus, karena aku pasti bisa apa yang dia bisa, dan bisa bisaku harus kujadikan sebuah kepastian yang nyata, itu yang ku mau, karena yang diatas adalah Bijaksana” ujar Awank hanya mampu membuat Zakaria dan Hadiyani mengangguk angguk lantaran tak mengerti apa yang baru saja Awank omongi beserta expresinya. Wiwin, Dedy dan Andy hanya bisa diam menahan tawa dengan adanya sejumlah kata yang baru saja dia dengar, dan penuh tanda tanya, apa sebenarnya maksud dari kata-kata itu?
Pagi yang ceria ini membuat suasana sangat berarti bagi seorang Hadiyani, pasalnya, dia bisa berjualan lebih tenang dari pada hari kemarin lantaran hari ini cerah. Jam sepuluh telah tiba, dagangannya Alhamdulillah telah habis terjual, dan diapun harus segera pulang karena ingin mengantarkan anak kesayangannya ke terminal Situbondo. Snack ringan dan air putih mineral itu baru saja dibelinya di Terminal untuk bekal perjalanan Awank. “Wank, ini ibu belikan kamu cemilan buat di jalan nanti,” ucap Hadiyani sambil memasukkan makanan itu ke dalam tasnya. “Ibu kok repot-repot sich, kayak anak kecil ajach aku ini,” jawab Awank sambil merapikan baju yang dikenakan, tatapnya menuju kaca yang terbayang jelas sosok ibu, Dedy, beserta Wintry di belakangnya.
“Wank, cobain nich, jaket levies yang baruku beli semalam untukmu, kayaknya asyik dech jika kamu yang pake’, dan tolong kamu rawat baek baek ni jaket, karena jaket ini aku beli setelah bongkar celenganku loh Wank” Wintry menjulurkan jaket levies street warna biru blau itu ke tangan Awank, iapun langsung meraihnya dan mencobanya di kamar mandi. Sembari Wintry terus ikuti langkah Awank, dan di luar pintu kamar mandi itupun ia terus bicara, “Entar kalau udah nyampe Bandung jangan lupa ngasih kabar, ya?” teriak Wintry. Tak lama kemudian Awankpun keluar dari kamar mandi lalu melangkah ke kamar kembali menuju cermin, dan Wintrypun nampak mengkelap kelipkan matanya sambil menilai penampilan Awank. “Awank….! Kamu kerren bangetttt! Kagak kalah beda ama Dani loh……,” Wintry mondar mandir perhatikan Awank yang tampak melangkah lagi menuju ruang tengah. “Ehe….., ya iyalah anak manis, kakak siapa dulu?” Awank manjakan Wintry, dan mencubit gemes dagu mungil Wintry.
“Entar dech, aku kabari kamu, kalo’ aku udah nyampe’ dan aku masih ingat kok, ama pesanan kamu, hayyo... kamu ingat nggak pernah pesan apa sama aku?” Awank mencoba hibur Wintry yang jelas tampak kusutkan muka lantaran Awank segera pergi tinggalkannya termasuk mereka semua yang ada di dekatnya, untuk kesan pertemuan terakhir, yang tentunya untuk kembali lagi dengan sejuta harapan. “Nggak tahu Wankkk, aku lupa Wank, aku pesan apa yach, oh iya aku baru ingat, akukan pesan boneka yang gedde bwangeet segedde kamukan Wank, ya kan Wank?” jelas Wintry membuat Awank tertawa lepas. “Buuukan, bukan itu yang pernah kamu bilang ama aku,” jelas Awank dengan ekpresi manjakan Wintry. “Lantas apayah yang pernah aku pesan dulu?” Wintry belum juga paham, atau mungkin dia benar-benar lupa sama pesanannya sendiri, mereka bertiga melangkah pasti menuju Zakaria yang sudah siap dengan mobil tuannya di halaman depan. “Win, kamu kan pernah pesan vokalisnya Radja, itutu yang nyanyi lagu “JUJUR”,” jelas Awank. “Oh iyaaaaa hahahaha... entar kalau ketemu dia kirim aja ke sini yach, hahaha.. dia keren banget oyyy,” Wintry menepuk nepuk pelan lengan Awank dan mengulang ulang katanya.
“Oh iya bu! si Andy ke mana yah? Kok kaga’ nampak dari tadi,” tanya Awank pada Hadiyani sambil melangkah masuk mobil. “Biasalah Wank... si Andy itu, kalau hari minggu begini sibuk ngurus peliharaannya, selain ngurus burung-burung peliharaannya dia juga sibuk ngurus ternak setianya alias ceweknya, masa kamu kalah sama Andy Wank, dia aja udah punya cewek, giliran kamu kapan nyari tu pasangan dan kenalin ama kita kita disini?” jelas Wintry terus sindir Awank. “Hahaha... kamu ini ada-ada saja Win, masa Arjuna harus nyari cinta sich? Arjuna itu harusnya ngoleksi cinta tau...!” jelas Awank. Wintrypun ngeledek Awank sambil mencengkram tengah bahunya “Iiiih… tega banget lu ya Wank ama cewek, kamu kaga sadar apa kalau aku ini adalah salah satu cewek yang benci denger katamu, iiiiih” Wintry cubitin Awank berulangkali, tapi iapun mengelak dari cubitan itu hingga seraya capek dan hembuskan nafasnya kencang kencang.
Mobilpun terlaju oleh kemudi Zakaria, hingga panjang lebar obrolan mereka sekeluarga menghappy endingkan kata perpisahan, namun, Wintrypun belum juga puas untuk berguyon dengan adanya Awank yang mungkin selama keberadaannya dirumah setelah dari Bandung, baru hari inilah ia menikmati adanya rasa keceriaan bersama sang kakak yang tadinya lama membisu. Tapi, dalm hati ia berkata “Akankah aku akan lebih tersenyum lagi jika, suatu saat nanti aku tengah melihat Awank beserta biolanya itu lewat layar TV, hahaha…., semoga iya,” ujarnya melepaskan tawa hingga semua dibuatnya bingung. “Kamu kenapa Win?” Tanya Hadiyani. “Lagi kasmaran kali bu…..!” sambung Awank sambil mengapit hidung Wintry dengan kedua jemarinya. “Iiiiiiii… apa apaan sih….” Manja Wintry sambil melepaskan tangan Awank, “Siapa lagi…` yang kasmaran? Kayak yang kaga ada kerjaan lain apa? Hem`!” lanjutnya langsung mengapit dagu dengan jemari tangannya yang terpangku diantara jendela mobil. “Lantas?” Tanya Awank. “Ihhhhhh,” gemmes Wintry langsung melotot ke arah post, “Nah tutututu, itu…. Po Lantas yang kamu maksud Wank….,” lanjutnya membuat Zakaria yang dari tadi nampak diam ikut tertawa lepas seperti adanya mereka semua.
Sekarang mobil sudah sampai di terminal, mobil itu masuk dari pintu samping, dan memarkirkannya dekat jajaran penjual buah, langkahnya menuju bus yang segera ditumpangi. Sejumlah obrolan singkat sudah terucap dari mereka masing-masing. Hiruk pikuk suara keramaian mengitari pendengaran masing-masing, hingga tak terasa kalau corong yang nampak di samping atas petunjuk jalur tujuan itu, mengungkapkan, kalau bus jurusan Situbondo Surabaya akan segera diberangkatkan. Tampak mereka penuh peluk dan tangis kebahagiaan, seolah tak ingin menjauh dari Awank.
“Bu, Awank pamit dulu ya, ingat, jaga kesehatan ibu, dan mulai saat ini ibu jangan lagi pikirkan aku selagi aku masih bisa ngatasinya sendiri,” Awank meraih tangan Hadiyani dan mengatupkan jemarinya kuat, dengan rasa penuh cuek pada adanya keramaian disekitar, ia langsung menciumi pipi Hadiyani setelah katupan itu mengartikan restu ibu. “Nak, tak ada yang bisa ibu berikan padamu selain restu dan doa, pergilah nak, aku akan menunggu dawai biolamu dari sini, pergilah nak, wujudkanlah mimpimu,” Hadiyani terus melanjutkan curah kasihnya. Zakaria melangkah menuju mobilnya setelah simpel ungkapnya pada Awank usai, Dedy dan Wintry beruntun ucap padanya untuk mendengarkan lagunya dari sini, tidak jauh beda seperti kata ibu. Lambaian tangan mereka bertiga tertuju pada Awank yang tampak dari sela kaca bus yang perlahan melaju.
Bab Sebelas
Ketika keluarga dan para sahabat memuji hasil karyanya, Awank tidak menganggap semua itu adalah kata serius, tapi ia lebih menganggap serius para senior dan para kritikus yang tampak hadir dalam undangan ajang seni yang berlangung hari ini juga. Konser tunggal biola and guitar belum usai, salah satu dari undangan yang tampak duduk tidak jauh dari sudut depan panggung itu mendadak berdiri, dan bak kata protesnya mulai terucap lantang dengan satu telunjuk yang menghorisontalkan kata “Maaf ,” sebelum Awank usai bicara.
“Mmm.. untuk lagu ketiga saya akan coba bawakan “SAATOS RAIN” lewat tremolonya, singat Awank setelah lagu sebelumnya usai dimainkan. “Maaf, sebelumnya, anda kalau mau coba-coba jangan di sini, kalau mau coba-coba cobalah nanti di WC, terima kasih” singkat sosok setengah baya ini. Nampaknya orang ini sangat inteleq, dan cukup profesional. Dia dapat menilai baik buruknya, dan orisinil tidaknya karya seseorang, terlihat dari cara bicara beserta penampilannya sangat beda, dia tampak hemat dengan katanya, dan selalu simpel dengan ucapnya, namun satu kata darinya, bisa jadi kali-kali lebih berarti dari satu katalimat juta makna. Hal ini berlangsung setelah aksi panggungnya telah usai. Awank sangat menyukai adanya acara jajak pendapat setelah melntunkan karya lewat nada yang disaksikan oleh para tamu yang tampak hadir itu. Awank tidak melanjutkan pemikirannya itu, namun ia tetap berusaha untuk intropeksi diri buat hari ini esok dan nanti ia harap lebih dari kelebihannya kta pendapat hari kemarin.
Sesampai di luar gedung Studio Teater Kampusnya itu Awank tampak disambut oleh banyak juluran tangan yang menjelaskan ucapan selamat atas aksi panggungnya tadi. Awank meraih tangan itu satu-persatu hingga langkahnya menuju salah satu kantin yang ada di belakang kampus.
Panjang lebar obrolan mereka memyemarakkan suasana, “kali ini Awank yang mentraktir kita, gimana anak-anak?” jelas Zoel menuju Iron, Iqbal dan Reno. “So iyo la..” jawab Iron menyantap bakpao. Bik’ kopi susu dua”, lanjutnya setelah nasi lodeh baru ia lahap. Hingga masing-masing temannya yang tampak di dekatnya memanjakan diri pada Awank yang lagi sibuk nerima banyak SMS masuk. “Gila ni anak, emangnya gua bwapak moyang loe apa?” Awank langsung bangkit dan melotot lucu pada semua sahabat yang tampak sibuk dengan menu malamnya.
Terdengar jelas instrument biola itu dari ponsel yang masih di genggamnya, terpampang nama Nesia di layar ponselnya. Awank langsung menekan tombol Hansfree itu dan menjawabnya. “Ciluk baaa...” singkat Awank, “Gila’ dari siapa tuu...” tanya Iqbal. “Biasa’ dari wewekku,” singkat Awank berbisik jelas ke telinganya, sembari langsung menjauh dari mereka semua. “Weeewek’, wewek gombel kali yee...! gerutu Zoel sambil menggelitiki Awank. “Udahlah Wank... zaman sekarang ini! Udah bukan zamannya lagi manja-manjaan, sayang-sayangan,” usil Reno, suara merdunya itu mendekati bibir Awank yang bersua mesra, dan kedua temannyapun ikut-ikutan menggoda Awank yang tampak lagi asyik-asyiknya ngobrol dengan ponselnya yang merealitakan suara weweknya.
Keceriaan seorang sahabat sejati tak mudah luntur jika adanya rasa yang sepaham, walaupun suka duka menyelimuti rasa, namun dengan adanya kebersamaan itu mungkin saja bisa melarutkan rasa duka dengan sendirinya.
Hari-hari telah lewat, seiring putaran angka dalam kalender yang mengiringi pengendaran bumi. Awank bersama “KURSI” { nama Band-nya } selalu sibuk dengan musiknya, dan mengirim karya lagunya kesejumlah Studio radio yang ada di kota itu untuk memperkenalkan atas adanya. Mereka tetap konsisten untuk selesaikan rekaman berikutnya yang lama tertunda, mereka berlima tentunya membutuhkan dana untuk hal yang satu ini. Tapi kenapa dari mereka berlima, hanya Awank yang menolak akan usulan cemerlang Nesia waktu itu? Nesiakan cuma pengen memodali rekaman itu. Kenapa Awank lebih suka bekerja sendiri tanpa adanya rasa percaya pada kekasihnya sendiri, “Inilah prinsipku” jawab singkat Awank. Hanya sedikit yang membuat Awank tidak suka pada Nesia, jiwa Nesia lebih jauh berbeda dengannya, Nesia yang hidupnya penuh Dugem itu membuat satu kesalahan bagi seorang Awank. Jiwa Nesia masih kekanak-kanakan, dia hanya memikirkan bahwa uang bisa segalanya. Tapi walau nyatanya begitu percintaan mereka berdua berjalan biasa-biasa ajach. Pernah satu hari kata ini terucap dari bibir Awank yang baru saja mengapit rokok yang apinya tampak menjalar menuju buntung, “Nes, sampai kapanpun aku tak akan pernah janjikan setia padamu, karena kesetiaan akan tumbuh dengan sendirinya jika kita sehati, maka biarkanlah cinta mu mengalir dengan apa adanya,” kata ini terucap saat Awank memergoki Nesia bercumbu mesra di dalam kabin TERRANO-nya. Seorang cowok berdasi menciumi bibir merah Nesia dengan gaya sendirinya, “tapi kenapa dia mengelak, saat aku tanyakan kenapa itu terjadi, dan kenapa kamu merasa enggan untuk putus.
“Nes, tak ada satu kebanggaan dari seorang Awank kecuali imajenasi yang aku miliki, tapi walau aku tak mampu memberimu nilai kasih yang lebih dari cowok yang pernah kamu kenal sebelum adanya aku, harga diriku cukup menghargai nilai kasihmu yang pernah aku rasakan entoh walaupun harga diriku sebatas rasa hormat, tapi aku akan selalu menghormati adanya kamu. Tapi sebaliknya, akankah kamu akan tetap bertahan untuk tetap menghargai aku setelah dirimu memahami adanya sebuah nilai, hmmm?” di depan cermin itu Awank berkata mengirigi senyum, rona wajahnya tampak berekpresi analogis terhadap bayangan dirinya sendiri. Terlihat di asbak itu tujuh batang buntungan rokok yang baru saja ia nikmati beriring dialognya yang monolog.
Dengan sendirinya jalinan cinta mereka putus, hanya karena tidak sepaham kata yang tak sealur prinsip, higga kebosanan hinggap pada mereka berdua. Tapi dirinyapun tetap menimang nimang angan cinta berikutnya hingga waktupun terus berjalan seiring putaran bumi yang tak pernah absain untuk mempertemukan garis gelap menuju terang, seperti adanya rasa yang selalu berganti warna bahkan tiap detiknya.
Hingga saat ini Awank belum menemukan cinta sejati yang berjati untuk menggantikan posisi cinta Nesia. Awank hanya menginginkan satu cinta yang benar-benar didasari symbol satu, yaitu satu hati satu jiwa satu satu satu dan satukanlah adaku dengan adamu, apakah itu sebagian dari cinta? Lanjut Awank. “Kaya Ilmu Kaya Jiwa Kaya Karya dan Rayakanlah Adaku dengan kata ini,” mungkin inilah jawabanku untukmu adanya rasa adaku milikku untuk kalian miliki kelak.

BAB DUA BELAS
“Nak, cobalah sekali lagi kamu hubungi Awank, mungkin sudah bisa,” ungkap Hadiyani yang tampak terbaring lemas diatas dipan kepada Wintry. “Tidak bu! mungkin nomor ponsel Awank sudah ganti kali ya, saya udah berkali-kali berusaha menghubunginya, tapi non aktif dan selaluuu saja begitu,” jawab Dedy setelah dirinya melihat siWintry menghapus air matanya, namun membelkangi si ibu.
Hadiyani selalu saja kepikiran atas keberadaan Awank yang hingga saat ini tak ada kabar. Sudah setengah tahun lebih, Awank tidak ada kabar. Sedang Zakaria terpaksa meninggalkan semua keluarganya setelah dua minggu keberangkatan Awank hanya untuk merubah garis tangannya yang mungkin masih bisa ia rubah atas sungguh-sungguhnya usaha dan do’a yang ia jalani, ia merantau.
Saat ini dia tidak lagi menjadi seorang makellar mobil tua, dan pekerjaan itupun akan ia tinggalkan untuk selama lamanya, hingga sampai kata turunan Zakaria mengharap agar pekerjaan itu tak hinggap kepada anak cucunya nanti. Zakaria menggali bakat Seninya semenjak menginjakkan kakinya di Kota Bengkulu ini. Saat ini ia berprofesi sebagai tukang taman, dan setelah ia berhasil meraih dua job borongan Relief dinding bernuansa “Kudus” di Gereja Bengkulu serta taman air terjun disalah satu kolam pemandian “Tirta”, hingga iapun mampu membayar sewa sebuah ruko mungil dikawasan Pagar Dewa (nama tempat). Begitu jelas terpampang di atas rollyng door itu, sebuah papan merk bertuliskan “Anak Zaman Gallery” seperti harapan Dedy sebelum malam, pagi Zakaria berangkat setelah mereka berdua banyak cerita tentang hari esok. Di bawa nama itu juga tertulis jelas “Menerima pembuatan Relief, Taman, air terjun, patung, dan semua jenis lukisan setelah Advertising dikolom nomor dua. Pekerjaan ini pernah ia tekuni waktu dirinya masih bujang, tapi tak sempat membuka Gallery, dan iapun tinggalkan karier serta cita citanya untuk mendirikan Gallery seperti adanya sekarang setelah dirinya menikah dengan Hadiyani.
Setiap ada garapan ( borongan ) dia tak pernah lupa untuk memberi kabar tentang adanya sekaligus mengirim kebutuhan keluarga. Tapi yang namanya seorang bapak jelas jelas selalu kepikiran untuk terlalu jauh dengan semua keluarga, namun hal ini terpaksa ia lakukan hanya sejenak merubah nasib dirinya untuk mereka semua dan kemungkinan besar nama “Anak Zaman” itu akan pindah tempat dikotanya, tapi setelah modal cukup tentunya.
Semua sahabat, juga bingung dimana keberadaan Awank yang sebenarnya saat ini. Sudah dua bulan ini mereka semua tak pernah nampak adanya Awank, “Apa mungkin semua ini gara-gara Nesia,” tanya Zoel Cs. “bisa jadi, masalahnya mulai pertengkarannya waktu itu Awank sudah sedikit banyak nampak berubah,” singkat Iron mengangguk-ngangguk. Mereka berempat baru sadar, bahwa lagu-lagu yang sempat ia dengar lewat TV n Radio, alur maupun sedikit adanya notasi beserta lirik tidak jauh beda dengan catatan yang juga pernah mereka lihat dalam buku-buku Awank, dan itupun juga nyata sama dengan lagu yang mereka usai garap. “Apa mungkin, ini semua ulah Nesia?” tegas Reno, menimbang-nimbang adanya. Mereka berempat sudah mencari Awank ke mana-mana, termasuk ke kostnya, namun hasilnya juga nihil. “Apa mungkin, Awank pergi dari kita lantaran lagu orang yang pernah aku dengar, ada sedikit yang mirip dengannya?” lanjut Iron yang sudah mulai bosan mencari Awank. “Aah.., itu tidak mungkin, karena di dunia ini yang bisa buat lagu bukan cuma Awank saja,” tegas Reno yang selalu tampak pesimis lantaran dirinya merasa tersinggung atas sikap Awank tempo hari semasi bersama.
Satu persatu para sahabat meranjakkan kakinya menuju kampungnya masing masing untuk sementara waktu tau mungkin untuk selamanya, dan kejadian itu seiring adanya Matrikulasi Mahasiswa baru di kampusnya. Zoel dan Iron masih bertahan di Bandung, sedang yang satunya lagi pulang ke Makasar dan yang lainnya entah apa nama kota dan kampungnya.
Hingga saat ini ia masih menimbang-nimbang,” seandainya loe masih ada di sini dan masih semangat untuk melanjutkan rekaman walaupun kita harus ngamen ngamen sekalipun, gue yakin Wank, bahwa dari situ kita bisa menemukan ketenangan untuk sebuah jawaban, dari pada dari kemarin-kemarin begini-begini aje, Waank Wank…., chahh ke mana sih lo Wank?” suara berat Iron pada Zoel yang lagi tampak asyik menyeduh kopinya di kantin Bebe belakang kampusnya. Selama kepergian Awank mereka semua tidak Nge-Band, bahkan mainkan alat musiknya, karena menurutnya “Tanpa Awank, Band-nya selayak kendaraan mewah terparkir digarasi tanpa pengendaranya, dan kami semua bagaikan kernet yang mengikuti apa kata supir, dan sekarang kemana supir kita itu sihhhhh? Addohhhh kah, Apakah mungkin supirku udah dapat kendaraan baru yah…? Tapi jurusan mana yah…?” lanjut Iron yang selalu saja menggerutu dengan dirinya sendiri.
Dua tahun bukan waktu yang sangat singkat bagi seorang Zakaria yang tentunya sudah pasti merasa kangen akan keluarga beserta suasananya, dan So pasti suka duka itu menjadi warna penghias hari yang tak perlu diceritakan untuk semua keluarga. Tapi ia selalu saja mewarnai rasa kepada semua keluarganya dengan warna senyum keceriaan bersama katanya yang mampu ia layangkan melalui pesawat telphone.
Pada akhirnya, suka duka hidup di Negri orang itu membuahkan hasil yang menurutnya subur lantaran air mata yng menyirami doa dan usahanya, entoh walaupun ia selalu saja menemui herbisida kehidupan yang sewaktu waktu akan menumbangkan semangatnya. Zakaria kembali kekotanya setelah menggapai harap, kepulangannya disambut hangat oleh semua keluarga beriring peluk tangis satu nama kebanggan.
Dengan modal yang cukup lumayan, ia membuka usaha Depot Bunga, dan tentunya berbagai macam warna-warni bunga akan ia jual. Terlihat jelas sebuah tulisan yang terpampang di atas tiang penyangga, “Menerima pembuatan; Taman, Relief, Patung, semua jenis Lukisan, Dll setelah “Anak Zaman Gallery” dikolom pertama, dan Designer Home & Art dikolom sesudahnya.” Kariernya sebagai seorang seniman ia kembangkan di Situbondo, nama Zakariapun mulai popular seiring meningkatnya grafik borongan yang ia kerjakan di wilayah Jawa Timur. Karya dia makin dikenal semua orang saat dirinya mendapat borongan Taman di “Pasir Putih” Gapura yang bertuliskan ucapan Selamat Datang beserta patung-patung itu adalah sebagian besar karya dia, dan dari pendapatan inilah ia mulai mampu beli rumah baru hingga merenovasi baru lagi sesuai konsepnya yang pernah ia impikan dari dulu, dan seiring meningkatnya grafik pendapatan yang makin hari bertambah nilai, rumah itu mulai terisi oleh pernak pernik pelengkap rumah selain kendaraan roda dua beserta roda empat setelahnya. Mungkin inilah yang namanya wujud nyata adanya mimpi yang telah melintasi pengorbanan usaha dan doa. Bahwasanya “Tuhan tidak akan merubah Nasib seseorang, kecuali orang itu mau merubahnya,” kata inilah yang mendasari jiwa Zakaria sebelum melangkah untuk sebuah harap, dan inila yang akan menjadi pelajaran buat anak-anaknya hingga mungkin untuk sebuah katalimat turunan ia inginkan untuk modal hidup sebelum menghidupi.
Rumah, mobil dan semua yang ia miliki, ternyata tidak mampu membendung rasa duka. Malam penuh hening, bintang gemintang kerlipkan warna hitam keabu abuan yang menutupi separuh tubuh purnama. Burung malam tampak menjerit kearah timur menuju segerombolan para sahabatnya, dan anginpun berhasil masuk menembus rumah setelah menarikan tirai bergambar wayang.
Zakaria terpaksa larikan Hadiyani ke rumah sakit, lantaran penyakit yang sudah lama ia sembunyikan dibalik katanya menjadi fatal, dan dan kefatalan ini akibat Hadiyani yang dari dulu tidak mau berobat secara intensif, karena alasannya hanyalah biaya, “lebih baik biaya anak dari pada biaya dirinya,” tuturnya dari dulu. Hari menuju hari penyakit yang ia derita itu telah mengkikis Tubuhnya hingga tampak kurus, rambutnya mulai berguyur gugur, hingga Dokter memvonis Hadiyani Kangker Rahim, dan kata inipun hanya Zakaria yang tahu. Sengaja ia tidak membocorkan kata ini pada sang anak apalagi istrinya.
“hhhh Pak, hhh kata dokter aku sasasakit apa? Aduh!! Hhha aduhhh Pak! kekekeKenapa aku sakit bebebegini yah pppak? Apakah a aku bisa sembuh pak?” tutur Hadiyani sambil ngos-ngosan tidak jauh dengan tahun lalu, malah lebih parah ini. Tangannya tampak berusaha meraih Zakaria untuk memeluknya, tapi tak jua ia gapai. Zakaria menyambut tangan Hadiyani lalu ia menciumi pipi dagu hingga semua rona Hadiyani beriring tangis yang tak terlihat oleh anaknya. “Dek! Adek pasti sembuh, tenang ajach, Adek jangan banyak mikir dulu, apa sebenarnya yang Adek pikir, hem?” Zakaria mulai lepasi pelukannya, dan berbalik arah darinya untuk menghapus air matanya. Dedy, Wintry dan Andy tampak pulas di bawah kaki-kaki ranjang pasien setelah seharian memotivasi kesembuhan ibu beriring cerita humornya, dan mungkin karena itulah mereka semua merasa capek. “Pak aku hanya memikirkan Awank, dimana Awank sekarang ya pak? hhhhh Aku takut entar dia nggak sempat mememelihatku yayayang terakhir dan mengusungku,” ngomong Hadiyani mulai ngelantur, dan pengen cepat-cepat ngajak pulang kerumahnya karena dirinya sudah tidak beta dirumah sakit.
Makin hari tubuh Hadiyani seperti diperas rasa sakit yang tak mampu lagi untuk disembunyikan, dan matanya itu, iya, matanya itu makin tampak cekung kedalam hingga nyaris bak tengkorang mainan yang biasa kita lihat di ruang biologi atau ruang Laboratorium.
kata-kata pengen cepat pulang itu berulang kali terucap mengiringi sakit yang mengejang. Mau tak mau Zakaria mengikuti omongannya, entoh walaupun berada di rumah sakit itu rintih dibalik tangisnya masih tak mau berhenti seiring gumpalan darah yang berbau anyir itu keluar terus lewat rahimnya, bahkan makin deras.
Hadiyani hanya melakukan obat jalan, setelah permintaan Zakaria pada dokter, dan setiap hari ia selalu dikontrol oleh dokter yang pernah mengurusnya di rumah sakit. Tapi Zakaria tetap bekerja seperti biasanya, dan saat ini dia membuat tebing yang lengkap dengan air terjunnya di salah satu rumah pejabat, sedangkan Dedy dapat jadual giliran menjaga depot bunga. Wintry dan Andy nampak setia menjaga ibu di rumah secara bergantian sambil lalu menunggu datangnya Dedy. Setelah berhari-hari putaran waktu berpetualag dengan peradabannya, hingga detik ini Hadiyani sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Untuk ke kamar mandi saja dia harus diusung dengan posisi tetap duduk di kursi plastik, lalu mereka berdua merangkulnya hingga kembali lagi kekorsi. Apalah daya, usaha mereka untuk menyembuhkan Hadiyani. Zakaria dapatkan jawaban realita adanya sekarang.

BAB TIGA BELAS
Senar biolanya mendadak putus saat dawainya berdemo dengan drum aliran metal, hal ini tidak biasanya terjadi walau sekeras apapun biola itu ia mainkan. Tidak begitu lama dari usai aksi panggungnya, gelas yang baru saja ia pegang mendadak jatuh lantaran sepasang kekasih yang lagi perang kata-kata menyenggolnya tanpa mereka rasa. Hal-hal aneh lainnya juga terjadi padanya walaupun tidak secara beruntun, “Apakah ini yang namanya firasat? Ah… ini pasti bukan. Lalu Kenapa detik ini aku jadi was-was gini? Ada apa sebenarnya denganku? Kenapa otakku mulai mendetakkan jantungku sendiri, dan ada apa dengan fikiranku yang konyol ini?” dia selalu bertanya pada nuraninya sendiri berulangkali dengan pertanyaan yang sama dan mengusap keras ,mukanya sendiri berulangkali hingga hidungnya tampak merah tak jauh beda dengan warna lingkaran matanya.
Selama ini ia berpetualang bersama biola dan gitarnya dari satu Bar ke Bar lainnya, tidak lain hanya untuk menjelajahi nada-nadi atas keberadaannya dalam lagunya. Ambisinya untuk menjadi seorang bintang dengan sendirinya pudar, sepudar warna biru jaketnya yang tak pernah lepas dari badannya hingga jaket itupun tampak melepuh. Selama ini juga, aktivitas kampusnya sudah lama ia lupakan, dan tak pernah lagi terpilkr olehnya tentang adanya status yang suatu saat nanti menggelarinya. Saat ini ia lebih yakin dengan dirinya sendiri bahwasanya dengan cara inilah yang menurutnya lebih baik untuk memperkenalkan sejumlah karyanya pada semua jiwa penikmat nada yang beraneka ragam warna tempo musik. Dan iapun lebih menikmati musiknya dengan bersolo karier.
Bar-Bar yang ada di Makasar, Jambi, Medan sudah pernah ia hinggapi, hingga saat ini ia berada di Kota Malang dan tak satupun orang yang mengenal dirinya sebelumnya tahu akan adanya yang hingga saat ini masih dalam status tanda Tanya atas kabar dirinya. Biola biola dan biola, selalu saja ia berkata “Akulah sang biola”. Kenapa ia sudah tampak berubah? Penampilan fungky-nya sudah lama pudar, dan sekarang pun ia sudah mulai cuek akan penampilan karena ia lebih mengutamakan hari esok bagaimana caranya semua orang bisa mengenal karyaku yang berikutnya.
Hingga detik ini ia selalu saja mengingat-ngingat katanya yang pernah terucap, “Bu, aku takkan pulang, sebelum mimpi kugapai, dan aku akan merasa malu pada diriku sendiri, jika suatu saat nanti aku pulang sebelum adanya wujud janjiku. Bu! janganlah, janganlah ibu memikirkan aku lagi, selagi aku bisa. Bu! jika suatu saat nanti ibu maupun semua tak dapat kabar tentang adanya aku, berartiii, berarti, achhh sudahlah bu, yang pasti sekarang ibu jangan terlalu pikirkan aku lagi, karena aku pasti pulang membawa satu harap yang nyata.” Awank langsung tersentak dari ingatan-ingatan itu, dan katalimat itulah yang membuat dirinya beban untuk pulang lantaran gapai belum jua menggapai harap hingga kata itupulah menjadikan dirinya sendiri satu sumpah yang takkan pernah berubah dari pikirannya sendiri.
Langit nampak cerah, karena tak terhingganya sejumlah gemercik cahaya bintang beserta setengah cahaya bulan. Adanya itu sudah tentu pasti lenterakan isi bumi yang merindukan datangnya Cahaya malam setelah mendung yang cukup lama. Tapi, diujung malam ini awan akan tetap padamkan bulan, hingga air dengan sendirinya akan terusir langit.
Iapun mulai menikmati adanya malam dengan tatap yang menerawang tuju arah yang berubah ubah, hingga biola itu dengan sendirinya ia mainkan seiring terpakunya tatap kearah titik satu isi angkasa hingga cahayanya menembus masuk kedalam hati menembus celah tajam matanya yang menantang tatap. “Aku bukanlah yang terbaik untukmu bu, dan juga mungkin buat adik-adikku. Saya putuskan untuk saat ini tidak bermusik lagi kecuali di hadapan kalian semua, dan saat ini aku tak mampu lagi untuk menghadapi kenyataan yang nyata-nyata tak menyatakan langkahku menuju khayalanku,” seru Awank setelah begitu lama biola itu usai ia mainkan. Sejumlah kata keluh-kesah ia utarakan pada alam yang nampak damai akan adanya suasana. Hingga tanpa ia sadari, saat ini ia tertidur berbantalkan peti biolanya dan tubuhnya hanya beralaskan rumput yang mulai tampak ber embun.
Dedy Wintry dan Andy, dengan sendirinya melupakan adanya Awank yang pastinya takkan pulang setelah bosan dengan semua harap kabar beserta kedatangannya, kecuali Hadiyani. Hari-hari, rambut Hadiyani mulai rontok, dan badannyapun mulai terkikis oleh penyakit yang telah menyetubuhinya hingga ia tampak kekurusan. Darah itu, yah darah itu semakin hari semakin deras mengalir dari pintu rahimnya, sederas teriak rintih sakitnya.
Jika ada jiwa-jiwa yang sudah dua minggu tak pernah menjumpai danya Hadiyani sebelumya, pasti mereka merasa kaget setelah melihat adanya Hadiyani saat ini, dan entah apa rasa mereka masing-masing setelah melihat adanya. Apalagi Awank, dan seandainya ia datang hari ini juga, mungkin ia takkan mengenal bahwa yang terbaring tanpa kuat berkata lagi itu adalah ibunya sendiri, entoh walaupun ia adalah anaknya. Tubuh Hadiyani saat ini sangat kurus, kuruuusss nian! Tak dapat kita bayangkan bahwa ukuran pahanya saja sekarang tidak jauh beda dengan ukuran lengannya. Kepalanya tak jauh beda dengan tulang tengkorak yang pernah kita lihat dalam ruang LAB sekolah, maupun di layar TV. Matanya penuh lingkaran cekung tak berdaya tatap lagi, hingga anak kecil yang pernah ikut serta orang tuanya untuk menjenguk Hadiyani menangis penuh rasa ketakutan setelah melihat adanya detik ini. Hingga saat ini, untuk berkata satu kalimat aja dibutuhkan waktu lebih dari satu putaran menit, apalagi lebih? Dan satu katalimatpun kadang ia hanya mampu ungkapkan lewat gerak parlahan tatapnya yang mengarah tuju makna.
Selain dari pada kalimat do’a, Awank Awank dan Awank selalu saja ia panggil namya walaupun hanya dapat dibaca dari getaran bibirnya saja, namun getaran itu mampu menembus nuraninya. “Hhhh hhhhh AAAAAwank.. hhhhhh hhhh AAAAA Waaank,” rintih Hadiyani tak lagi terdengar jelas, kecuali jika ada orang yang membaca gerakan bibirnya. Wajahnya sangat mengesankan, karena saat ini dia tidak jauh berbeda dengan tengkorak hidup yang masih diselimuti ruh. Untuk berteriak sakit aja tak berdaya lagi, dan pastinya orang-orang hanya bisa ucapkan kasihan, selain dari pada do’anya dan tidak lebih dari itu. Dedy Andy Wintry dan Zakaria hanya bisa menangis mengiringi doa, mereka semua harus gimana lagi? Karena sejumlah usaha sudah ia maksimalkan. Ingin sekali mereka semua membelai Hadiyani, namun merasakan sentuhannya pun tak kuat dan mereka hanya mampu meraih adanya dengan hati.
Empat bulan yang lewat, dokter sudah menyarankan agar Hadiyani harus segera dilarikan ke Rumah Sakit Dokter Sutomo, yang ada di Kota Surabaya, karena RSUD Situbondo tidak mampu lagi mengatasi penyakitnya. “Hadiyani harus menjalani Operasi Laser,” kata dokter yang mengenakan kaca mata minus. “Itupun kalau operasinya nanti berhasil, kalau tidak? saya tak mau melihat istriku pergi terbakar hingga mutungkan nuraniku? Dalam hati Zakaria selalu ada kata itu berulangkali setelah mengingat apa kata Dokter itu. Berbagai cara sudah Zakaria lalui untuk kesembuhan istri tercintanya. Namun inilah hasil dari sejumlah cara-cara itu yang dirasakan Hadiyani saat ini. Namun walau nyatanya begini, Hadiyani tidak lepas dengan adanya kitab yang selalu di pangkunya, walaupun tak sepenuhnya kuat bibirnya ber Iqra’, namun nuraninya penuh dengan rasa semangat, hal ini sudah biasa ia lakukan semenjak sehat mampu menerjang lemah.
Kabin kamar Hadiyani sudah terpenuhi oleh aroma sengit yang makin hari makin meruang hingga sedikit tercium dari luar rumah. Setiap tamu yang tampak hadir menjenguknya, selalu saja meraih hidungnya masing-masing, dan ditutupnya rapat-rapat. Tahukah mereka-mereka semua, apa perasaan Hadiyani jika di depannya mereka semua seperti itu? Hanya jiwa-jiwa sahabatlah yang mampu menjawabnya, lalu memeluk erat tubuhnya dengan iringan tangis yang menjadi satu mata air mata dibalik do`a-nya, dan menyingkirkan aroma itu jauh-jauh seiring jumlah kata motifasi kesembuhan Hadiyani yang harus secepatnya kembali lagi tersenyum untuk membuat mereka semua tersenyum. Semua sahabat yang tampak hadir itu masih saja menaruh kesan bertabur kata semangat untuk jiwa Hadiyani, walaupun keadaannya saat ini sudah seperti yang ia lihat.
Malam ini cukup dingin buat seorang Wintry yang mulai tampak lelah untuk berpikir setelah aktivitasnya, segelintir teman karibnya dari tadi siang menemani dia, lalu pulang karena senja telah pekatkan malam. Semua sanak keluarga yang tampak hadir penuhi ruangan, secara bergiliran mereka masuk kamar untuk mengaji di samping Hadiyani yang sudah tampak koma. Zakaria dari tadi tak sedetikpun menjauh dari samping istrinya dan penuh nyanyian do’a. kitab suci yang ada di pangkuannya sudah lama ia Iqra’ kan dengan cucuran air matanya yang sangat sangat samar untuk semua orang lihat, begitu pula dengan ketiga anaknya yang juga masih setia dengan sejumlah kebesaran hati sama dengan adanya Zakaria.
Malam sudah mulai heningkan suara yang berasal dari jalan aspal dan tadinya cukup jelas terdengar dari luar rumah. lonceng jam itu menunjukkan kalau saat ini sudah pukul dua tepat. Hadiyani berteriak sempurna, tak biasanya ia begini, karena jangankan untuk berteriak, untuk ngomong saja ia sangat sulit, “Ya Allah....hah hhhhhhhhh h hhhh h h h h …h hhh!” dengan semangatnya Hadiyani berulang-ulang kali ia ucapkan kata Satu Nama sambil pelototkan matanya, tangannya yang tampak merentang, menggepal penuh sarat emosi melawan sejuta rasa yang tampak mengejangkan adanya.
“Ya Allah! Mungkinkah ini keajaibanmu?” Zakaria langsung teriak kaget setelah mendadak bangun dari tidurnya yang berbantalkan senderan kursi, lalu bangunkan anak-anaknya dengan rasa panik yang tampak lewat ekpresinya. Sembari langsung peluk erat istrinya, dan sang istri mencengkram erat baju Zakaria dengn tenaga yang ia paksakan total. Rona senyum muka berseri ia berkata, “Hhhhh PPPak, mmmana aaanak aaanak kikikita sesemua, aaaku susususudah tititiidak kukukukuat lalaagi pppak.” Nada nadinya semakin bertempo cepat, dan tak beraturan yang hanya dapat terlihat lewat nafasnya. Zakaria mulai teriak sambil membanjiri tubuh Hadiyani dengan air matanya yang tampak deras, “Iya dek... Ssst, adek tak boleh ngomong itu lagi yah? Teruslah dek, teruslah nyebut,” Zakaria mulai panik setelah merasakan sejumlah getarannya. “PPPPPak, iiini,” Hadiyani menjulurkan kitab kecil itu, Zakaria langsung meraihnya, “Papapapak tototolong Bababapak lalalanjutkan suurat “YASIN” yayayang bebelum uusai aaku bababaca, kkkarena tak bbbaik jjjika memembaca aayat-aayat suci Tututuhan separuh sueseparuh.” Lanjutnya sambil ngos ngosan yang bertambah. Rupanya, dari tadi Hadiyani mengaji, walau tak sepenuhnya jelas ia raih tatap bacaan suci itu, namun ia cukup afal bula ia tatap barisan yang berurut, dan entah urutan apa yang ia perhatikan. Zakaria langsung melanjutkan bacaan suci itu sesuai permintaan sang istri.
Rupanya, sudah dari tadi ketiga anaknya mendengar intonasi kata beserta adanya ekpresi dari dialog kedua orang tuanya, ia merasa tak tega melihat adanya ibu yang jelas-jelas orang lain lebih tak tega jika melihat hal ini secara langsung sejarah yang terjadi detik ini, dan mungkin orang orang itu akan terVisualisasi akan daya tatapnya. Namun dengan sendirinya mereka bertiga langsung jatuh ke pelukan ibunya, hingga irama tangis yang terdengar berbeda itu mengitari Nada Nadi mereka masing-masing. “Nnnnak kkkalian ssssemua jjjangan mmmenangis...” Tutur pasrah Hadiyani dengan penuh lepas senyum. Tapi walaupun ia tersenyum, tatapnya sangat sangat menakutkan, karena lingkaran matanya yang makin tampak mencekung kedalam itu membuat tatapan manis itu tetap melotot.
“He...! sebaiknya kalian semua pergi ambil wudhu, dan mengajilah untuk ibumu, itu lebih baik dari pada kamu menangis hingga ibumu akan menangisi adamu,” tegas Zakaria pada semua anaknya setelah ayat itu usai ia baca. Merekapun menjalani kata-kata bapaknya hingga usai, sembari langsung meniup-niupkan kening Hadiyani selepas doa-doanya, hal ini ia lakukan bak bertasbih satu harap pada yang Satu untuk kesembuhan Hadiyani.
“Nnnnak, ssssini sssemuanya, sisisini nnnnak pppeluk iiibu, a a a…ayo nnnak.” Mata Hadiyani mulai kelap-kelip, tangannya berusaha meraih sosok semua anaknya, namun sebelum itu terjadi, mereka semua langsung menyambutnya. “Hmmmm!!! Hemmmm… h h h hhh Nnnak kkkamu nnntar nnnggak pupupunya ibu lalalagi...! Jajajaga didididirimu bababaik-bababaik yya nnak? Hemmmmm hemmm hemmm hahahahahaha…..” jelas Hadiyani bernada tangis, namun air matanya tak tampak lagi karena mungkin sudah mongering, namun satu titik air yang tampak disudut matanya itu tak jua jatuh sebelum tersapuh oleh ciuman Wintry yang menyapu hingga seluru ronanya.
“Eeemana kkkakmu AAAwank nnak? Mmana AAAwank nnak? Bbesok tototolong mamandikan ibu di halaman lululuar yah nananakkkk! Susudah lalalama iibu tatak menyentuh air, dadadan susudah iitu aaaantarkan iiibu yayaya nak? Kakamu mamamau kakan nanak? Nanak, iiiinggat kakakaliiiann sesesemua jajajangan pepepernah bebercerai bebeberai, sasasasadarkan AAAwank, iiitu aaanak iiibu jujuga sososodaramu hahaha… h h hhhhhh A… A Allahhhhhh!” Matanya langsung terpejam tanpa kata dari bibirnya lagi. Rona mukanya penuh senyum mengarah ke langit-langit.
Tangis bernada tawa Wintry makin terdengar keras, seolah-olah ia membangunkan ibunya yang lelap dengan tangannya yang kuat mencengkeram kedua bahunya, “Hmm hmm... mmmm buuuu! Ibu harus semangat, ibu pasti sembuh, ayo bu, bangun, bangun bu, ibu harus bangun, ibu kan yang selalu membelai aku di setiap tidur-tidurku, ibu kan yang selalu memanja aku, mencium aku, dan memasak-masakkan kesukaanku, tapi kenapa bu? kenapa saat ini ibu tak mau bangun? Ayo bu cepat bangun, Wintry akan ngantar ibu ke pasar, ayo bu! hari sudah hampir siang niii,” Wintry tampak shock, dia tidak sadar kalau ibunya akan tidur untuk selamanya, namun kata dan ekpresi itu ia lakukan berulangkali. Dedy berusaha membendung air matanya, karena ia merasakan hal itu telah terjadi padanya detik ini yang nyata. Tapi Wintry tetap saja dengan kata dan ekpresinya yang bertambah, seolah-olah ia tak merelakan kepergiannya, dan menurutnya, ibunya hanya tertidur untuk bangun hari ini yang sudah tampak kesiangan. Zakaria yang dari tadi tampak membersihkan tubuh Hadiyani dengan kain kompres langsung peluk erat Wintry, dan memberi satu pengarahan padanya, bahwa semua jiwa bakalan memenuhi panggilanNya juga. Hingga satu putaran jam bahkan sampai detik ini, Zakaria tetap memberi semangat pada ketiga anaknya untuk kembali hidup dalam kesadaran.
Inilah bagian dari ilustrasi seorang ibu, walau ajal mau menjemput sang roh dari jasadnya, seorang ibu selalu merindukan kehadiran anak yang selama kepergiannya hingga diapun juga pergi untuk selamanya, walaupun entah apa yang ia rasakan sebelumnya.
Do’anya terus mengalir, ketika ruh masih menghuni sosoknya hingga kepergian ruh itu sendiri. Dia rela korbankan apa saja demi kemajuan anaknya, tapi..! seperti apakah kasih seorang anak kepada ibunya? Mungkin ada benarnya kata orang bijak itu yang mengatakan Kasih ibu sepanjang masa, tapi apakah benar kalau kasih anak itu hanya sepanjang galah.
Sanak keluarga, dan para para sahabat yang mengenal adanya Hadiyani mulai tampak berdatangan dengan rasa duka Pagi ini, hingga semua jiwa tampak sesaki rumah duka, dan sebagian diantara dari mereka terlihat sibuk untuk acara pemandian hingga pemakaman jenazah. Sanak keluarga, dan para sahabat ikut mengiring jasad menuju pemakaman, hingga merekapun melangkah untuk pulang setelah acara pemakaman ditutup dengan kalimat Do`a.
“Hahaha…. O… ternyata ini toh… gambaran hidup bersama tujuannya, kita hidup seperti perjalanan lelap mengukir mimpi, dan kita sendiri tidak tahu akan bangunkah kita dari mimpi-mimpi itu, achhh... tidak, tidak, hidup ini hanyalah tempat persinggahan dan pergi untuk pulang. Hahahaha….. tidak! hidup ini adalah perjalanan yang dengan sendirinya menjadi sejarah, yang pastinya akan diceritakan setelah tiada!” Wintry tertawa sendiri di dalam kamarnya, dan tanya jawab di hadapan cermin selalu ia utarakan berulangkali mengisi kesendiriannya. “Ibu..!! kenapa ibu pergi sebelum ibu menjadi nenek siii? Hahaha... tidak, tidak bu ibu jangan tinggalkan Wintry dulu, Wintry belum puas untuk rasakan cintamu bu,” lanjut Wintry sambil mencorat marit buku pribadinya. Zakaria yang tampak dari tadi mendengar apa kata Wintry dari luar pintu langsung membuka pintu yang tak terkunci itu perlahan, Namun Wintry yang kini tampak tiarap diatas sofa dengan kedua kakinya yang mengangkat itu tak jua sadar bahwa bapaknya sudah berad tepat dibelakangnya. Ia tetap saja mencorat marit bukunya dengan kata yang sama, lalu seraya kaget setelah Zakaria memeluk erat tubuh Wintry, dan seperti biasa, Zakaria mulai menghiburnya hingga Wintrypun mulai lelap akan tidurnya karena hari sudah malam dan esok dia akan sekolah seperti rutinitasnya.
Hari-hari mereka sekeluarga hanya bisa berdo’a untuk Hadiyani, dan tak ada habisnya cerita Zakaria untuk menghibur Wintry, Dedy dan Andy agar tetap semangat dengan adanya hari esok setelah hari ini terjadi, dan diapun mengharap agar anak anaknya tetap bertarung mencari nilai kebanggaan disekolahnya masing-masing.
Sepulang sekolah, mereka mengerjakan tugas sekolah dirumah, lalu sesuai jadwal tugas yang dibuat oleh Zakaria, mereka bertiga bergantian menjaga depot bunganya, bahkan mereka semua membawa buku pelajarannya untuk jadwal hari esok kedepot bunganya sambil lalu menunggu konsumen datang mereka belajar.
Setelah malam tiba, dan buku buku itu ia susun kedalam tasnya selepas ia baca sesuai jadwal ulangan hari esok Wintry mulai merenungi adanya Awank, “gimana ya perasaan Awank nanti, jika suatu saat nanti ia pulang dan mendengarkan cerita ibunya setelah aku ceritakan? Ach…. tapi sudahlah, kenapa aku mesti mikirkan dia, dia aja enggak pernah mikirkan kita kok. Pokoknya sekarang aku sekarang haru dan harus memikirkan hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan esok adalah cerita baik setelah adanya hari ini,” gerutu Wintry. Ia langsung baringkan tubuhnya di tempat di tidurnya setelah ketiga boneka kesayangannya ia jajar disamping kiri kanannya dan yang satu tetap ia peluk. Tapi, sejenak matanya terpejam, dibalik pejaman itu mendadak sosok seorang ibu datang, hingga iapun tersentak dari pejamannya dan menjerit panggil nama bapak. Tapi Zakaria tak tampak hadir seperti harapnya lantaran dua jam yang lewat Zakaria dijemput dengan teman mitranya untuk bahas pekerjaan taman.

Bab Empat Belas

Pagi ini cukup cerah, burung-burung berkicau laksana hutan dalam nuansa taman rumahnya. Saat ini Wintry semangat betul dengan kostum sekolahnya yang sudah ia persiapkan dari tadi dan dihadapan cermin yang dilengkapi meja hias dalam kamarnya itu, ia bernyanyi-nyanyi seperti biasanya. Sebelum menyantap menu pagi bersama keluarga, ia tak lupa menciumi bonekanya satu persatu usai merapikan buku-buku yang semalam sudah ia pelajari.
“Ting ting ting” Dedi memukul piringnya dengan sendok, setelah jamuannya telah usai. “Win...!! ayy...!! lanjutnya mendadak berhenti untuk melanjutkan katanya setelah ia melihat Zakaria yang saat ini menuju meja makan. “kamu mau ngapaaaain, ha’ Ded? Kaya` orang gila aja pagi-pagi udah teriak, mau jualan bakso apa kamu Ded, hem? “Zakaria langsung pelototy Dedy yang baru aja mneyeduh teh panasnya buatan Wintry tadi sebelum ia mandi. “Itu pak, si Wintry belum juga siap, entar aku kan terlambat lagi, kemarin aja gara-gara ngantar dia dulu, aku terlambat ikut upacara, dan terpaksa aku disuruh baris di tempat orang yang sama dengan aku kasusnya, kan sebbel jadinya “jelas dedy sambil menggaruk garuk kepalanya tanpa gatal, dan iapun tetap mengeluh “iya kamu ngomong aja baik-baik sama adikmu, “ jelas Zakaria langsung pamit duluan pergi kedepot bunganya pada Dedy dan Wintry lewat suara tegasnya, sekalian ia ngantar Andy yang masih duduk di kelas tiga SMP.
“Win...! buruan dikit kenapa sih? Entar aku telat lagi niiih! Iiiiich…. Kaya` Artis aje lo bedandan Win…. Wn!“ teriakan Dedy makin keras dari ruang makan, “Win… kamu mau aku antar enggak sihhhh, kalau mau cepat dikit kenapa sihhh, entar aku tinggal bau tau rasa lo ye, hem, mau diantar enggak siiiii,”l anjut Dedy lantaran Wintry masi tak terdengar suaranya. “nggakkk!!! Aku mau naik motor? Masalahnya pulang sekolah entar aku langsung les, lagi pula aku masih ingin menjinakkan motor baru ku ini, N apa apa yang baru kan harus dapat perhatian Ded…., bukan cuma pacar lo ajeh yang harus diperhatiin, “jawab Wintry yang masih berekspresi didepan kaca riasnya, sambil menggoyangkan badannya. “Hiiih’ dari tadi ngomong kenapa sih? Udah 15 menit aku sia-sia nunggu kamu. “gerutu Dedy langsung menuju garasi sambil menggerutu seiring langkah lesunya. “yang nyuruh kamu nunggu aku itu siapa wek’, rasain tu, “jawab Wintry yang masih tampak manja manjaan di depan cerminya. Enggak selesai-selesai Wintry yang sudah dari tadi mutar-mutar di depan kacanya untuk meneliti penampilannya, sambil berjoget ria mendengarkan lagunya Avril Lavigne. Tapi emang sih…. hal ini biasa ia lakukakan tiap pagi karena jika satu lagu favoritnya belum usai ia dengar, ia belum mau beranjak untuk sarapan, bahkan untuk keluar kamarpun ia malas, apalagi setelah nyampai disekolah, ia jadi kagak konsens apabila lagu itu belum ia dengar.
Tanpa terasa olehnya bahwa setengah tahun sudah ia ditinggal Hadidyani. Sekarang Wintry sudah duduk di bangku sekolah barunya, ia sekolah di SMKN 1 Situbundo dan tentunya warna baru dalam pergaulan sekolah juga baru untuknya. Tiga orang sahabat yang benar-benar berjiwa seorang sahabat sejati juga ia dapatkan di sekolah ini dan ia merasa kesepian jika salah satu Gang-nya tak ia jumpai walau semenitpun minimal.
Dengan motor barunya, Pde-nya tampak melangit langit lantaran habis konser satu lagu bersama Avril Lavigne di depan cermin, dan iapun meluncur bersama motornya ke arah sekolahnya karena jam yang menggelangi tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh kurang dikiiiiiiit lagi, paling-paling kurang beberapa pukulan detik aja kok dan itu juga tandanya ia akan tiba di sekolahnya sekitar pukul setengah delapan kurang dikit juga. So` pasti, ia sudah menyiapkan diri untuk mendengar ceramah baru yang bakalan ia dengar dari guru matematikanya yang bernama Ibu Anik. Tidak biasanya ia begini, karena semalaman ia memimpikan sesuatu yang tak akan pernah ia bayangkan akan terjadi, tentunya mimpi yang datang dalam lelapnya itu mimpi indah loo, kalau enggak, mungkin rasa yang ia rasakan tidak akan terjadi sekarang So....pasti, kaaaan? Benar saja. N’ nyatanya sesaat ia mengetok pintu kelasnya yang tak tertutup rapat itu, ia langsung disambut “pinteeeer, baguuus… sini nak sini nak. “ sahut Ibu Anik yang langsung menyuruh Wintry berdiri didepannya dan mulailah dengan otomatis ceramahan Ibu Anik itu mulai masuk telinga kanan Wintry dan keluar lagi lewat telinga kiri tanpa adanya rasa pamit dulu ke otaknya. “Babayyy...!” gerutu Wintry dalam hati setelah ibu Anik menyuruhnya duduk ke tempatnya semula, tapi sebelum itu Wintry sempat berdiri lima belas menit kurang dikiiit gitu loohh.
Ketiga temannya dari tadi nampak tertawa tertahan, namun Wintry cukup mengerti bahwa tawanya itu tertuju padanya karena jelas jelas tatapan mereka bertigah tidak pernah lengah dari adanya Wintry yang juga berbalas tatap ketika ibu Anik lengah menatapnya. “Kok lambat Win?” bisik jelas Indry yang lagi duduk di belakang bangkunya. “Aku kesiangan, “bisik jelas Wintry menjawab Indry. Indry langsung menyodorkan bibirnya ketelinga Wintry, tapi selagi ibu Anik lagi nulis di papan dan sambil petikkan jempolnya perlahan ketelinga Wintry ia berkata, “tumben kamu lambat Win, kamu mimpi au au ah ah ahaa yoo? Iya kaaan? Itu loh ih ih ihhhh uh uh uhhhh ah de jadinya, iya Win,” lanjutnya dengan bisik genit. Mendengar kata yang menggelikan telinganya itu, Wintry langsung berdiri tanpa sadar, dan berbalik arah kepada adanya Indry yang masih tampak nunggit menahan bibir meja, matanya melotot dan berteriak, “jorok bangnget sih lo Ndry…… hiihc...! Wintry langsung cubit pipi Indry lalu menariknya. Indry langsung mangap dan berkata ampun ampun, setelah melihat mata Wintry yang penuh lotot dan cubitan itu belum juga Wintry lepas. Semua murid nampak tertawa setelah ibu Anik memarahi mereka berdua yang sel;alu saja berbuat ulah hingga semua jadi kagak konsen lantaran dibuatnya tertawa. Tapi walau ibu anik nampak tertawa tertahan setelah tahu cerita yang sejujur jujurnya Wintry jelaskan hingga semua muridpun tambah ketawa lepas, ibu Anik tetap saja menyuruh mereka berdua keluar. Tapi Indry masih nampak cengengesan meski tampak salah tingkah lantaran penjelasan Wintry terhadap apa yang Indry katakan tadi padanya. Namun pada akhirnya mereka berdua sadar bahwa apa yang telah ia lakukan itu tidak baik, dan mereka berdua berusaha keras untuk tidak membuat ulah lagi ketika posisi sudah berpose di dalam kelas, lalu komitmentnya adalah belajar. Merekapun akan tetap berusah untuk lebih mencintai semua Mata Pelajaran agar mereka akan tetap setia untuk mempelajarinya, maka kasih guru akan mereka temukan setelah nilai mereka raih selepas tugas. Dari adanya kejadian yang kemarin-kemarin, Wintry bersama temannya berusaha keras bersaing merebutkan nilai semua soal-soal tugas yang selalu ibu Anik berikan pada semua muridnya.

Bab Lima Belas

Selamat dan sejahtera kepadamu
Ahli kubur (orang-orang mu’min dan muslim laki dan wanita)
Semoga Tuhan mengasihani orang-orang yang terdahulu dan kemudian
Dan
Kami akan menyusul kamu
Kami berdoa keselamatan bagi kamu dan kami
Kamu telah mendahului
Dan
Kami menyusul kemudian
Perlahan langkahnya masuk ke pintu pagar pemakaman, sembari Dedy melangkah pasti menuju ke arah pusara ibu yang tidak jauh dengan kedua kakek neneknya. Surat Yasin dan doa-doa usai ia bacakan untuk sang ibu. “Bu! Tunggu sebentar disini ya? Aku segera kembali.” Tutur Dedy langsung berlari menuju mobilnya, tampaknya ia mengambil sesuatu dari bagasinya yang sudah terbuka lebar itu. Ternyata benar, ia mengambil sejumlah warna-warni mawar. Tanpa terasa olehnya kalau hari sudah sore. Dedy tetap saja setia menemani nisan yang sudah penuh dengan mawar-mawarnya. Sembari Dedy langsung menuju depot bungaya setelah menerima panggilan Zakaria melalui ponselnya. Sebelum meninggalkan pusara itu, ia tak lupa pamit untuk pulang dengan rangkaian katanya sendirim lalu sembari langsung menciumi nisan itu.
Ded! Kamu kemana saja? Dari tadi kita disini sibuk melayani konsumen, “tanya Zakaria “Mmm...aku dari makam ibu, pak,” jawab Dedy sambil merangkai bunga-bunga pesanan. “Ooo...! ya udah kalau gitu, tolong kamu kirim bunga ini ke rumah Bapak Irwan yah, cepat, masalahnya dari tadi ia nunggu,” tangan Zakaria langsung menjulurkan kunci mobil Pickup Carry-nya. “Baik pak, entar lagi akau antar, sekarang aku harus temui Wintry dulu, Wintry mana pak?” Tanya Dedy penuh senyum. “Ada di belakang bersama temannya, coba kamu lihat sana, sekalian aja dia suruh pulang kerumah duluan, kasihan ded! Mulai datang dari sekolahnya tadi dia sibuk layani pelanggan bunga.” Jelas Zakaria. Dedy langsung menuju pondok gazebo yang ada di blelakang depotnya, suasana taman disekitar pondok itu tidak jauh beda dengan situasi yang ada di rumahnya. Wintry bersama ketiga temannya saat ini sedang asik merujak mangga, walaupun sudah hampir sore.
Win..inikan suda soree!! kamu kok masih merujak sih, apa kaga’ bisa besok? Entar awas yach kalau dirumah sampe merengek-rengek sakit perut lagi, tak pitess lo yah…,” tanya Dedy sambil gelitiki Wintry. Iiich..Dedy..,kamu ini apa-apaan sih, geli tauu...achh, udah-udah,” Wintry langsung beranjak dari tempat duduknya. “Ayo mas gabungan entar nyesel loh kalo ni rujak habis, bumbunya enak nih, “tawaran gina sambil melahap mangga yang baru ajah diiris oleh Novi. “Iya mas ayo, ninini, aku suapin yah, mau? Novi langsung menjulurkan se iris mangga yang sudah ia celupi bumbu kehadapan bibir Dedy. “makasih” singkat Dedy langsung mninggalkan mereka bertiga menuju wintry. Emaaaas...! kammu mau kemanaaa! He he he! hye emmas, “Indry menyetop langkah Dedy dan merentangkan tangannya dihadapannya. “Gimana teman-teman kalau dia enggak mau ikutan kita merujak, gimana kalau kita rujak aja dia, mumpung Wintry-nya lagi kagk ngelihat kita , hahaha…..” lanjut Indry dengan expresi genit matanya,
“Mang! Pesan tiga mangkok podengnya yah…” jelas Wintry setelah menyetop mamang es yang akan segera melintas di depan depot bunganya. Ia langsung pencet-pencet ponselnya sambil lalu nunggu mamang es itu menakar. “Baik neng “ singkat mamang. “mang, aku satu, “lanjut Dedy sambil melangkah menuju kearah Wintry. “iya tunggu giliran ya mas? Sahut mamang. Indry, Novi dan Gina nampak hadir membelakangi Wintry, dan Dedy yang ada disampingnya. “Mang, satu mangkok berapa?” Tanya Indry setelah mendekati mamang, dan tangannya meraih mangkok kosong dan dipukulnya dengan sendok selayak mamang pas konser jalan. harganya murah kok neng, Cuma lima ribu satu mangkok porsi spesial,” jawab mamang sambil senyum. “Kalo setetes mang? Hehehe, “Indry semakin ceewet dengan tingkahnya yang konyol tirukan sang mamang yang tampak menyaji, mungkin untuk mencari perhatian temannya. “Yeeah neng bisa aja, kalo Cuma setetas ma gratis atu neng….! Jelas mamang sambil tersenyum lebar setelahnya. “Ooo…., gratish yah mang,” lanjut indry sambil menyodorkan mangkok kosong yang dari tadi ia pukul dengan sendok. “He`emmm neng,” jelas mamang yang mulai ikutan manja. “Oooooo, kalo gitu tolong tetesin aja mangkokku ini Mang, sampai penuh, boleh kan, maang....!? Indry menyorongkan bibirnya kearah mamang yang tampak lagi nunduk menahan tawa, dan iapun makin berlagak manja, hingga mamang itu hanya bisa menahan tawanya melihat sikap centil Indry. Wintry langsung mencubit paha Indry hingga ia teriak tak ketulungan lagi. “Aduhhhh..., Win kamu apa-apaan sih, kan sakit tau.., huch` aku kan enggak pernah cubit sampai gitu ama kamu. Indry tampak berjingkrak-jingkrak menahan sakit, hingga semuanya tampak tertawa lepas dibuatnya.
“Ini neng esnya,” mamang menjulurkan mangkok itu satu persatu dan Dedy langsung meraih mangkok yang ketiga itu tanpa mikir dulu adanya Wintry, karena jelas jelas yang pesan es itu duluan adalah Wintry sebelum adanya DEdy. “Eh Ded, enak aja kamu ngambil duluan, jadi percuma dong dari tadi aku berdiri jadi patung di sini,” jelas Wintry sambil sambil melotot. “emmm...kalo gini caranya, gini Win,” Indry langsung merampas mangkok itu dari tangan Dedy hingga es itu nyaris tumpah, sembari menuju ketiga temannya. “Win, awas kamu yah, ancam Dedy ekspresi humor. “Awas apa, hmm?” Singkat Indry mengangkat sepasang tangannya kepinggulnya sambil melotot membela Witry, “kamu ngancam yahhhh, hmm`? yah Ded, kamu ngancam adek’mu dewe’ yah, tak gigit baru tahu rasa lo anak kulussss,” lanjut Indry, mereka bertiga langsung kembali ke pondok.
Setelah persetankan apa apa yang telah Indry katakan tadi, ia langsung berbalik arah menuju jalan. Tampaknya, ia telah mengambil sesuatu dari dalam mobil yang tampak terpakir tidak jauh dari roda dua mamang es. “Win...!!! kamu mau ini enggak? Coba lihat kesini donggg….” Dedy menjunjung tinggi sebuah boneka besar kangoro yang lengkap dengan anak dikantongnya. Wintry langsung membalikkan arah pandang kearahnya setelah menyeduh podengnya. “Aku mau Deddddd” teriak Wintry langsung meletakkan mangkok yang ada ditangannya diatas meja, sembari langsung berlari ke arah Dedy dengan semangat-45 nya. “Aku juga….” mereka bertiga serempak menjawab dan berlari seperti maunya Wintry ke Dedy. Wintry beserta temannya nampak berebut boneka itu, hingga Dedy mengelak mundur dari serangan tangan-tangan itu dan satu kakinya terpeleset dari trotoar hingga terjatuh ke genangan air yang sedikit berlumpur. Tapi untungnya boneka itu terselamatkan, Mamang es itu hampir saja copot jantungnya, pasalya tubuh Dedy hampir saja menabrak rombongnya sebelum ia terjatuh kegenangan lumpur, “Seandainya itu terjadi, rombongku yang mungilnya seperti enneng Indry pasti ikut jungkir balik dan…., nyengngiir deh aku karena enggak balik moadal, “ gerutu mamang dalam hati sambil meraih tangan Dedy, lalu ditariknya. Semua orang yang baru saja melihat adegan itu terbahak. Tapi boneka kangoro yang terlepas dari tangan Dedy sebelum kepeleset jatu kedalam siring itu berhasil Wintry raih, tapi setelah ia berebut dengan ketiga temannya, dan merekapun tak jua sadar adanya Dedy.
“Ded...!! kamu kok belum berangkat, ini anak emang sulit diajak kompromi,” teriak Zakaria dari barisan bunga Lili. “I ii i....iya pakk, aku segera berangkat, tapi aku mau ganti baju dulu.” teriak Dedy langsung berlari ke arah Pickup itu, tapi setelah Zakaria tak melihat adanya Dedy yang jelas jelas penuh Lumpur. Rupanya, sudah dari tadi ketiga anak buah bapaknya itu menunggu Dedy di belakang bak mobilnya setelah bunga-bunga itu mereka susun rapi di bak mobilnya dan Dedypun langsung melajukan mobilnya karena waktu adalah kepercayaan Zakaria yang akan luntur jika Dedy melunturkan Lumpur dibajunya itu terlebih dahulu sebelum bunga bunga itu ia antar, walau beberapa menit ia kurangi waktu itu sendiri yang mungkin pemilik bunga pesanan itu menunggu waktu pesanan bunganya tiba sesuai waktunya.

Bab Enam Belas

Kakinya tak pernah letih untuk melangkah, walau tak ada lagi uang di sejumlah sakunya. Senja tadi ia tiba di terminal Situbundo, sengaja dia tidak langsung menuju rumahnya karena menunggu datangnya gulita. Sejak tadi langkahnya tak pernah henti mengelilingi kota Sitobundo yang sudah lama ia tidak nikmati, penampilannya sudah sangat kotor, tanpa barang-barang lain yang tampak ia bawa selain biola yang sering ia sandang dan tas gendong kecil yang digantungi mobil-mobilan ferrari dan tas itu sendiri hanya berisikan lembaran-kertas bertuliskan angka-angka dan syair yang tak semua orang tahu, karena itu hanyalah sandi dimana bahasa yang hanya dirinya bisa membahasnya lewat dawai serta nyanyian. Jaket yang ia kenakan itu sudah hampir tiga tahun lebih umurnya dan terlihat jelas di bagian belakang jaketnya sudah banyak sayatan oleh melepuhnya umur, ekspresinya sudah mulai total berubah, sepatunya tampak lucu terlihat, karena hanya memakai kabel kawat bekas untuk pengikatnya.
Rupanya sudah lama biola yang ia sandang itu tak berdawai dan langkah-langkahnya ini bukan langkah yang pertama ia melangkah nyusuri kota. Saat ini ia sedang asyik nongkrong di sudut alun-alun yang terletak di depan pendopo dan tatapnya mengawang-awang. Tentu saja malam ini sangat ramai karena malam ini adalah malam minggu alias banyak orang bermadu kasih lewat kata asmara pelipur adanya malam. Malampun sudah semakin larut, sembari bangkit dari tempat duduknya dan melanjutkan langkahnya menuju rumahnya.
Pintu rumah itu terbuka lebar, ia masuk begitu saja tanpa adanya permisi, mungkin dirinya akan membuat satu kejutan untuk semua keluarga atas kedatangannya, tapi nyatanya tidak, “Maaaa mi…! mami Dedy Dedy Andi Andi” panggilnya yang beruntun sapa panggil beriring kedua tangannya yang sedikit merentang. “Hey kamu siapa? Hus-hus...”seorang wanita muda mengusir Awank keluar rumahnya, wanita ini menganggap orang yang ada di depannya adalah orang gila yang nyasar masuk. “emmamiku mana emMamiku (Mami adalah ibu, sudah lama ia merubah nama itu dan nama itu selalu ia sebut mulai dari pengembaraannya) mana mamiku? Awanktetap ngotot dengan pertanyaannya dan tetap ingin masuk ke rumah itu, gaya bicaranya tidak jauh beda dengan anak kecil yang juga menginginkan pangkuan mamanya.
“Hoy’ Mami kamu itu siapa.....,hem..!? perlu kamu tahu ya, disini tu kaga ada yang namanya mami,” tanya Wanita itu sambil tutup hidung dan matanya nampak melotot lebar seiring dengan celotehnya. “Mmmmamiku ibuku, yah..! ibuku, ibu Hadiyani maaana? Tanya Awank langsung bersilah di teras depan, “Inikan rumahku” lanjutnya tatapnya kearah wanita itu. “Hey, rumah ini udah lama dibeli mamaku dan saya yang namanya Hadiyani itu...sudah pindah kali yee, kamu cari aja sendiri sana, Grubhaakk” wanita ini langsung menutup keras pintunya sambil bernyanyi, hem’ sombong sekali cewek ini maklum ajalah...,anak mama kan manusia juga.
Sebuah mobil tampak berhenti dihadapannya, nampaknya ia adalah kedua orang tua wanita tadi, Awank langsung bangkit dan menghampiri kedua sosok itu, “Mmmamiku pindah kemana? Inikan rumahku’ tanyannya kepada seorang bapak yang mekiliki kumis tebal dan rambut depannya tampak sedikit tipis. Rupanya Bapak ini bernama Agus dan istrinya yang barusaja nampak turun dari mobil itu bernama Yayuk, dia adalah karib Hadiyani semasa hidupnya. Saat Awank ngotot dengan pertanyaan yang berulangkali sama, ibu Yayuk langsung menebak kalau orang ini pasti anak hadiyani yang jelas jelas dirinya tahu bahwa salah satu anak dari Hadiyani nyaris jadi cerita misteri dibalik keberadaannya menjelang kepergian ibunya, dan diapun merasa kaget tak percaya setelah melihat adanya Awank yang jelas jelas tak jauh beda dengan orang gila, habisnya, Awank sudah benar-benar berubah dan sepintas terlihat hampir bukan dia orangnya yang ibu Yayuk maksud sebagai anak Hadiyani. Ibu Yayuk terpaksa menceritakan asal muasal rumah keluarga Hadiyani yang kini dia tempati, beserta kronologis kepergian Hadiyani.
Mendengar cerita ibu Yayuk yang sedikit panjang lebar itu, Awankpun mulai menangis dan tak jauh beda dengan seorang balita yang pengennya terpangku dipangkuan seorang ibu, lalu menyusu. Tapi kini, Mami sudah pergi, dan takkan adalagi seorang ibu yang akan memangkunya untuk menyusui beserta dongeng dongeng putaran waktu yang hingga mengantarkan balita itu lelap beriring senyum mungilnya. ibu Yayuk langsung tinggalkan Awank yang masih bertahan dengan tangis beserta sikap kekanak kanakannya.
Ternyata, sebelum mendengar cerita ibu Yayuk tadi, isi cerita itu selalu hadir dalam mimpi Awank, ditambah lagi dengan adanya firasat-firasat buruk yang selalu hinggap disetiap alat musiknya itu ia mainkan. Awank langsung melangkah pasti ke tempat tongkrongannya tadi, kembali pada posisinya yang tak jauh beda, ia tepaku tatap dengan tawa mengeruti senyum, hingga semua orang yang akan melintas di hadapannya mendadak berbalik arah untuk segera menjauh dari dirinya, karena orang orang yang sama itu merasa takut kalau nantinya orang gila yang selalu saja menggerutu tegas itu akan ngamuk ngamuk dan terkena sasaran.
“hahaha..... emmmami kemana!!!!!? emmami kok lama bwanget seeeeh Perginya!! Awank kan ga` bisa hidup tanpa mami...! mami kok tega bwanget seeeh tinggalin Awank sendiri begini,” Awank terus menerus berdialog dengan kesendiriannya. Sejenak tubuhnya terlentang dan kepalanya berbantalkan peti biolanya sambil menantang satu titik cahaya langit dengan tajam tatapnya yang tak lengah kedip, canda tawa dalam kesendiriannya itu mendadak henti saat melihat satu bintang bak komet melintas cepat di pakunya tatap. Diapun mendadak bangkit dari posisi tidurnya, dan terawa lepas, lalu berkata keras keras “Ini pasti surat dari mamiku” iapun langsung meraih biolanya, “lagu ini buat mami” lanjutnya dengan ekpresi tak jauh beda dengan aksi panggungnya, sembari langsung tuangkan emosinya lantaran sang mami yang dia harap dari tadi tak jua datang, lalu kata harap itupun ia tuangkan lewat dawai yang makin lama makin terdengar keras, hingga matanya terpejam seakan makin tinggi nada yang ia mainkan itu harapannya hanya untuk sang mami yang jauhnya tak tergapai dibalik tatapnya itu akan mendengar.
Ternyata Awank sadar akan penilaian sejumlah orang yang dari tadi menilai dirinya gila, jadi, kata gila yang jelas jelas mengiang ditelinganya itu membuat dirinya makin gila untuk menggesek empat senar biolanya yang dipadukan dengan petikan lewat jemari kirinya, dan jemari kanannya tetap menggesek. Mudah-mudahan sdengan dawai ini aku dapat menggesek hati keras jiwa manusia yang sok melangiti aku dengan mendungnya kata,” dalam hati Awank, hingga perjalanan dawai itu membuat semua jiwa yang tampak terpencar arah posisi itu dengan sendirinya membaur menjadi satu tatapan heran pada orang yang menurutnya gila itu, hingga biola itu usai dimainkan. Seraya meletakkan biola dalam petinya, dan iapun kembali meraih buku mungil serta penanya, lalu dituliskannya kata,
BENAR !???
Disetiap kegelapan
Diriku tak berarti apa apa lagi
Teman, sahabat, sodara dan semua tak berarti apa apa lagi
Seperti air, api, cahaya, dan udara yang kuramu
Tak berarti apa apa lagi
Tapi aku tak bisa berkata itu semua benar
Karena hingga detik inipun aku tak tahu apa itu arti “BENAR”
Hingga keyakinanku mulai pudar, bahwasanya
Kebenaran itu akan selalu Menang
Dan akupun tak juga Yakin, bahwasanya
Setiap Kejahatan itu akan terkalahkan oleh satu katalimat “BENAR”
Ahhhhhhhh!!!!!!!!!!!!!!
Benar benar benar dan benar itu apa sihhhhh!!!!!?
Semua hanyalah mimipi dalam mimpi
Hingga apapun yang aku punya
Apapun yang aku nikmati
Hanyalah Benar benar dan benar dalam Mimpi kubermimpi bahwa arti benar hanyalah hokum tarik menarik seperti adanya Maghnet beserta adanya Akal yang menyadari
Kekuatan pikiran yang benar
Dan
inilah cerita Benar yang aku sendiri tak tahu keBenarannya
hingga cerita inilah yang telah membuat hari hariku dalam Kecemasan yang entah sampai kapan akan berakhir sebelum aku temukan sebuah kebenaran arti kata Benar!???
Sembari menghapus air matanya dengan Zebo yang baru aja ia lepas dari kepalanya, lalu melirik tajam keramaian setelah dirinya serasa berdoa keputus asaan yang ia lemparkan kelangit kosong. Tapi, dituliskannya kembali “Doa semua awan dua Matahari di atasku untuk Tuhanku” For, Mamy Yamaha Hamada Lazeta, * 285 + 141= 468 judul “Vemada Doa”. entah apa maksud semua ini, dan iapun mulai tertawa lepas bernada tangis, seolah apa yang ia tulis, hanya dirinyalah yang tahu dan traumatisnya membuat katanya akan terSalip lagi oleh sang Penyalip.
Apa, hem` apa lu lihat-lihat, hmm..?” Awank pelototi sepasang kekasih disampingnya yang dari tadi nampak perhatikan dirinya, tadinya cowok ini hingga habis kata teriaki Awank gila, mentang bersama gadisnya. Awank langsung beranjak alias pindah duduk disudut sana, dibawah pohon beringin, karena tampak sedikit sepi disbanding tempat tadi ia duduk, dan disini suasananya memang lebih asyik dibanding disana. Salah satu anak muda dari ketujuh temannya yang nampak asyik gitaran di warkop versi lesehan ini tidak jauh dari posisi Awank, ia langsung bergegas menghampiri Awank, “Maaf bang, ini rokok, cobain deh, oh iya namaku Bima, nama abang siapa?” Aldo penuh kesan menawari rokok, namun tak banyak kata yang awank ucapkan selaian kata terima kasih atas pemberiannya dan mengatakan namanya, “Hmm..maaf mas! Bisakah anda tinggalkan saya sendiri? Please...saat ini aku ingin sendiri,” tatap sinis Awank mengeruti seyumnya, sembari langsung mengambil lembarannya dan Aldo pun pergi meninggalkannya. Dalam hati Bima bertanya-tanya, kenapa orang sepintar ini jadi begini? Dari tadi Bima sudah memperhatikan Awank dan ia tercengang saat Awank memainkan biolanya, setelah ia menganggap Awank adalah orang gila baru. Dari Warkop Aldo masih memperhatikan Awank yang sekarang lagi asyik menulis, mungkin hari ini adalah kesempatan Bima untuk belajar musik kepadanya, makanya saat ini Bima tak mau lengah menatap Awank. Tawa itu tak pernah luntur dari ronanyam entah apa yang ia sedang tulis saat ini, semakin lama semakin saja ia serius.

Bab Tujuh Belas

“Bwanyak banget pialamu Win, piala apaan sih!?” Tanya Rebet yang sudah lama apeli Wintry, sembari melangkah menuju barisan tropy yang tampak berjajar didalam almari hias. Rebet yang mengenakan kaca mata minus tebal, dan mungkin saja tebalnya tidak jauh beda dengan kaca aquarium yang sempat Zakaria buat untuk para pesananan. Hal ini juga membuat Wintry menahan tawa setelah kacamata itu ia padukan dengan gaya rambutnya yang selalu tampak mengkilap tebal akan minyak nyong-nyongnya barangkali, membuat Wintry tambah pusing untuk melayani kata-katanya yang menurutnya terlalu banyak tanya, habisnya...selain dia cerewet, belum ngomong aja dia tampak culun banget, apa lagi kalu sudah ngomong. “Tadinya sih alasan kedatangan dia ka rumah aku Cuma mau pinjam buku Kimia, ehh kaga taunya sok ngapeli aku” gerutu Wintry dalam hati selalu saja membahas tentang dia yang masih tampak komat kamit dengan kata tanyanya yang tak perlu dibahas, dan Wintrypun tak juga tahu kapan mahkluk satu ini akan pulang..
“Loh Win kenapa kamu kaga jawab, kamu kok malah diam sih, akukan Cuma nanya, itu piala kamu ya? Piala apaan sih? Ternyata Kamu adalah sang juara ya Win, tidak sia sia aku punya do`I seper.. eh sory, maksudku teman sepertimu ” sembari Rebet kembali ke tempat duduknya setelah komat kamit yang panjangnya hampir saja membuat bulu kuduk Wintri tambah naik turun seperti nafas desah gemmesnya. “Ach, kamu bisa aja ngomong do`i do`i, emangnya aku do`I mu apa? Hiiii, belum terpikir aku bakal punya cowok Bet? Dan itu semua bukan pialaku, JELASH,” ujar Wintry langsung melotot. “O,owww, kalau gto sory lahhhh, jangan pelototi aku kayak gto dong Win… entar aku mimpi buruk lagi, trus itu piala siapa Win?” gugup Rebet sambil ngelapi kacamatanya, dan tangannya mulai tampak gemetar. “Ini piala kakakku,” singkat Wintry. “Wauu pala apaan Win?” jawab Rebet. “Loh, tadi kamu kan udah lihat dewe, emangnya kaga kamu baca, hem?” Tegas Wintry tampak kesal yang tak jua Rebet ngerti. “Hiii, iyaya, kenapa aku bodoh yaWin, tadi aku lupa baca, dan hanya sekedar melihat warnanya, Piala apaan sih Win,” “Huuuu, pialanya ya macam-macam, ada puisi, musik, teater monolog,” jelas Wintry. “Siapa nama kakakmu Win?” lanjut Rebet. “Nama kakakku itu Awank, noh noh orangnya Bet, JELAS,” Wintry langsung menunjuk arah keFoto Awank yang tampak terpajang di dinding sebelah Rebet. “Sekarang ada dimana?” Lanjut Rebet, “Boleh nih aku belajar tentang musik dengannya, hmmm kamu punya fotonyalagi enggak, boleh dung aku minta untuk kenangan,” Rebet semakin comel, apa mungkin ia memuji untuk cari perhatian Wintry?
“Ihh...gimana caranya ngusir makhluk satu ini yach?” Lanjut Wintry sudah semakin tampakkan ekspresi yang belum juga dimengerti Rebet. “Ichhhh inikan udah hampir jam sepuluh, mana aku sudah ngantuk lagi, masih...aja makhluk ini menggerimis alias muncrat dari mulutnya setiap kali dia ngomong, dan kalau dia ngomong tak mau pelamkam volumenya hingga memungkinkan suaranya akan didengar oleh Zakaria yang saat ini lagi asyik ngelukis di ruang tengah.
“Dek, aku pulang dulu yah? Ungkap beruntut ketiga karib Dedy yang baru saja dari taman belakang. “Mmm iya mas, mana mas Dedy? Kok nggak ngantar?” Tanya Wintry sambil melirik kearah Rebet. “Oo, mas Dedynya masih di belakang, dia lagi gitaran ama anak-anak, jelas Imam sambil melangkah keluar pintu. Wintry langsung beranjak mengikuti langkah mereka bertiga hingga depan garasi, hal ini terpaksa ia lakukan karena menginginkan Rebet supaya cepat mengerti dan pengen pulang, ehh, enggak tahunya hal ini malah bikin dia tambah betah mgomong, dan menurutnya, ia bakalan leluasa mengatakan sesuatu ama Wintry. “Inikan udah jam sepuluh lewat, mau ngapain sih sebenarnya makhluk aneh bin ajaib ini,” Wintry kembali pada tempat duduknya sambil lalu mangap lebar tampakkan rasa kantuk, “Mmm Win, sebelum aku balik, ada yang perlu aku omongi ama kamu,” Rebet langsung menggaruk-garuk kepalanya, hingga sikap salah tingkahnya membuat Wintry yang tadinya mau mangap langsung ketawa lantaran melihat lasaknya rebet duduk menumpahkan teh manis dalam gelas yang rebet pegang itu tumpah kecelananya. “Kamu mau ngomong apa Bet….!? Kok ampek pipis gtooo…, ceppettan ngomong ajah….mataku udah ngantuk banget neeee,” Tanya Wintry mulai tegas. “Mmm aku mau terus terang ama kamu, kalau aku...kalau aku...cicici...n” ucap kata Rebet mendadak berhenti saat melihat langkah Zakaria menuju kedekatnya, Zakaria tampak mengambil ponselnya di almari yang tidak jauh dari tempat duduk Wintry. “Hmm...malam om,” gerasak-gerusukRebet langsung sapa salam pada Zakaria setelah menutup celananya yang basah dengan buku kimia Wintry, dan saat kepalanya menunduk searah dengan pusarnya, kaca mata itu mendadak jatuh. “Hmmm, Malam juga” singkat Zakaria, sembari kembali ke ruang tengah sambil menahan tawa, begitu pula Wintry.
Zakaria ngefans banget sama Rhoma Irama, wajahnya pun tak jauh berbeda. Jadi kebetulan sekali detik ini juga ia memutar Cd-nya Rhoma Irama, secara tak sengaja ia putar lagunya yang berjudul “Begadang” hingga Volume Cd itu terdengar jelas ke ruang depan, nampaknya Rebet merasa tersindir mendengar lagu itu, ekspresinya mendadak berubah dan ia pun mendadak pamit pulang, “Win, aku pulang dulu yah, salam ama pak Haji Rhoma alias bapakmu ya” singkat Rebet yang tak mau henti utak atik kaca matanya, dan iapun langsung menuju Tigernya. “Hemm Win, mungkin lain kali kata hatiku yang tertunda ucap untukmu malam ini akan sambung lagi padamu, “ Ekpresi Rebet sok puitis dengan kaca matanya yang nampak serba salah ia utak atik.
Ketika Tiger-nya ia starter, Rebet langsung meluncur. Wintry yang tampak didepan pintu langsung melepaskan tawanya keras keras karena ia ingat adanya Rebet tadi, iapun langsung lari kepangkuan Zakaria dan mulai curhat seperti biasanya, usai lagu Rhoma Irama itu ia ganti dengan lagu faforitnya.
Tiger itu kelilingi alu-alun hingga tiga kali putaran, Rebet mendadak hentikan motornya, saat mendengar teriak kawannya memanggil sapa namanya, dan ia langsung memarkirkan motornya di depan lesehan mbak atik, “Bet...gimana hasil kencanmu? Asyik nggak, kamu udah curhat belum?” tanya Bima sambil menyantap pisang molen. “Asyik apaan, tadinya sih aku mau curhat ama tu Cewex, eh’ pas aku mau ngomong bokapnya datang, abistu nyeng-ngir de gua saat bokapnya muter lagunya bang haji, yang lagunya ginini gini B’gadang jangan begadang, jerengjeng jeng jeng jeng... begadang boleh aja a aaaasal ada siWintry……” nyanyi Rebet sambil meniru gayanya. “Hahahaha...hooo jadi gittu toh ceritanya sang Arjuna alias Rebet” jelas Bima yang tampak muncrat, dan basahi wajah Rebet.
“Eh Bet, ada seorang Biolis tuch, tapi kalau melihat gayanya sich kaga meyakinkan dia bisa jadi pemain musik, tapi yang jelas dia hebat banget Bet,” jelas Bima langsung menyentil jauh puntung rokoknya. “mana? Tanya Rebet setelah mesan segelas kopi pada pembantu mbak atik yang masih tampak AbnG {Anak Baru ngerti Gairah}, tapi itu hanya menurutnya lohhh. “Bim, kalau mendengar kata biola, aku jadi ingat ama Wintry,” lanjut Rebet sambil menyeduh kopinya, “Maksudmu...Wintry bisa main biola, begitu?” Tanya Bima berubah sikap, pasalnya Bima juga suka ama Wintry, Cuma dia akan memberikan kejutan ajach ama Rebet, karena ia taruhan siapa cepat dapet itu cewek duluan.
“Bim, yang bisa main biola itu bukannya Wintry, tapi kakaknya dan kakak Wintry tu sekarang lagi sekolah di Bandung, itu katanya sih... tapi... kerren loh lagu-lagunya,” jelas Rebet. “ap ap appa..bet? kakaknya Wintry, siapa nama kakaknya Wintry itu Bet? “Bima mendadak kaget dan menarik-narik baju Rebet bak orang mau kelahi, tapi ini bukan berarti emosi lohh, dia hanya merasa curiga. Bima tambah penasaran dengan kakak Wintry yang selama ini tak pernah dapatkan cerita tentang dirinya yang punya kakak beserta keahliaannya. “hoy...bim bim bim...sadar, hey...eleng-eleng oyy, eleng Bim,” Rebet menepuk nepuk Bima yang menurutnya mendadak kesetanan, masalahnya kekasaran Bima padanya membuat Rebet kaget lah tentunya dan kacamatanya itu loh! Jatuh lagi hingga tanpa terasa terpijak oleh Bima yang masih menarik narik baju Rebet dengan kata Tanya berulang ulang.
Bima langsung lepaskan baju Rebet, bak seorang Jagoan Neon. “Bet..please...katakan padaku, siapa nama kakak Witry itu, dan apakah kamu tahu wajahnya?” Bima ngotot dengan pertanyaan yang sama, “Iya iya sabar dikit kenapa sih,” Rebet membersihkan kacamatanya dengan lengan bajunya, “Bim Bim Bim kamu kenapa sih kok kayak kesetanan gini?” Rebet masih nampak menculun tanpa jawaban pasti. “Emmbeeet, aku nggak main-main nih, ceppat ngomoong...ngomoong...siapa nama kakak Wintry itu hmm...!” Bima menarik Rebet lagi penuh gemmes yang tampak pada giginya tergigit rapat, Rebet semakin culun menyelamatkan kacamatanya, karena sudah dua kali Bima pecahin kacamatanya saat kelewat guyon.
“Iya plas cuplas cupliss please...lepasin aku dulu Bim, hghoaayyy... hoooooy,” teriak lepas Rebet itu membuat kaget semua orang, hingga petugas yang nampak mengataur jalur lalu lintas itu melototinya, Bima langsung mencubit tipis perut Rebet saat melihat semua orang meliriknya, “Ayoo mau jawab nggak, hmm...”lanjut Bima, kayak orang mau kelahi. “Iya iya aku jawab, nama kakak Wntry itu Awank, A Wank Bimmmmmoliiiiii!” dengan lembut Rebet menjawab, tapi dia mendadak kaget dan hampir copot jantungnya saat Bima langsung tarik paksa tangannya menuju ke seberang jalan setelah dengar ucap Rebet, “Ap ap ap Bet Awank...,ayo sini sini ikut aku, rupanya kacamata Rebet yang nampak nongol di kantong bajunya itu melompat seketika, ia berusaha menolongnya, tapi tak ketolongan hingga ludes kepijak roda motor yang baru ajah melintas kencang, dan Bima terus saja menarik tangannya tanpa memberi kenyamanan Rebet untuk bernafas normal hingga mereka berduapun tiba dihadapan orang gila itu.
“Bet, apakah orang itu mirip dengan kakak Wintry,” telunjuk Bima mengarah ke orang gila itu, Rebetpun langsung terkesima kaget melihatnya. “Bim, bim, bim itu…, itu...kan kakak Wintry, aku harus menghubungi Wintry sekarang,” Lanjut Rebet langsung merampas ponselnya, hingga Rebet pun tak jadi menghubingi Wintry. “kenapa Bim? Kita kan harus menghubungi wintry, kasihan ama Wintry,” jelas Rebet mereka berdua kembali ke Lesehan sambil mengatur strategi, “Bim...!! kalau menurut cerita Wintry tadi sih...!!! Awank itu sudah nggak ada kabar selama empat tahun ini,” lanjut Rebet. “Nah...maka dari itu “Bima langsung tepuk Rebet yang nampak sial banget malam ini, “Bet coba buka pikiran kamu, seandainya tadi kamu hubungi Wntry, apa perasaan Wintry bersama keluarganya entar jika, selama itu mereka semua tidak jumpa, dan malam inipun kamu lontarkan kabar atas adanya seperti nyatanya ceritamu, coba kamu pukir, apa yang bakalan Wintry bersama keluarganya rasakan, hmmm...?” jelas Bima, “Iyayaya” desah Rebet, “Iyaya...iya, iya apaan? “tangan Bima mulai tampak gatal lagi untuk mencengkram muka Rebet yang hampir saja berbentuk oval. “Bim Bim Bim...ampun...ampun peace...peace! jangan lagi ada pertikaian oke, kita kan sahabat, “Rayu Rebet langsung bayari kopi Bima.
“Bet, kamu tunggu disini dulu, mana kunci motormu,” sembari Bima menuju Tiger Rebet. Kamu mau kemana?” singkat Rebet tak juga ngasih kuncinya, tapi ia terpaksa memberi kunci itu setelah Bima tampak melotot lagi. “Tapi jangan lama yah, ini Bim!! Tangkap....” Rebet langsung lemparkan kuncinya. “Thanks.” Singkat Bima setelah menyetater Tiger itu, roda depannya ia angkat seiring gas yang ia main mainkan dihadapan Rebet dan Tiger itupun nampak meluncur cepat, secepat kata kotor yang kerluar dari mulut Rebet yang tak terdengar jelas oleh Bima. “Wadduhh....hancur deh motor gua, tangan Rebet meraih dadanya, “hfuuu...”desah Rebet tak kunjung henti sebelum motornya kembali tanpa cacat.
Hampir dua jam Rebet menunggu kedatangan motornya, ya jelas saja ia tampak resah, karena setengah jam lagi mbak atik akan menutup warkopnya. “Adduhhh, Bim Bim...kemana sih tu anak, gerutunya.” “Bim Bim..., gimana si kamu jadi orang, punya mobil nggak mampu beli bensin, punya ponsel kagak mampu beli pulsa, eh... maunya Cuma nebeng melulu, Hmm dasar tu anak apa orang apa bukan yah?” lanjutnya selalu saja menggerutu.
“Bet...motormu mana?” Tanya Hendar teman Rebet yang masih tampak asyik gitaran bersama teman lain. “Biasa, lagi dibawa Bima,” jawab Rebet terdengar sinis. “Hahaha...langganan kali yah motor kamu dipake Bima,” sambung Farid. “Tunggu ajah Bet, sabarrr, sabar, palingan kaga nyampai pagi Motormu tiba,” lanjut Hendar malah bikin Rebet tambah was was dibuatnya, dan iapun mulai takut tak bisa pulang sebelum orang tuanya mengunci semua pintu, dan Rebetpun harus terpaksa tidur di halaman teras untuk yang ketiga kalinya dengan kasus yang tak jauh beda dengan adanya malam ini.

Bab Delapan Belas

“Benar, apa yang kamu ceritakan itu Bim? Kamu jangan main-main,” Wintry masih tak percaya, tapi jantungnya masih berdetak panik, seolah tak menerima kenyataan adanya isi cerita. Bima menceritakan keberadaan Awank bersama adanya, panjang lebar cerita tentang sang biola yang tampak beraksi tadi sudah Bima utarakan pada Wintry persis apa yang telah ia lihat pertama kali hingga akhirnya dawai itu ia tutup dengan kata lantang yang tak dimengerti oleh adanya Bima. Sengaja ia melarang Wintry untuk memberitahukan hal ini pada Zakaria, karena Bima takut hal ini akan menegangkan suasana yang berkemungkinan akan bertambah kacau. Wintry langsung beranjak kebelakang, sembari panggil Dedy yang masih ngobbrol bersama ketiga temannya di area pondok. “Ded...!! sini dulu, aku ada perlu makamu, penting Ded, ceppet dikit,” teriak Wintry dari pintu tengah. “ada apaan sih...,yang perlu siapa? Harusnya kamu yang kesini,”jawab Dedy dengan ekpresi humornya. “Ded...ini penting, aku nggak bercanda nih...,” Wintry melangkah mendekati ayunan. “Ded sebaiknya kamu datangi aja Wintry dulu, masa` kamu suruh dia kesini sih, ya jelas malulah dia Ded, kita kita disini kan Cowok semua,” jelas Rudy dan kedua temannya ikut dukung katanya. Dedy langsung beranjak hampiri Wintry,” ada apaan sih Win? Ini kan udah malam kamu kok belum tidur,” Tanya Dedy setelah ada disampingnya. “Iya sihhh, tapi...” jelas Wintry tampak gugup. “Tapi apa lagi?” lanjut Dedy. “Tapi…” Wintry makin gugup. “ Tapi gitu dech kamu yach, kalau cerita sama aku keseringan ada tapinya, emangnya kamu punya teman yang namanya tapi ya? Dedy langsung menguap ngantuk.
“Ded...pas aku lagi nyenyak-nyenyaknya tidur, ponselku banguni akau alias temanku nelfond,” Wintry. “Terus...?” Dedy potong bicara. “Ded! Kalo orang lagi cerita itu dengar dulu kenapa sich, kamu ini udah kebiasaan yah motong bicara sebelum orang selesai ngomong, aku serius nich..” Wintry tampak manja, teman Dedy memperhatikan mereka dari pondok itu penuh kesan melihatnya. “Iya iya iya...aku dengar, terus?” Dedy mulai serius mendengarnya, lalu menguap lagi. “Ded...Awank ada di Situbondo,” singkat Wintry “Apa!? apa Win...kamu tahu dari mana?” Tanya Dedy mencengkram pundak Wintry. “Awank sekarang ada di mana?” lanjut Dedy dengan detak jantungnya. “Untuk lebih jelasnya, sebaiknya kamu temui teman aku aja dech Ded,” Wintry langsung tarik tangan Dedy, lalu melangkah ke ruang tamu. Bima tampak kasak-kusuk kecemasan karena kelamaan ditinggal Wintry dan pikirannya selalu tertuju pada Rebet yang masih berada di alun-alun, dan pasti sudah marah.
“Bim, kenalkan ini kakakku,” sahut Wintry pada Bima, Bima langsung berdiri dan tanggannya nampak meraih tangan Dedy, “Bima!” singkat Bima. “Aku Dedy,” mereka saling berjabat kenal. Tanpa panjang lebar kata lagi, Bima langsung menceritakan adanya Awank, tidak jauh beda dengan cerita yang sudah Wintry dengar barusan. Dedy langsung beranjak menuju garasi setelah cerita ia tangkap, dan Bima menuju motornya setelah Dedy menyalakan mesin mobilnya. “Hmm...Bima, aku ngikuti kamu dari belakang oke, dan tolong antar aku ketempat Awank,” jelas Dedy setelah mobil keluar dari garasi menuju pintu pagar yang baru aja Wintry buka lebar, “Dan kamu Win...kamu tunggu disini ajach, jangan sampai bapak tahu dulu hal ini sebelum Awank pasti berada dan ada di rumah ini, “lanjut Dedy setelah mengeluarkan sedikit kepalanya lewat kaca jendela mobil yang terbuka lebar. “Oke Boss!! Tegas Wintry sambil menerima tatapan mesra Bima yang baru ajah tampak melirik ke arahnya, “Emangnya ada apa dengan Bima Ya? Tak biasanya ia menatap aku begini mesrah,” tutur hati Wintry yang mulai tampak salah tingkah, lalu sambil menimang-nimang kata tanda Tanya hatinya, ia beranjak ketaman belakang setelah Dedy dan Bima tengah meluncur.
“Hey...kakak-kakakku, kalian mau nggak aku buatin kopi!!!!??? Hemmm!?” teriak Wintry dengan serak manja suaranya, dan hal ini tak seperti biasanya mereka bertiga rasakan. “Jangan dekkk!” semua teman Dedy serempak menjawab. “Yaudah!!!! Kalau gitu aku tinggal dulu yahhhh!” jawab Wintry langsung berbalik arah, dan melangkah menuju pintu sambil bernyanyi. “Eh eh eh dek, kamu mau kemana?” Tanya teman Dedy yang mengenakan topi baret hitam milik Dedy. “Ya mau bobok lahhh, emang mau kemana lagi uda malem gini?” jawab Wintry sambil gerak gerikkan badannya. “Terus… kalau kamu sekarang udah mau bobok, kaga jadi dunkkk kamu buatin kopi kita-kita,” jelas aldy. “Loh, bukannya tadi kalian udah jawab ja ngan….., kalian ini gimana see….!? “Em maksud kita kita tadi…. Pas dedek bertanya…, kita kita mau jawab Jangan dek,” jelas teman Dedy yang mengenakan topi baret itu. “Maksudnya…..” lanjut Aldi bikin Wintry pucinggggg. “Jangan ragu-ragu….” Mereka bertiga kompak jawab, lalu lepaskan tawa, termasuk Wintry. “Jadi,” singkat Wintry menahan tawa. “Yah jadi dung… dedex buatin kita-kita kupiiiii” jawab Aldy. “Ooooooh! Jadi gto ceritanya, Okke dech...tunggu sebentar yach, sebentar lagi kopi pasti datang, Wintry langsung melanjutkan langkahnya menuju pintu, lalu berhenti setelah mendengar sapa panggil. “OH iya Dek, si Dedy kemana?” Tanya salah satu teman Dedy yang mengenakan baju Under Ground. “Hmmmmm Kakak-kakakku yang budiman, dengar yah, si Dedy lagi Keluar, cuma sebentar, mangkanya biar kalian semua kagak merasa suntuk untuk nungguin seorang Dedy kembali….. mending Kalian semua nungguin kopi yang akan kubuat spesial hanya untuk mu semua, gimana kakak-kakakku semua…!!!! mau kaga`?” manja Wintry tirukan gaya A`A. “Okke Dehhh!” semua kompak jawab, lalu serentak dengan bahaknya dan salah satunya tampak konyol, karena tertawa sambil melingkarkan tubuhnya diatas tikar bak ular tikar, dan Wintrypun langsung menuju dapur, lalu melepaskan tawanya.
Mobil merah itu berhenti setelah Bima memarkirkan Tigernya di samping Warkop, Rebet langsung berlari dengan semangat juangnya menghampiri motornya, tanpa pamit lagi Rebet meluncur setelah melihat kunci itu melekat di motornya, dan dinyalakannya mesin motornya. “Gila tu anak,” tutur Bima, tatapnya menuju motor itu yang tampak meluncur kencang bak kesetanan, Bima sempat kaget saat Dedy menepuk pelan punggungnya, “Hem..., mana boy si Awank!?” tanya Dedy. Bima langsung mengangkat telunjuknya, dan mengarahkannya kesudut alun-alun. Ternyata posisi Awank tidak jauh dari mereka berdua berada. Dedy langsung kaget melihat adanya Awank malam ini, Awank masih bertahan dengan lembaran-lembaran ditangannya, ekspresinya tak jauh beda seperti yang bima ceritakan tadi dan tidak terasa air mata Dedy jatuh beriring detak jantungnya. Tapi ia masih bertahan dengan kata Tanya, “Apa mungkin, orang yang ada di depan mataku sekarang adalah sodaraku? Dan inilah kenyataanku” tutur Dedy dalam hati, dan dihapuskannya air mata dengan lengan bajunya, sembari melangkah menuju adanya Awank yang saat ini tampak tertawa lepas melihat lembaran ditangan kirinya, dan biola ditangan kanannya.
“Wank...!!!” sapa Dedy dari belakang Awank yang sedang duduk, ia langsung memalingkan kepalanya dengan rasa berat ke arah suara sapa itu, lalu menengadah ke kepala dedy setelah dari sepatu ia tatap. Penuh senyum menyipitkan mata, Awank langsung berdiri, lalu meraih peluk erat Dedy. Tanpa terasa olehnya, biola itu lepas dari tangannya, dan tergeletak ke lantai dengan suara yang menggema, lalu Bima meraihnya hingga dimasukkannya biola itu kedalam peti-nya.
“Ded..., emmana mmami..mmami kok nggak diajak, apakah mami kita sedang tidur Ded?” tanya Awank membuat Dedy kembali pada sejarah kesedihan adanya. Awank masih bertahan dengan kata-kata itu berulang kali, “Ded..! mmami kok nggak ikut kamu jemput aku? Kkkamu tahu kaga Ded, dari tadi aku kesepian,” jelas Awank dengan terbata, dan tingkahnya bak anak kecil, sedang Dedy, tak bisa berkata apa-apa lagi. “Ded, kenapa kamu diam!!!? iya kan Ded, kamu udah malas mendengar kata kataku lagi?” lanjut Awank. Dedy tak mampu untuk mengeluarkan kata-katanya, setelah melihat adanya Awank yang menangis, lalu ia mengajak Awank ke mobilnya. “Nggak Ded...aku nggak mau pulang sebelum ada mami” tingkah manja Awank membuat Dedy kewalahan. Untungnya Bima sangat pengertian, dan dia membantu Dedy bujuk Awank supaya mengikuti ucapnya, “Mass..! mami mmas ada di rumah, ayo mas buruan naik masuk k mobil, kita kudu cepat pulang mas,” rayu Bima tampak ekspresif, “Nggak, nggak kalian semua bohong...! mamiku sudah nggak adakan, iyakan? Iayakan, kalian semua bohong, aku ini sudah nggak punya mami lagi, aku mohon pada kalian semua jangan bohongi aku, karena aku sudah kenyang akan kata kebohongan,” Awank terus uring-uringan dengan katanya sendiri, lalu kembali pada posisi semula, dan peti biola itu ia peluk erat bak boneka mungil kebanggaan. Dedy tampak heran, dari mana ia tahu tentang tidak adanya mami?
Seiring berjalannya waktu bersama kata rayu, akhirnya Awank mau juga diajak pulang, dan Bima mulai pamit pada Dedy setelah Awank sudah berada dalam mobilnya, tapi ia tetap terdengar ngoceh tentang seorang mami. “Makasih kawan, lain hari saya harap kamu mau main lagi kerumahku, “ungkap Dedy dari dalam mobilnya. “Makasih kembali mas, “jawab Bima sambil merundukkan badannya di luar pintu setara kaca jendela, dan mobilpun langsung meluncur setelah kata ucap terima kasih itu ia ucapkan.
Starlet hitam itu nampak terparkir di seberang jalan yang tidak jauh dari Warkop yang sudah tutup, Bima langsung membuka pintu mobil itu dan bergegas pulang karena sekarang sudah hampir subuh. Dalam hatinya dari tadi berdebarkan rasa, karena strategi untuk mendapatkan Wintry sudah memenuhi sebagian konsep Bima. Dari kelas dua Bima tertarik akan kemanisan Wintry walapun dia adalah adik kelasnya.
Dedy langsung memarkirkan mobilnya, tepat di depan garasi yang tampak tertutup rapat, rupanya Zakaria mendengar suara mesin mobil itu dari dalam kamarnya, dan ia langsung melihat adanya dari bilik jendela, “Wank...kamu kenapa Wank! Kamu kenapa nak?” teriak Zakaria dari jendela, dan langsung menghampirinya. Dedy mendadak kaget setelah Zakaria mengetahui hal ini, air mata Zakaria membasahi pundak Awank setelah Awank berlari kepelukan Zakaria bak seorang balita yang mendadak minta gendong, kata tanya mami seperti di alun-alun tadi, berulang kali ia ucapkan. “Pak! Awank kangen ama bapak, makanya Awank pulang,” jelas Awank, “Bapak udah lupa yah ama Awank?” lanjutnya “Tidak nak, bapak tidak pernah lupa sama kamu, bapak juga kangen sama kamu nak,” jawab Zakaria langsung mengajak Awank masuk kedalam rumah, “Ded! Tolong kamu panggil Andy sama Wintry sana, bilang sama mereka bahwa Awank sudah pulang, padahal Wintry sudah tahu tentang adanya ini, dan saat ini dia sedang menahan tangisnya di balik jendela kamarnya, karena dia menganggap Awank sudah gila. “Toktoktok….!” mendengar suara ketukan pintu kamarnya itu, Wintry langsung keluar setelah menghapus air matanya, dan iapun menuju adanya Awank.
Mereka sekelurga nampak lengkap menyambut kedatangan Awank, Wintry langsung menuju dapur untuk membuatkan kopi mereka semua termasuk ke empat teman Dedy yang tadinya lupa untuk Wintry buat, ia lupa lantaran si indry Calll dia hampir setengah jaman lewat, dan jelas saja, semua teman Dedy tampak tertidur karena kelamaan menunggu datangnya Dedy, setelah mengharap datangnya kopi yang Wintry janjikan.
Awank nampak tidur dipangkuan Zakaria dan Zakariapun membelainya bak seorang balita. “Wank! Bangun dulu yah, ini kopinya mumpung masih panas, minum gih cepat,” jelas Wintry, Awankpun langsung bangun dan meraih kopi itu dengan senyumnya yang tampak berat. Tidak lama kemudian, Wintry pergi kebelakang, tempat dimana teman Dedy berada, lalu ia bangunkan mereka semua untuk menyuruhnya masuk kedalam rumah setelah meminta maaf atas kesalahannya membuat mereka semua menunggu dirinya. Setelah sampai diruang tengah, semua teman dedy, termasuk Wintry, melihat dan mendengar adanya Awank yang kembali merengek tangis dengan kata tanyanya, “Dimana mamiku.” Jelas Awank yang tampak terpelungkup. Mereka semua, termasuk keempat teman Dedy ikut mengapusi Awank, dan Zakariapun terpaksa menceritakan sejarah, atas kepergian sang mami yang selalu ditimang kata.
Mereka semua tampak lelap saat ayam mulai berkokok, Zakaria tampak meraih bantal kursi setelah ia lalu ia sandarkan kepala Awank yang tadinya berbantalkan pahanya kebantal kursi yang baru ajah ia ambil. Tapi Awank tak jua bangun, mungkin karena dirinya telah capek atas aktivitasnya, dan hal inipun juga dirasa oleh seorang Zakaria yang saat ini melihat adanya Awank yang tersenyum dibalik pejaman matanya. Sembari langsung meraih tas yang sudah tampak kumal milik Awank, lalu memeriksanya. Zakaria mendadak nangis saat melihat isi tas itu, karena isinya hanya sejumlah buraman kertas dan sumbu kompor, lalu ia membawanya kedalam kamarnya. “Wank, ada apa sebenarnya dengan kamu nak? Kenapa kamu sampai jadi begini nak?” tanya jawab Zakaria dalam hati mengitari air matanya, lalu langkahnya menuju potret Hadiyani yang tampak terpajang dinding “Dek! Coba lihat, apa yang telah anakmu bawa pulang, coba lihat dek, hemm!” Zakaria menghapus air matanya sambil lalu menatap potret itu.
“Wank, ini kopinya, minum dulu gih, entar keburu dingin,” Wintry membuatkan 3 kopi untuk Zakaria, Awank dan Dedy setelah sarapan pagi telah usai, mereka semua nampak ngumpul di ruang keluarga untuk mencari tahu aktivitas Awank selama ini. Panjang lebar Awank menceritakan perjalanannya dari adanya tanya jawab keluarga, namun hanya Zakaria saja yang tidak mudah mempercayainya.
“Ded! Tolong kamu antar Awank ke kamarnya, bapak mau ke Depot dulu karena hari sudah siang,” sahut Zakaria. “Hmmm...Wank Wank...entar malam kita lanjutkan lagi bincangnya,” lanjut Zakaria pada Awank yang tampak kosong. “Cepat Ded, antar dulu Awank,” Zakaria langsung beranjak ke garasi, “Iya pak,” sahut Dedy langsung menuju kamar bersama Awank. “Pak Wintry ikut yach? Karena entar siang temanku mau kedepot,” jelas Wintry setelah berlari kedekat Zakaria yang sedang menyalakan mesin mobil. “Iya tapi cepat dikit yach, bapak tunggu di mobil, cepat Win,” jelas Zakaria sambil lalu manasi mesin mobil, dan gas itu ia main mainkan. Wintry berlari menuju kamarnya. “Kemana Win?” sapa Awank dengan suara beratnya sambil menerawangi tatap isi ruangan. “Mmm mau ke Depot,” jawab Wintry, lalu melanjutkan langkahnya. “Depot, Depot apa Ded?” Tanya Awank pada Dedy. Dedy menceritakan semua, termasuk asal muasal rumah baru yang kini ia tinggali sambil lalu melangkah menuju kamar, dan Awank mengikuti langkahnya.
“Ini Wank, kamar barumu,” setelah pintu kamar Dedy buka, Awank tampak tercengang melihatnya, karena sejumlah alat musik sederhana nampak melengkapi isi ruangan. Perlahan Awank melangkah ke dalam kamar itu, sorot matanya tampak tajam menyoroti sejumlah alat musik dan foto foto tergambar musikus kuno berbingkai, hiasi dinding yang juga nampak penuh akan poster alat music berbagai jenis tipe n merk.
Rupanya, sudah lama Zakaria membelikan sejumlah alat musik kuno ini beserta renovasi kamar yang saat ini tengah tersaji oleh tatap adanya Awank yang hanya tampak tersenyum berat iringi tatap tajam matanya yang tak pernah lengah unutuk menatap satu titik benda ketitik yang lain. Semua ini hanya untuk Awank yang tadinya mungkin akan kembali pulang sebelum sang ibu pergi, tapi nyatanya, impian Zakaria untuk membanggakan, serta memotifasi Awank jadi sia-sia setelah hampir tiga tahun lebih Awank tanpa kabar.

BAB DUA PULUH

Bel yang berbunyi itu menandai kalau jam pelajaran telah berakhir dan sekarang waktunya untuk semua murid pulang, saat ini Wintry nampak duduk santai di atas motornya sambil menunggu ketiga temannya, ia membaca surat yang baru saja diterima dari Bima.
“Dwoarr,” Indri tepuk Wintry. Ce illee...surat dari siapa tuh...!” Vita langsung ambil surat yang baru ajah terjatuh itu.” Udah pada gila kamu semua yach, selaluu saja bikin aku kaget, kamu orang udah pada tahu nggak sich, kalau aku sekarang lagi punya penyakit darah tinggi, masih.... aja kamu bikin aku marah. Wintry marahin mereka semua dengan tawa tertahan, “Lohlohlohhh..., kita sekarang emang bertiga Win, tapi...tapi aku kan tidak ikut ikutan buatmu kaget. Sembari Gina sambil melahap cokelat yang kedua.
“Uwaouuu...Bib, BibBib Bima nembak kamu Win? Tanya Indri usai baca sekilas surat itu, matanya melotot lucu saat Wintry merampas langsung surat itu. “Terima ajach la Win...,” sambung Novi sambil kelap kelipkan matanya. “Kalau kamu kaga mauu, buat kita kita jach deh, gimana?” tanya Indri sambil berjiget ria nyanyikan lagu “Makhluk Tuhan paling Seksi” sampai terlihat menor. “Hahaha...woiii, malu dikit dong…. banyak yang lihatin kamu tuch,” singkat Wintry dengan bahaknya yang tak mau henti. “Biarin ajach la Win, si Indri sekarang kan lagi kaga punya kemaluan, hihihihi..” Novi langsung berlari membelakangi Wintry.” Emmm...kalian semua pada ngomongi apa sihh...”tanya Gina yang kaga pernah nyambung. “lagi ngomongi kemaluan Gina bolooot...! huuuch kenapa sih Gin...canelmu kaga pernah nangkep kalau kita kita pada ngomong,” Novi langsung sentili kuping Gina. “Huweyy...dari pada kalian ribut-ribut ngomongin kemaluannnn, lebih baek kita sekarang, kita sekarang” jelas Wintry. “Pulang..!!!!” mereka bertiga kompak menjawab sambil melompat. “Hemmm...kita mau kemana ya?” Tanya Gina ekspresinya terkesan lucu, saat mengkerutkan pipi. “Emm..sini sini Gin,” Indri merangkul tangan Gina mirip penganten baru yang lagi ngantur konsep menuju pelaminan. “Sebaiknya kamu jangan ngomong dech Gin!! yang penting kamu ikut ajach kemana kita pergi, Ok!” Indri bisik ketelinga Gina. “Iya, iya ikut sih ikut tapi kita mau kemana!!!!?” suara Gina semakin keras. “Pipis ajah de lu sana Gin!!!!!” teriak Indry dekat telinganya.
Hampir setengah jam canda tawa mereka lewati bersama, tampaknya mereka semua pada cuek and alias PD banget gitu looh, walaupun dari tadi dilirik semua orang yang masi ada diSekolah dan sebagian melintas di depannya. “Ahhh...udah udah udah, sekarang aku mau pulang, karena aku nggak mau kena marah bokapku lagi, karena hampir setiap hari aku terlambat pulang gara-gara kalian, kalau kamu mau ikut ayo, kalau enggak ya udah,” tanpa basa basi lagi Wintry langsung turunkan motornya dari teras parkir.” Ya udah Win..., jangan monyong gitu dong nggak baik, entar cantiknya hilang dech,” kata Novi.” Iya Win, entar kalo kamu monyong...,tumbuh kumis loo, hahaha....,” sambil cengengesan, Indri makin bertambah menornya dengan lagu yang belum habis ia nyanyikan. Tak lama dari itu, masing-masing dari mereka hidupkan mesin motornya setelah Wintry, dan meluncur ke arah barat. Sepanjang jalan Indri nyanyikan lagu “Ingat Kamu” miliknya Maya sambil gelengkan kepalanya dengan rasa cuek pada setiap tatap yang menatap adanya.
Uwwaw, Indri dan Novi mulai tancap gas dahului Wintry dan Gina yang masih nampak santai, kelihatannya lenggak lenggok motor itu sesuai dengan irama lagu yang Indry nyanyikan. Terdengar jelas suara bising knalpot Indri yang ia main-mainkan hingga putaran jarum Spedometer tampak semakin tinggi dan mereka berdua lepas dari pandangan Wintry dan Gina.
“Win...! mereka berdua pada mau kemana sich, kok kayak yang dikejar-kejar Sayton Nirrojim,” teriak Gina turunkan gas. Tampak Wintry hentikan motornya kearah pinggir, sebaliknya Gina. “Hahaha...udahlah Gin, dari tadi perasaanku kaga nyaman nich, habisnya dari tadi bawaan kita mau ketawa teruss sich.” Wintry menatap wajah Gina yang terkesan lucu, hingga tawanya tak mau henti. “Jajaj jangan Win, kamu jangan ngomong yang enggak enggak, aku juga takut nich, takut dengan kata vonismu.” Sembari turun dari motornya, lalu menunggangi motor Wintry.” Hey kamu kok jadi kaya anak kecil gini sich..., yang ngomong vonis itu siapa...aku kan Cuma ngomong takut, aku takut sesuatu yang tidak kita inginkan bakal terjadi,” Iya Win, perasaan ku juga kaga enak nich, habisnya cara dia bawa motor kaga kalah ama cowok sich,” Gina tampak mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan ekspresinya terkesan kewalahan menhadapi kedua temannya yang menurutnya gelenjit banget itu. Dag dig dug hati Wintry tak mau henti.” Ayo Win, kita kejar mereka, firasatku tambah kaga enak nih,” jelas Gina, kembali pada motornya. “Masalahnya Gin?” Tanya Wintry sambil menghidupkan mesin motornya.” Masalahnya gini Win, baru saja cokelat yang baru saja mau aku makan, mendadak jatuh pas aku lagi mangap, aduhh..., aku malu banget Win. Jelas Gina sambil meremas-remas jarinya. “Malu, malu ama siapa? tumben kamu punya rasa malu,” Ekspresi Wintry solah olah menakjubkan pendengarannya, karena baru kali ini ia mengatakan malu kepada Wintry. “Iihh..., ya malu la Wiin, aku malu ama sopir angkot yang melihat adegan salahku barusan, belum lagi penumpangnya,” Gina merengek lucu dengan manjanya, lalu kembali meraih coklat dalam tasnya sebelum mesin motor ia nyalakan. Wintry terlihat menahan tawanya dan langsung luncurkan motornya tinggalkan Gina yang masih mengunyah. Gina langsung kejar Wintry, setelah mesin ia nyalakan dan coklat yang barua jah ia lahap setengah itu ia masukkan kekantong bajunya. “Win...pelan dikit kenapa sich, iya dechh...aku kaga mau ngomong lagi, habisnya kamu selalu...aja ketawa kalo aku ngomong, emangnya aku kayak Gogon apa,” celoteh Gina tak dihiraukan.
“Win...coba lihat, si Indri tuh..? matanya melotot ke arah kerumunan massa yang mengelilingi Indri dan Novi, mungkin saja sebagian dari massa itu pas kebetulan ada di sana atauuu, entalah.
Hati Wintry sudah bisa menerka, kalau mereka berdua pasti bermasalah lagi. Habisnya baru...aja kemarin lusa si Indri kelahi nyampe guling-guling di tanah ama kakak kelasnya dan tak ada jeranya buat makhluk satu ini walaupun namanya sudah tercantum dalam catatan kriminal alias buku hitamnya sekolah. Tapi...sebandel apapun dirinya kepintarannya tetap bertahan bhokk...
Wintry dan Novi hanya bisa diam, membelakangi salah satu penonton yang lagi asyik nyaksiin siaran langsungnya Indri perang mulut ama satu pria diantara dua temannya. Novi saling curi pandang terhadap teman pria yang saling baku tembak kata-kata, hingga tatapan-tatapan mereka dag dig dugkan hati masing-masing. Senyuman Novi tebarkan pesona pada teman pria itu yang tampak menangkap pesona Novi, sehingga hati mereka semakin bertempo tinggi seperti irama musik dangdut kontemporer. Tidak lama dari itu, nampak terlihat kalau sebagian dari kerumunan massa itu dengan senndirinya bubarkan diri karena mereka akan melanjutkan aktivitasnya masing-masing diantaranya.
Uwwiyy..., sekarang terlihat jelas, kalau si Indri memasuki babak puncak nafsunya omeli pria jungkis itu. “Hweyy...,kalau mau nyeberang, matanya lihat kiri kanan doong, udah tau aku mau lewat kenapa kamu tetap tatap aku…? kenapaa...!? kamu baru lihat cewek cantik ya?” Tanpa napas Indri PD kan diri dan matanya nampak melotot lebar kayak mendadak kesurupan Sayton yang sering Gina sebut-sebut. “Hich’, hihihihi...., hwoai’ non, perlu kamu tahu yach, Nenek saya itu lebih cantik dari kamu, hahaha..., dan ngapain aku harus natap kamu selagi nenekku ada dirumahnya,” jelas jungkis tak mau kalah, lalu melepaskan tawa. “Hwoaiyyyss.., chichhh, kayaknya kamu perlu tahu juga dech, kalau waktu nenekmu masih mudah dulu…, nenekmu itu…, yah, tolong kamu ingat yah…, nenekmu ituuu tergila gila ama kakeku yang tampannya melebihi dari adanya kamu sekarang bhoook, hiii.., dasar gatel lo,” jawab Indry sambil bergoyang. Yang pasti, kalau masalah perang kata-kata, si Indri tak mungkin kalah dech. Si jungkis nampak terdiam langsung dan mulut jungkis sedikit menganga setelah melihat ekspresi Indri yang kagak jauh beda dengan pendekar. “Mangkanya, lain kali kalau matamu ngelihat cewek cantix seperti aku ini yah, apalagi sambil mengendara, sambil ngira-ngira dong..! hich, dasar buaya lo, fhuuuh..” lanjut Indri hentakan nafasnya, sambil melotot lebar ia menggepalkan jemarinya dan diraihkannya kehadapan tatap jungkis, perlahan langkahnya menuju motornya meninggalkan jungkis. Jungkis tampak tidak terima kata-kata itu, perlahan ia ikuti langkah Indri dan membalas omongan itu, “nonn! Kalau aku emang buaya, berarti kamu lobang buaya dong...! capek deh….!” sahut jungkis, bersikap rada-rada manja, ikuti arus Indri. “Pipis deh luhhhh!!!! Hiii.., hiii….., dasar buaya, buaya buayaaa...!!!!!!!!!” teriak Indri bikin semua orang yang masih tampak disekitarnya tercengang abiss gitu lo, hingga mereka-mereka semua yang lagi lihat adegan ini merasa kualahan.
Tajam sinis mata indry tengah menikam tatapnya, Jungkis-pun makin tampak menerkam tatapan itu seiring langkahnya menuju si dia yang masih tampak garang, lalu berkata. “Buah yang mana nonn...? kita-kitakan sama-sama punya buah ya, kan buah anuku ya...anumu juga, tanpa buah kita mana bisa berbuah non....!! jadi wajar dong kalau buah ya menjadi kalimat buaya setelah buah anuku berbuah anumu, hahahaha” ucap jungkis itu telah menggelikan telinga Indry yang semakin nampak sinis dan terlihat bibirnya semakin menipis hingga menekuk ke dalam. “Ap ap apa kamu bilang hem? “serak-serak Indry langsung angkat lengan bajunya, hi’ dasar mata keranjang lo,” Indry nampak mulai lesu untuk meladeni makhluk satu ini yang belum juga tak mau kalah, ia langsung palingkan arah tatap pandang menuju Novi yang masih asyik oper-operan tatap dan senyumnya kepada teman jungkis itu.
“Eh, noon..! aku mata keranjang kan karena kamu ada di ranjang dan seandainya ajah…. kamu enggak ada di ranjang, mataku kan nggak bakalan lihatin kamu keranjang……dan syah-syah aja kan non..., kalau aku tuh mata keranjang, uwwek..., pret...,” kata-kata jungkis semakin menyerang Indry hingga dia tambah emosi, apalagi saat jungkis angkat tu matanya dengan jemarinya dan sedikit agak ngeces alias badai ludah. Terlihat kalau jemarinya sudah mengepal seiring dengan giginya yang tampak tergigit rapat dan satu telunjuk dari jemarinya yang menggepal tepat hinggap pas depan sepasang mata jungkis. “Hweyy...kucing pasar...sekali lagi kamu ngomong aku tonjok lo, biar mampussss...sekalian,” jelas Indri membalas expresi jungkis, emosinya saat ini tak jauh beda dengan siPitung lagi atur kuda-kuda, tapi herannya kata-kata pwedassnya itu mulai sirami hati jungkis hingga dia merasa panas juga. “Hmm, Uwonge nggak sepiro, gwayane kayak Weddhusss dhuss dus dus dus, dasar wedhus lo.” Lanjut Indri sambil mengangkat abiss pantatnya kehadapan jungkis.
“Udah Ndryy, udahlah Ndry! Kamu ini sadar nggak sih...? coba kamu lihat, dari tadi banyak orang perhatiin kamu. Kamu ini nggak malu apa sama orang? Kamu ini cewek Ndry, jadi nggak wajarlah kalau begini di muka umum,” Wintry langsung tarik tangan Indry ke motornya.” Kamu ini kenapa sich, Win? Dari tadi ngomongnya malu malu malu...terus...! seberapa besar sich kemaluan kamu Win, hem?” Indry nampak emosi namun Wintry cukup mengerti setelah Indry berkode mata, dan sengaja ia ngomong keras sama Wintry untuk membuktikan bahwa dirinya sebagai cewek tidak mau direndahkan oleh cowok seperti adanya jungkis. “Win, kita boleh merasa malu, kalau kita tak bisa menjaga kemaluan kita dan aku ingin membuktikan pada bocah kunyuk itu,” telunjuk Indry menuju jungkis yang sudah agak jauh darinya sambil melenggak lenggokkan tubuhnya ala hip-hop. Tapi omongan Indry jelas terdengar oleh adanya jungkis. “Win seandainya kamu menjadi aku sekarang, terus diomeli oleh seorang cowok yang kamunya sendiri sudah tahu bahwa cowok itu benar-benar salah duluan, apa kamu mau diam saja diomeli dia, hem? Kalau saya nich ya Win, nggak lagi, “lanjut Indry, Wintry yang lagi duduk di jok motornya, nampak diam dan kata-kata itu distel budek oleh sepasang telinga Wintry.
“Owoyy Nov` kamu orang mau ngapain...hem..!? ini anak bukannya bantuin aku malah asyik-asyik jual beli senyuman,” Indry teriaki Novi dari motornya. Mendengar suara yang menggemuruh dari bibir Indry itu, Novi dan Gina yang memang benar-benar saling CPCP ama kedua teman jungkis itu langsung tampak buyarkan tatap pesonanya, lalu bergegas hampiri Indry.
“Sory Ndry, aku bukannya kaga mau bantuin kamu omeli tu cowok,” jelas Novi agak sedikit salah tingkah. “Iya Ndri, jumlah pasukan kita kan sudah sebanding dengan musuh, kamu ama dia lagi marahan, aku dan temannya ya...barter senyum manis ajah, habisnya dia kaga mau omeli aku sich, coba kalau iya, itu cowok pasti uda aku telan atu-atu, hehehe...!” jelas Novi expresinya agak sedikit menghumor. “Aku dukung kata mu Nov, habisnya mereka bertiga cakep-cakep sich, dan seandainya tuch cowox marahin aku niyah…” lanjut Gina. “Mau kamu apain Gin?” sambung Novi, potong bicara Novi. “Pasti gua tarik,” singkat Gina. “Tarik appanya Gin…!?” sambung Wintry. Sambil melirik semua teman bak kebengongan, Gina menjawab, “Pasti kutarik gagang pipisnya lahhhhhh, hahahahaha,” jawab Gina langsung tertawa lepas, dan semuapun juga ikut ikutan gila. “Ihhhhhhh, udah udah udah, hem’ kalian bertiga sama aja,” Indry langsung starter motornya setelah Wintry, lalu meluncur tinggalkan Gina dan Novi yang masih CPCP. “Wek, prettth...,” Indry mengangkat pantatnya, dan diarahkannya pada jungkis yang tampak terlintasi.
“Hmm...! ayyo Nov kita kejar mereka berdua, “sahut Gina yang sudah siap meluncur setelah menyalakan lampu sen. “Oke bosss!” jawab Novi sambil hormat ala Compeny setelah menerima senyum terakhir cowok tadi yang kini nampak sedikit jauh dari adanya mereka berdua. “Dada cowok..!” sapa Novi dan Gina pada kedua cowok itu, dan mereka pun mulai tancap gas, meluncur ke arah selatan, menuju rumah Wintry. Sepanjang jalan mereka berdua bernyanyi nyanyi dan tetap tampak cuek walaupun dari tadi orang melihat mereka berdua yang makin enjoy sambil nyanyikan lagunya ih ih ah...nya itu ituu dan iapun sedikit expresikan gayanya abis-abisan hingga kehabisan penonton yang mau nonton mereka berdua.
Jungkis bersama kedua temannya tampak bergegas melanjutkan Tour-nya setelah becaknya yang baru aja jungkir balik akibat ulah Indry tadi itu dibaikin. “Hehehe...cucian..dech loh Wok!!!” kata inilah yang terakhir kali jungkis ingat hingga ketiga roda itu makin cepat berputar lantaran jungkis memedalnya sarat emosi. Tapi, kedua teman Jungkis tampak senyam senyum di jok depan, bak naik BMW {Becak Merah Warnanya} mereka berdua masih mengingat ngingat wajah yang telah menebar pesonanya tadi. Lantaran emosi yang membumbung tinggi, tatapannyapun masih tajam untuk mengingat Wajah cewex yang menurutnya udah berhasil menyakitinya, dan dalm hati ia berkata, bahwasanya baru kali inilah dirinya dimaki cewex. Kekosongan tatap untuk menatap adanya jalanpun mulai tak ia hiraukan, hingga, saat jalan menuju turunan, pedal itu makin cepat ia pedal mengiringi keringat yang berdesah capex. “Woiiiiiii, aw awassssss!!!!!” teriak teman jungkis dari jok depan, dan tampak kasak kusuk, hingga getaran kabin becak tak stabil. Jungkis langsung tersentak kaget, lalu berusaha keras untuk mengerem rodanya yang masih tampak cepat berputar, namun apa yang terjadi, roda itu tak mau berhenti lantaran remnya ngesslongg!!!. “Awasssssss!” teriak Jungkis pada seorang nenek yang kaga` jadi nyebrang. Nenek itu tampak panik melihat adanya becak yang dikendarai oleh bocah asing itu, lalu berteriak “Ndukkkkk!” teriaknya membuat Jungkis membalikkan kepalanya, dan menatap adanya si nenek. Tapi apa yang terjadi, kedua teman Jungkis tampak melompat lewat lajur kanan kiri, dan Becak itu kembali jungkir balik setelah menabrak pohon asam, malah tambah parah, karena roda depannya hampir ajah berbentuk angka delapan koma u setelah ditambah roda belakang.
“Liburan yang kelabu,” desah Jungkis. “Hmm, Mustahlil berlabuh,” lanjut temannya sambil mengurut urut lengannya sendiri. “Hmmmm!!!! Apa katamulah,” lanjut teman satunya lagi yang tak kuat lagi berdiri. Tidak lama dari adanya kejadian itu, nenek yang tadi tadinya nampak panik, lalu berteriak itu datang menghampirinya. Setelah meletakkan keranjang bronangnya, ia meraih kaki salah satu teman Jungkis, dan mengurutnya sambil bertanya; “Sakit ya ndukkk?” ah……, enggakkkkk! enggak nek, cuman kaga bisa berdiri lagi,” jawab teman Jungkis dengan wajah rengeknya.

BAB DUA PULUH SATU

“Ayyooo., ngapaen….!? pacaran yo...!” dari belakang, indry tengah ngagetin Dedy setelah menutup phonselnya. Dari tadi Dedy Call Fany, dan kalau tidak ada halangan, nampaknya sore ini juga Dedy akan meluncur ke Malang untuk ngapeli tu cewek sekalian ngantar Awank untuk bertempat tinggal di Villa bapaknya yang sudah lama tak terawat.
“Eh cewex, udah pulang lu, hem? Apa nggak kurang sore, kamu orang pada mampir kemana ajach sih?” tanya Dedy sok jadi bapak bapak, dan auranya tampak ceria, mungkin karena segera ketemu Fany, masalahnya, tidak biasanya dia menyambut teman-teman Wintry dengan expresi penuh keceriaan seperti adanya sekarang ini. Tanpa adanya kata basa basi, lalu Indry langsung menceritakan kejadian tadi ama Dedy yang tampak duduk diatas lantai halaman depan, dan semua teman Indry tampak disamping kanan kirinya, setara dengan adanya dedy, sedang Wintry tampak masuk kedalam rumah untuk membuat satu ceret sirup dingin, lalu segera kembali bersama chamelan.
“Berawal dari luar pagar sekolah menuju jalan raya, Indry ngendalikan motornya dengan kecepatan 90-100 km/jam, sambil bersial siul, geleng geleng, dan melirik kanan kiri ala Ali topan. Setelah perjalanan ia lewati kurang lebihnya lima sampai delapan menit, tidak jauh dari tatapnya yang mendadak terisi rasa kaget, Indry melihat seorang cowok mengendarai Becak, beserta dua penumpang teman pengemudi itu sendiri.
Supir BMW, alias Becak Merah Warnanya itu tercengang saat mau nyebrang, gemuruh suara motor beserta pengendaranya itu makin terdengar dan tampak jelas akan segera melintasi dirinya, lalu ia pun mulai menatap adanya Indry (si pengendara), berawal dari kejauhan tatapnya tadi. Tatapan sopir becak itu terpaku kearah adanya pengendara motor yang tampak berusaha ngerrem dari kejauhannya, sehingga, setelah Indry melaju pelankan motornya 40 km/h menuju 0 km/h yang terlihat jelas pada jarum speedo, supir becak yang mulai tampak gugup dan panik, melajukan becaknya kembali bergegas ketepian jalan, awal sebelum ia mau nyebrang.
Ya jelas aja Indry juga gugup pas mendadak ngeliat becak yang jauh dari pikirnya untuk menjawab Tanya-nya sendriri; bahwa becak sialan itu akan melaju kearah mana, pasalnya Indry tadi kan juga sibuk lihat kiri kanan bersama siulannya, dan tersentak setelah melihat adanya itu. Kalau Indry bantingkan setter motornya kearah kanan, Pickup yang lagi muat sayur itu pasti akan menabrak dirinya, dalam Sikontrolnya. untung saja si supir becak itu mendadak tersentak saat Indry membunyikan Klacsound bersama teriak histerisnya, ala Jungle dalam serial unyil, masalahnya rem motornya tidak semakan yang ia bayangkan. Dengan terpaksa, Indry tabrak ekor becak itu seiring kedua penumpang becak itu melompat untuk selamatkan dirinya masing-masing.”
“Hahaha..., hahaha!!!” Dedy termasuk semua teman Wintry tertawa terpingkal-pingkal, bak kesurupan Saiyton nir rojim. Setelah mendengar dan melihat seluruh ekpresi Indry yang tampak arogan dalam cerita, Wintry tertawa sampai-sampai air matanya keluar, dan satu persatu diantara mereka bergantian masuk kedalam kamar mandi untuk pipish!. Tapi, mereka semua pada kembali keposisi semula, dan Indry lanjutkan isi cerita yang belum juga puas iya paparkan; “Udah tahu mereka duluan yang salah, masih nggak ngaku, hiiy..., eh, mala Makhluk yang nyupir becak itu duluan yang omeli aku,” lanjut Indry dengan ekpresi menggemaskan, yang tampak pada jemarinya tergenggam emosi.
“Udah udah udah…..! tak perlu kamu sesali kejadian tadi.” Jelas Dedy melepaskan tawanya sambil meletakkan ponsel disaku bajunya. “Ndry yang salah itu kamu,” lanjut Dedy. “Loh, kamu kok masih nyalahkan aku juga sich Ded,” Indry melotot lebar, dan bibirnya menipis rapat setelahnya. “ Hmm` Ya jelas-jelas ajalah Ndry…! coba kamu nggak lambat pulangnya, dan kaga` ngebut-ngebut dijalanan, kan nggak bakalan begini jadinya, hm?” Dedy langsung meninggalkan mereka keruang tengah, lalu mereka semuapun menuju taman belakang, sedang Indry masih aja uring-uringan.
Win, coba kamu lihat, Indry mau ngapain tu,” sahut Novi beserta lirikan mata genit. “Wiiii`!” Wintry mendadak kaget melihat Indry naik batang jambu yang letaknya tidak terlalu jauh dari kolam. Batang jambu itu tak terlalu tinggi dan memang mudah untuk dinaiki lantaran banyak cabang rantingnya yang kokoh.
Begitu asyiknya Indry di atas batang jambu itu sambil llu menghilangkan ingata-ingatannya pada kejadian tadi, ia melahap buah yang sudah banyak ia petik, lalu dimasukkanya kedalam kantong plastik. “Indry...kamu mau ngapaen...di atas sana, hem!? ayyo Ndry lekas turun, entar kalau kamu jatuh kaga ada Asuransi untukmu loooh, patah kaki baru tahu rasa lo,” teriak Wintry dari pondok, “Iya Ndry, buruan kesini, ni Wintry sudah sajikan kentang goreng buat kita, kamu mau nggak….,” sambung Gina dengan suara lemmesnya. “Ini cewek ganjen banget sich!!!!!!!” gerutu Indry.
Mendengar suara mereka yang sangat jelas terdengar hingga dalam rumah, Dedy periksa keadaan melalui jendela kamar, setelah melihat adanya Indri diluar sana, ia tambah terbahak dibuatnya, lalu kualahan untuk menilai adanya Indry.
Sembari tampak turun dari pohon jambu setelah berhasil melupakan kejadian tadi, tapi rasa nyeri dibagian lengan kanannya tak jua hilang, dan iapun tak jua memberi tahu adanya rasa itu pada semua temannya. “Hmmm, wena’e rek, kalian mau!?” Langkahnya menuju arah pondok dengan penuh buah di kantong plastik yang ia pegang dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya tetap meraih buah untuk ia lahap yang entah sudah berapa banyak. “Mau dong Ndry...,” jawab Novi langsung meraih jambu itu dari tangan Indry yang baru aja hendak ia lahap. “Aku juga,” sambung Gina.” Kalian semua kayak anak kecil ajach yah!?” jelas Wintry sambil melahap kentang goreng.” Yee...namanya juga anak-anak Win..!” sahut Gina kerutkan pipi, hingga matanya agak sedikit sipit. “Hem` anak-anak apa lu!!!? kamu tuch udah layak punya banyak anak Gin….,” jelas Indry bikin semua tertawa, sedang gina tetap ajah cuek, dengan masa bodohnya, ia tampak emosi melahap tu buah setelah si Indry masih cengengesan sindir dirinya, lalu berkata; “Hmm` tumben kamu ngomong lu ama aku Dry, bahasa apaan tuch,” Gina tampak sinis seiring bibirnya yang mengapit. Tapi walau ia berusaha tampakkan amarahnya lewat seluruh bahasa ronanya, malah semua teman menilai dirinya tambah lucu. “Gaul dikit ngapa si nyong…. Monyong,” lanjut Indry moyongkan bibir, dan mengangkat tangannya kepinggulnya. “Woy Ndry, lu tu Goa disana gelap, dan lu tu kelelawar artinya Ndryyyy!” lanjut gina sambil tertawa.
“ Oh iya Win, kita-kita boleh tahu isi surat dari Bima kaga, hem!?” Novi penuh ekpresi rayu, yang tampak setelah ia meraih kedua pundak Wintry dengan kedua tangannya, lalu memijatnya. Tapi Wintry tampak mengelak, saat Novi tampak kegatelan, karena, makin lama ia mijat, dengan perasaan halus lembut dan saking dalemnya tu perasaan, kedua tangannya makin menurun ke area pegunungan, dengan matanya yang terpejam, dan Wintrypun langsung teriak; “Hoyyy! Kamu mau ngapain sich, kayak nggak ada kerjaan laen,” Wintry langsung berdiri dan perbaiki penampang gunungnya, yang baru ajah Novi apa apakan. “Hehehe….!” Tawa Novi belagak pilun, tapi ia hanya sekedar humor buat semua teman yang nyata-nyata sekarang pada terpingkal pingkal dengan tawanya. Tapi tetap berusaha untuk membuat Wintry mau ngasih tahu apa itu isi surat, dan kedua temannya pun ikut-ikutan sambil lalu ngu-nyah kentang, seperti embeeek. Sambil ngunyah Indry sambung kata Wintry; “Iya Nov…., kamu mau ngapain,” Indry. “Kawin ajalah Nov, biar kellar urusan,” sambung Gina dengan suara helap-nya. “Ihhhhh, kalau aku kawin sekarang tuch yah, masih panjang ayatnya tau…..!” tegas Novi, lalu melangkah menuju kolam, dan melekatkan tatapnya kearah patung anak kecil lagi pipis.
Setelah menimang nimang kata tanyanya sendiri, dan rasa ingin tahunya yang membumbung tinggi akan sesudah surat yang masih ia kantongi itu terbaca nanti, apa yang harus ia lakukan setelahnya, lalu menurutnya, tanpa bapak, serta teman, dirinya tak biasa berbuat apa-apa untuk mengambil ketentuan sikap. Akhirnya, semua teman ia panggil, dan duduk di atas hamparan tikar pondok, lalu isi surat itu mereka baca bersama, penuh keseriusan.
***** For You; My heart *****
K@lau bukan karena sang ombak
tak mungkinlah batu karang terukir rapi nan indah
K@lau bukan karena sang rembulan
tak mungkinlah burung camar menjerit riang ditepi samudra
Dan
K@lau bukan karena rasa cintaku padamu
tak mungkinlah lembaran ini akan hadir di haribaanmu
Wintry!!!
Tatkala sang Dewa Matahari tinggalkan gerbong cakrawala, kutatap
Megah mengukir Nirwana dan perlahan jiwaku kelam seiring dengan
Sunyinya malam ini, malam semakin sunyi semua jiwa terlelap dalam mimpi
Sejenak jiwaku tersentak, teringat akan tajamnya tatap matamu yang mampu
Menggores hatiku
Wintry, maukah kamu membantu aku untuk kali ini saja? Maukah kamu
Membalut goresan hatiku dengan satu kata ucapmu;, bahwasannya kamu mau
Menerima cintaku? Dan, maukah kamu menjawabnya atas nuranimu?
Wintry!
sebelum kertas ini kamu perkas, lalu membuangnya ke tong sampah
Aku
Hanya
ingin jawaban pastimu
“Uwauu...puitis banget..!!!” desah Novi penuh kecentilan. Wintry tampak malu-malu untuk membacanya yang kedua kali didepan mereka semua. Walau jelas jelas tahu dan mengerti apa maksud adanya surat yang ia baca, dirinya tak mampu untuk memberi keputusan, walaupun hatinya akan menjawab “Iya” sebelum Zakaria tahu tentang adanya ini, karena inilah prinsip, dan tentunya Zakaria akan memberi masukan terbaik jika memang hal inilah yang terbaik untuk penilaian anaknya; atas nama cinta yang bertujuan seperti apa yang pernah Zakaria ceritakan waktu lalu.
Nah, nyatanya, Zakaria juga mendukung adanya isi cerita Wintry, dan ini terjadi setelah Zakaria nampak hadir dipondok itu, selepas surat itu usai mereka baca, dan kebiasaan Wintry curhat ama sang bapak, ia terjemahkan detik ini juga, walau semua teman masih tampak disampingnya. Tapi Zakaria malah tambah senang, apabila Wintry beserta semua temannya, akan mengerti dan memahami apa makna cinta bagi seorang pelajar, Zakaria menjawab; “jadikanlah cinta-cintamu sebuah motifasi atas statusmu. Setelah kamu mendapatkan cintanya, atau dia mendapatkan cintamu, jadikanlah itu sebuah penyemangat adamu untuk meraih sebuah cita-cita. Maka, berlomba-lombalah kalian semua untuk meraih nilai semua mata pelajran sekolah, dan berlombalah kalian juga untuk meraih nama kebanggaan atas adanya cintamu yang tlah terujud percintaan kasih sepasang pelajar” ujar Zakaria tampak serius dengan semua indranya yang seirama dengan katanya. Indry, Novi dan Gina, nampak tercengang melihat dan mendengar apa-apa yang dikatakan Zakaria. Menurut mereka, sangat-sangatlah jarang mereka jumpai seorang bapak dekat ama kepribadian anaknya, dan akur untuk menterjemahkan kata Tanya jawab isi hati antara anak dan orang tua. Tapi inilah realita seorang Wintry yang selalu curhat kepada sang bapak, dan inilah pedoman Wintry untuk menghadapi hari esok setelah apa-apa yang terjadi padanya kemarin hari ini dan hari esok dirinya akan berbuat, setelah nasehat ia dapatkan.
Dari awal tatap, Wintry sudah mampu menterjemahkan adanya expresi Bima, bahwa; dia memang suka ama dirinya, namun Wintry masih menimang-nimang kata Tanya hatinya untuk ia jawab sendiri; “Jika memang benar Bima suka kepadaku, cinta padaku, dan inginkan aku, kenapa dia kagak terus terang padaku?” kata hati Wintry kemarin. Tapi, dengan inilah akhirnya Bima nyatakan isi hatinya untuk menjawab kata Tanya hati Wintry yang selalu saja begitu setelah berulang kali jumpa tatapnya usai. Walaupun hanya melalui selembar kertas, tapi Wintry cukup puas dengan kata tanyanya yang telah terujud kata jawab.
Indry, Novi dan Gina tampak terkesima pada Zakaria saat memberi saran tadi; Zakaria memberi saran agar Wintry membalas adanya isi surat dari bima itu, dan tunjukkanlah sedikit rasa hormat atas jerih payah Bima menulis kata-kata yang sudah Wintry baca, karena menurutnya, kata itu adalah kata hati, dan tidaklah semudah yang kita bayangkan - orang mampu menyusun kalimat kalimat hati yang hanya tersaji untuk hati.
Tak lama dari tiga buah lahapan jambu yang Gina bantai, Zakaria tampak melintas dengan gunting pangkas ditangannya, lalu dengan kata yang sedikit agak keras ia berkata dari kejauhan mereka; “Win, sebaiknya kamu bilang ama Bima, jika dia benar-benar mencintai kamu, sayang kamu, setidaknya dia harus mengatakannya langsung padamu, karena cinta bukan berdasarkan kata hati di atas kertas, walaupun itu adalah kata hati, dan alangkah baiknya…, jika kata hati Bima itu dikatakan langsung padamu tanpa adanya perantara seperti adanya isi kertas yang kamu pegang itu Win,” katanya membuat Indry dan semua geleng-gelng, angguk-angguk dan “Iya Win, bettul itu,” sambung Indry. hingga saking seriusnya gina mendengar adanya kata Zakaria tadi, bibirnya tergigit oleh giginya sendiri saat ia bantai jambu dengan taringnya. Seolah tak ada apa-apa yang terjadi padanya, walau bibirnya terasa pedih, ia sambung kata Indry’ “Kalau, seandainya, misalnya dan umpama si Bima yang kita maksud ungkapkan kata hatinya langsung pada Wintry pak?” gina langsung meraih tisyu, dan disapukannya kebibirnya. “Itu baru namanya Bima of Gentle Man, gimana dekkk!!? Tanya Zakaria, semuanya langsung menjawab dengan tepuk tangan. Teman-teman Wintry penuh kesan melihat akurnya anak dan bapak, hingga mereka semua merasa cemburu pada Wintry, maksudnya untuk dimanja Bonyoknya juga. “Loh gin, bibirmu kamu…, bibir kamu kenapa Gin, ko` ampe berdarah…..!?” Tanya Indry sok tercengang. “Ahhh kaga kenapa-kenapa…!” jawab Gina yang juga sok tak kenapa-napa. “Lantas! Siapa yang nyipok bibir kamu ampe berdarah gitu Gin….!? Sambung Novi. “Jambu,” singkat Novi. “Wadduh Gin…..! cob, coba kamu cermin duluh deh, dan berkaca, lalu… coba lihat Gin, bibir kamu…, bibir kamu bengkak Gin,” sok panik Indry takut takuti Gina, lalu sambung Novi yang ikut ikutan; “Iya Gin, kayaknya kamu harus dioprasi dech Gin,” sambil tertawa, Novi julurkan cermin “Oprasi, oprasi apa!?” lanjut Indry yang tambah panik. “Plastik!” singkat Novi berdesah genit ketelinga Gina.
Untuk menghindari tawa mereka semua, Gina berteriak sapa Dedy yang baru ajah nampak keluar dari pintu dapur, “Mas….!’ Tunggu, Gina menghampiri dedy, dan tinggalkan mereka semua yang masih tak meu henti menertawakannya.
“Hm` tumben kamu bilang mas,” Tanya Dedy. “Mas jawa kan mahal mas,” jawab Gina. “Hm`!” desah Dedy, lalu duduk diatas batu-batuan samping bunga palem. “Mas, kenapa lesuh gitu sihhh,” Tanya Gina bak merayu arjunanya. “Rencanaku batal,” jawabnya sambil menghentakkan tangannya keujung bunga asoka. “Apa mas, bantal!?” Tanya Gina sambil melotot, dan hal ini malah membuat Dedy tambah Bt. Tanpa basa-basi, ia tinggalin tu Cewx ke garasi, lalu pergi dengan mobilnya. “Kasian deh lu………, Goa disana kan gelap,” teriak Indry pada Gina dari pondok. “Ihhhh,” emosi Gina hampiri mereka bak pendekar, lalu sesampai pada mereka, ia meraih jambu, dan digigitnya bak macan terkam si malang.
Ternyata, rencana pangeran untuk menjumpai sang permaisuri yang sudah dua bulan tak saling jumpa tatap ini terpaksa ia undur, hal inipun tanpa sepengetahuan sang permaisuri. Zakaria mendadak tugaskan Dedy untuk mengkawal beberapa anak buah Zakaria yang berkerja di depot, sekaligus mendekor bunga-bunga untuk acara pesta pernikahan yang berlangsung di Banyuwangi (Situbondo bagian timur). acara ini berkemungkinan besar akan berlangsung selama satu sampai dua hari.
Tanpa ia sadari, selama kepergiannya mendekor, Ponsel Dedy ketinggalan di rumah, dan iapun tak memikirkan hal itu sebelum keberangkatannya. So pasti, selama itu juga dia nggak saling kontak ama tu cewek yang pastinya penuh dengan tanda tanya atas kehadiran sang pangeran yang hingga saat ini tak kunjung datang.
Tiga hari berikutnya
“O iya Win, kamu nggak mau ngasih sesuatu untuk kakak-mu Awank, hem?” tanya Zakaria. “Emangnya aku mau ngasih apa pak? Dan kok tumben sich Pak,” Wintry melotot kaget dengan expresi manjanya. “E e eh..., Awank entar sore kan udah mau balik,” jelas Zakaria. “Ap ap apa pak...! mau ba a lik, balik kemana lagi pak? kan dia belum 100% sehat, entar gimana jadinya,” Wintry nampak tak setuju pendapat Zakaria, dan dadanya terasa berdetak rasa kaget. “ Win, Awank kan sudah sepuluh bulan ada disini, dan kita semua disini sudah berusaha keras untuk menterapi dia, tapi nampaknya walaupun tidak 100% dia berubah, diakan udah dewasa, ya kita doakan sajalah mudah-mudahan kali ini… dia mau berubah,” serius Zakaria memberi pengertian Wintry. “Lantas, dia mau pulang kemana lagi, sebenarnya Awank masih kuliah nggak sih pak, kok kaga` jelas ujung pangkalnya,” Wintry tampak ngotot, sedikit rasa kesal lantaran Awank yang sudah banyak habisnya akan beaya kul-nya, tapi seperti yang Wintry lihat hingga saat inilah hasilnya.
“Sudahlah Win, kamu jangan mikir kakakmu yang macam-macam, dia mau kuliah lagi atau nggak sudah bukan urusan kita lagi Win, tentunya dia harus berpikir dewasa bukan, kita nggak bisa maksa kehendak orang setelah berulang kali kita memberi pengarahan padanya agar lanjutkan kuliahnya lagi, eh` dia-nya…. malah lebih memilih tinggal di Villa kita, dan setiap kali bapak bahas tentang ada masalah apa dia di bandung ko` sampai sampai jadi begini, eh dia-nya malah ngelantur kaga` karuan, dan biarkan sajalah win….! yang penting ini semua bukan salah bapak termasuk kamu dan semua yang ada dirumah ini,” jelas Zakaria sambil meraih pakan ikan dalam kantong plastik, lalu ditaburkannya ke kolam.
“Pak, aku sudah siap. Dan sekalian mau pamit,” sahut Dedy menghampiri Zakaria. Awank mulai tampak rapi dengan kostum yang Dedy belikan semalam, langkahnya menuju Zakaria yang masih bertahan di areal pondok. Wintry bersama tiga orang temannya pun mulai tercengang melihatnya, dari tadi mereka semua tampak asik ngerjakan tugas PPKN di bawah pondok.
“Pak apakah saya cocok mengenakan jass ini?” tanya Awank tingkahnya seperti anak kecil. “Bagus, dan cukup modis buat seorang Biolis seperti kamu, gimana Win?” Zakaria lempar tatap pada Wintry yang juga penuh kesan melihat perubahan Awank yang drastis berubah. “Kamu kerren banget Wank, dan inilah yang aku inginkan dari dulu untuk kakak tercintaku. Mereka semua tampak melangkah menuju garasi untuk mengantarkan Awank. Semua alat musik yang tadinya tampak menyempiti ruang kamar Awank itu sudah seminggu yang lalu dihantar oleh ketiga anak buah zakaria ke Villanya, sekalian menjemput bunga-bunga pesanan di tempat Klien.
“Wank berusahalah untuk belajar dewasa ya,” sahut Zakaria dengan sebatang rokok yang baru dinyalakan.” “Akukan udah dewasa pak,” jawab Awank, lalu meraih satu batang rokok. “Hm` dewasa itu adalah sikap Wank, sikap setelah berpikir,” jelas Zakaria sambil membalikkan badannya, dan menatap bunga mawar, lalu melanjutkan katanya dengan gambaran-gambaran kata contoh; “Wank, orang yang sudah punya banyak anak ajah belum tentu dikatakan dirinya adalah dewasa, dimana dia telah bingung untuk menilai antara adanya hak, dan kewajibannya sebagai orang tua, dan diluar kesadarannya telah terpilah adanya status, lalu, aku sendiri bingung; apakah hak menjadi suatu kewajiban, atau kewajiban sebagai hak dibalik kesibukannya” lanjut Zakaria tampak tatap wajah mengambang. “Trus pak,” sambung Wintry, “Yahhh, kadangkala orang tua lupa dengan anak-anaknya ketika dirinya berada dikantor misalnya, ruang pertemuan misalnya,yang mungkin, lantaran itu semua adalah uang baginya, sedang dirumah, semua anak hanyala sebatas kasih seorang baby suster yang mempunyai prinsip berdasarkan setatus, hingga kelak sianak besar, dunia luar rumah adalah pendidikan kasih atas selama adanya. Kadang pula, saking sayangnya pada si anak, orang tua menuruti, serta memenuhi segala apa yang dibutuhkan sianak, tanpa tahu kebutuhan itu akan berakibat apa setelah penghujung ceritanya { anak yang butuh orang tua atau orang tua yang butuh anak }.” Lanjut Zakaria, dan kembali pada adanya Awank; “mengerti kamu Wank, itu contoh salah satu contoh untuk kamu yang pastinya nanti bakalan jadi seorang bapak,” “Tangkap pak,” singkat Awank langsung masuk kedalam mobilnya, lalu duduk diam hanya sebatas lirkan tajam. “Hmmm, dewasa itu sendiri apa sipak!?” Tanya Wintry. “Setelah kamu duduk, diam, dan berfikir atas apa yang telah terjadi padamu kemarin, hari ini, dan besok kamu harus berbuat apa setelah berpikir atas adamu, itulah dewasamu untuk mencari tahu jati diri yang kan berdiri atas nama baik adamu esok dan nanti,” jelas Zakaria yang berusaha sindir adanya Awank.
Wintry mulai terlihat murung, dan bersedih lantaran Awank akan pergi dari dirinya lagi, dan entah untuk berapa lama. Masalahnya ia merasa dalam kecemasan, lalu takut; bahwa nanti akan terjadi apa-apa lagi dengan diri Awank yang menurutnya belum seratus persen sikap Awank kembali, seperti sebelum dirinya kuliah dulu, dan pikiran-pikiran ini selalu hadir dalam dirinya.
“Ded! berapa hari kamu di Malang, hem?” Tanya Wintry sambil mencubit. “Ya tergantung,” singkat dedy. “Tergantung apa!?” Wintry kembali tanya sambil melotot. “Tergantung ama yang digantung kali Win….!” Serak serak Gina sambil menatap dedy. ‘Apa yang digantung Gin….!!?” sambung Indry sambil serius baca buku. “Ya anunya, hahahha,” jelas Gina. “Udah udah aku serius nich,” Wintry marahin mereka semua, lalu kembali bertanya; “Berapa hari Ded!?” Wintry siapkan tangannya untuk mencubit mereka semua, jika ada yang motong bcaranya lagi. “Yang pasti, aku akan temui gadisku dulu, hehehe...” Dedy cubit hidung Wintry dengan kedua jemarinya, sedang gina nampak salah tingkah dengan rasa cemburunya.
“Sudah…, buruan, entar keburu malam dijalan, “lanjut Zakaria, sembari kembali melangkah menuju ruang belakang setelah Dedy dan Awank tampak mencium tangannya. “Hati-hati mas...!!!” teriak ketiga kawan Wintry setelah mobil itu keluar dari pintu pagar.
Win, aku mau pulang dulu yach, besok kita jumpa lagi di lapangan basket sekolah, ok!” tegas Indry setelah mencium gemmas pipi Wintry. “Aku juga Win,” lanjut Novi pada Wintry yang tampak mengusap usap pipinya, dan tampakkan marah-nya lewat ekpresi ronanya, sedang Novi tampak ngotot sambil kedap kedipkan matanya. “Ayo...mau ngapain, hem? Tak tonjok baru tahu rasa lu, “jelas Wintry setelah melihat ekpresi Novi mau ikut-ikutan adanya Indry yang telah berhasil mencuri pipinya pas saat Wintry lengah tatap, lalu bibir Novi yang tampak monyong, mendadak kembali asal setelah Wintry menghentakkan katanya. “iya iya iya dech!!! aku nggak jadi ngessun kamu….., dan aku juga tahu ko` kan khusus buat Bima,” lanjut Novi, “he he he...berani kamu ya, ngomong gitu,” Wintry kejar Novi hingga ketaman belakang, lalu berhasil ia cubit setelah Gina terkapar gara-gara tersandung kucing yang baru ajah tampak melintas tepat dikakinya.
Ketiga motor itu sudah distarter oleh masing-masing pengendaranya, lalu serempak meluncur setelah variasi kata ucap pamit terlontar. Sembari Wintry menuju kamarnya, dan membaringkan tubuhnya diatas dipan, lalu dibacanya surat Bima berulangkali. Tapi ia tetap menimang-nimang adanya isi surat yang menurutnya masih belum jelas kepastiannya, dan iapun belum juga puas dengan adanya kebenaran isi surat sebelum Bima mau berkata langsung padanya.
BAB DUA PULUH DUA
PENUH JIWA
Satu pertiga malamku
Tiga Mata terbuka saat terpejam
Kosong pikir Satu pusat hati meruang pinta
Jiwa penuh
Hening malam
Ku undang lentera hidup menjadi cahaya jiwaku
Lalu
Aku pesankan Cahaya pada pengrajin semesta
Agar detik ini juga Ia mengirimku
tangan, kaki dan mata kandil untuk menuntunku kearah penyatuan jiwaku dengan Sang kasih
Serah
Serah serahkanku pada makna Kasih
Agar aku lebih mengertia apa itu arti
Hidup, kehidupan
Dan
Menghidupi
Lalu
Kubiarkan keheningan itu akan berbicara sendiri selepas
Satu pertiga malamku
Adalah
Do`a
Buku itu ia tutup setelah dibacanya dari halaman pertama, dan dimasukkannya kedalam tas, lalu dipangkunya. Matanya terpejam, bibirnya tersenyum sinis, lalu terbawa arus dengan mengingat ngingat sejumlah kata yang telah ia tulis dari awal lembar halaman. Seolah-olah kata telah menjelajahi nada dibalik pejaman matanya, dan gerakan-gerakan kaki kanannya yang tampak tersandang oleh kaki kirinya, menandakan gerakan itu seirama dengan adanya tempo khayal nada katalimat hati.
Mendadak ia tersentak, hingga semua ingatan-ingatan itu telah buyar lantaran Dedy berkata dengan suara yang sepontan nyaring; “Nah, Wank kita sudah sampai di Villa kita, itu dia tempatnya, “Dedy melirikkan matanya ke arah Vila dari dalam mobil, lalu membuka seper empat kaca jendelanya. Tapi Awank tak bisa melihat apa-apa selain lambaian ranting terhempas angin dan cahaya langit yang terculut titik merah cahaya Towwer. Perlahan mobil itu memasuki areal Villanya, dan cahaya lampu mobilnya mulai tampak terangi bagian-bagian tubuh Villa.
Setelah mobil berhenti, tepat didepan villanya, sembari melangkah pasti ke pintu utama Villa dan lampu mobil itu sengaja tidak Dedy padamkan sebelum dirinya masuk kedalam Villa, lalu menyalakan semua lampu. Awank tampak mengikuti Dedy dari belakang sambil menghembuskan nafasnya keras-keras setelah melihat ranting jatuh terhempas angin, tepat didepannya sebelum langkahnya. “Wank aku mau matikan lampu mobil dulu, kamu tunggu aja disini,” sahut Dedy setelah semua lampu Villa sudah tampak menyala, dan semua tiray ia buka.
Dalam penerawangan tatap sinis yang menipiskan bibirnya, ia tengah melirik kesetiap titik adanya isi ruangan, lalu iapun tampak menikmati adanya suasana. Sejenak untuk hari ini, esok dan selanjutnya, ia bakalan merasa damai apabila dirinya memang harus tinggal disini, di tempat yang ia pijak detik ini, bahkan untuk selama-lamanya. Sembari tampak melangkahkan kaki menuju ruang-ruang Villa, lalu kembali nikmati tatap adanya alam sekitar luar villa, dari balik jendela ruang tengah yang tampak terbuka lebar.
Angin mulai menerjang tirai-tirai jendela, dan cukup segar baginya apabila udara luar menyelubungi ruang-ruang. Dedy nampak melangkah kedalam kamar dengan membawa serta semua barang-barang yang baru aja ia ambil dari bagasi mobil. Dia nampak semangat mengumpulkan semua barang yang tak terpakai lagi lalu dibakarnya di halaman belakang, sedangkan Awank masih sibuk dengan biolanya yang baru aja ia raih dalam peti, lalu menggesekkannya setelah dirinya duduk diantara sela kusen jendela yang pintunya tampak terbuka lebar, dan kakinya yang tampak menggantung, digoyangkannya sesuai irama dawai. Cukup asyik bila dilihat, dan cukup merdu pula bila di dengar adanya dawai yang mendawaikan suasana malam, lalu iapun menikmati adanya Bulan separuh-kan cahaya ranting mahoni, tapi sejenak, angin membesarkan kecepatannya yang ber arah, hingga ranting-ranting mengeliakkan lentera sang bulan.
Pagi ini cukup cerah, tanpa terasa olehnya kalau semalaman Dedy bersih-bersih seluruh ruang-ruang kabin hingga menjelang subuh telah usai. Kini ia masih tampak terlelap dalam mimpinya dan mendadak ia tersentak setelah matahari itu menikam dirinya dengan cahayanya, karena semalaman jendela itu terbuka lebar, “Huaayyy..,” ia mulai menguap seiring rentangan tangannya yang tampak mengeliak, matanya mulai terasa silau.
“ Coba kamu rasakan dulu masakanku ini Ded,” Awank menjulurkan menu pagi yang tersaji sepesial untuk Dedy yang masih tampak asyik duduk di kursi ruang tengah sambil baca buku Astronomi, lalu ia menginginkan dirinya dapat sarapan bersama nikmatnya suasana. Setelah ia letakkan bukunya dimeja, ia meraih sepiring nasi goring, lengkap dengan kerupuk udang di atasnya.
“Makasih ya wank, masakanmu enak bwangets…, tapi…., tapi agak keasinan,” jelas Dedy setelah tiga sendok suapan. “Well..!” Singkat Awank langsung menyeduh segelas air. “Well, Wel apaan..?” Tanya Dedy sambil ngunyah. “Ah, enggak…., maksudku Weleh weleh….. masa` sided, masakanku kamu bilang asin!? Aku ajah kaga ngerasa keasinan.” Awank pelototkan mata setelah katanya. “Katanya sihhhh, kalau seorang cowok pas lagi masak, dan hasil masakannya keasinan akan… akan….!” Dedy nampak menahan tawa sebelum katanya usai, sedang Awank ikut-ikutan menahan tawa tanpa tau apa yang akan Dedy katakan selanjutnya, karena ia cukup melihat adanya rona yang Dedy terapkan satu kalimat tanda Tanya buat seorang Awank. “Wank, setelah aku merasakan hasil karya masakanmu, aku sudah pasti bisa menilai kamu…, kamu…,” terbata-bata-nya kata Dedy semakin buat Awank penasaran, lalu ia pototong bicara Dedy dengan kalimat; “Kamu ini kenapa sihhhhh…!” ia mencengkram kepala Dedy, lalu di elus eluskannya dengan jemari kirinya, sedang tangan kanannya masih tampak mencengkram piring. “Kamu kebbelet kawin yah Wank,” jelas Dedy langsung berdiri, lalu berlari seketika Awank tampak melotot dan melepaskan tawa. “Hahaha…., kamu ini ada ada ajah Ded, kawin apa nikah….!?” Jelas Awank. “Yah…. Terserah kamu, kawin dulu baruh nikah…. Atau nikah dulu baru kawin… atau kalau nggak… yah dikawinin ajah…….hahahaha….iya kan Wank!? Bettul apa benar Wank…!? Hahaha… pasti jawabannya benar itu betul yah Wank!? Atau kalau ngak… benar betulan,” Dedy tak jua henti dengan tawanya, hingga ia meraih perutnya dengan kedua tangannya, lalu kembali duduk disamping Awank yang juga tampak terpingkal pingkal.
Mereka berdua tlah tenggelam dalam tawa, hingga cahaya matahari yang tampak tembus dari balik tirai jendela menikam cermin, lalu, putaran jarum panjang yang tengah berputar diantara jam dinding, berada tepat pada posisi vertical selepas Awank buka semua tirai. Tapi perlahan kabut itu luntur seketika tatap menantang cahaya panas.
“Wank, tolong antar aku ke Terminal Landong Sari, yah, aku harus segera temui yayangku dulu sebelum aku balik ke Situbundo,” jelas Dedy sambil mengenakan busana yang baru ia beli semalam. “Oke dech, atau kalau enggak, kamu bawa ajach mobil itu kenapa sich,” Awank tampak mencorongkan bibirnya kearah cermin, dan disitu ia melihat adanya Dedy yang tampak bolak balikkan badannya, lalu bergaya dengan parfum Gatsby yang ia semprotkan ke bajunya. “Enggak Wank, mobil ini sudah menjadi milik kamu, karena kamu sudah berusaha untuk merubah sikap seperti apa yang bapak tuturkan padamu kemarin itu. Selama kamu tinggal dirumah ini, Semoga kamu tambah dan selalu bertambah Berpikir dewasa beriring langkamu jelajahi hari-harimu Wank,” ia langsung melemparkan kunci mobilnya pada Awank yang masih tampak tercengang, dan menatap dirinya sendiri di hadapan cermin selepas Dedy nyerocos dengan katanya, lalu beranjak keluar rumah. Tapi ia mendadak tersentak kaget selepas Dedy berteriak panggil sapa Awank, dan iapun langsung petikkan jempol, lalu ditiupkannya dirinya sendiri lewat bayangan cermin, dan bergegas hampiri dedy yang telah siap didalam mobil.
Perlahan matanya menyipit, bibirnya terkatup kerut pipinya, lalu ia nyalakan mesin mobil. Tak ada kata yang akan Awank ucapkan, selain menimang-nimang kata, atas apa yang dedy utarakan tadi. Tapi Dedy tak menilai adanya itu, karena dirinya lebih focus memikirkan tentang sang Permaisuri, lalu iapun mulai mengatur konsep kata bersama sikapnya nanti, setelah tatap berawal kata pertemuan lama tak bersuo. Tapi sekejap ia terlelap, selepas kaca terbuka separuh, lalu anginpun berhasil membelai rambutnya hingga kusut.
Perlahan Mobil itu berhenti, persis disamping pintu pagar rumah Fany, lalu iapun ikut-ikutan pejamkan matanya selepas Cd-nya “Bond” ia putar. Sembari Satpam tampak menuju mobil yang menurutnya tampak mengganggu pemandangan pagar rumah, dan berkemungkinan akan membuat kesulitan kendaraan berikutnya untuk melintas masuk pagar rumah. Tok tok tok…., satpam itu tampak mengetok pintu kanan mobil, lalu mereka berdua yang baru ajah tampak lelap terbangun akan adanya suara ketokan berikut katanya si satpam; “Maaf, tolon parkir mobilnya agak jauh dikit,” si satpam merundukkan badannya dan menyodorkan mukanya kekaca yang tampak terbuka separuh. “Ok!” tegas Awank, dan satpam-pun kembali kepos jaga, terlihat dikanan, tepat setelah melintas masuk pagar. “Huchhhhh!” desah Awank kencang-kencang sambil menyisir rambutnya kebelakang dengan kedua tangannya, dan disandarkannya ke setir mobil. “Loh, Wank, kita uda nyampai dimana? Bukankah aku tadi mintanya diantar sampai terminal ajach, ini kita udah dimana, Wank!!?” Tanya Dedy sambil pelototkan mata, lalu melirak lirik kanan kiri. “Rumah gadismu.” Singkat Awank sambil merebahkan kepalanya di setir. “Wau….., dari mana kamu tahu alamat ini Wank?” Tanya Dedy langsung membuka pintu, dan melangkah ke arah belakang mobil sambil menatap tingginya rumah Fany yang terpagari pohon-pohon kerdil, setelah melintas tatap pagar. Tapi sejenak pikirannya kacau setelah satpam itu nampak curiga dengan gerak-gerik Dedy yang nyata-nyata tampak kebingungan. “Wank, dari mana kamu tahu alamat Fany?, akukan kaga pernah menceritakan hal ini ama kamu.” Ia menghampiri Awank yang kepalanya masih terpangku setir, lalu kembali meliri kearah pos jaga, adanya satpam yang tak pernah lengah memperhatikan dirinya. “Tuch,” singkat Awank setelah mengangkat kepalanya, dan melirikkan matanya kearah kartu nama Fany yang tampak di kursi, tempat Dedy tadi duduk. Tapi ia baru merasa, bahwa sebelum mobil melaju,
Ia berhasil melintasi pintu pagar itu setelah cukup lama menjalani introgasi satpam itu cerewet banget hingga ia pun harus mengeluarkan jurus kibal-kibulnya dan iapun berhasil untuk melanjutkan langkahnya hingga pintu masuk rumah Fany. “Teeeet...teeet,” ia meraih bel rumah itu dan langsung memencetnya. Sosok perempuan setengah baya menyambutnya setelah pintu rumah itu terbuka lebar, “Emmm maaf Te, Faninya ada Tante? Tanya Dedy sambil menggaruk-garuk kepalanya, “Dek, Fani-nya udah tiga hari ini ada dirumah Kakeknya, kalau boleh tante tahu adek ini siapa? Dan dari mana ya? Basa basi tante semakin membuat diri Dedy bahwa ia adalah ujian yang kedua setelah lulus dari pertanyaan satpam. Dan iapun terpaksa berdakwah kembali untuk menjelaskan pertanyaan dari ceramah si Tante. Tante juga menceritakan kalau dirinya ad; mama Fany dan Dedy mulai potong bicara tante. “Te, kalau boleh saya tahu, kenapa ponsel Fany kaga pernah aktif ya? Dan rumah kakek si Fany itu dimana sih Te? Jelas Dedy langsung mengahampiri Tante setelah bangkit dari tempat duduknya, ia mulai tampak mengexpresikan humornya untuk membuat Tante itu tidak merasa jenuh akan hadirnya. Tante terpaksa menjelaskan semua tanya Dedy lantaran ia berhasil membuat Tante tertawa. “Dek, ponsel Fany kebetulan ketinggalan dan rumah kakek Fany di Jember,” jelas Tante. “Apa ma, eh sory, tante gitu, jadi..., Faninya sekarang di Jember, ya ma? Mata Dedy melotot sambil mengexpresikan wajahnya dan mamanya Fany selalu dibuatnya tertawa. Tante mulai yakin pada Dedy setelah ia benar-benar menjelaskan latar belakang dan asal muasalnya seperti apa yang ia ceritakan, keyakinan Tantepun mulai bertambah saat Dedy memberikan kartu namanya.” Makasih te, mungkin kalau aku masih sempat nanti malam saya akan datangi rumah kakeknya Fany ini dan kalau tidak mungkin besok pagi Te,” jelas Dedy setelah Tante memberikan alamat kakek Fany padanya. Tante memang sengaja membuat Dedy penasaran akan perbuatannya yang bertele-tele dan ternyata mama Fany itu sudah tahu pasti tahu jelas siapa Dedy. Ternyata ia baru tahu bahwa yang namanya Dedy itu ini orangnya, Fany cerita banyak tentang sosok Dedy mulai dari menembak anaknya hingga kini masih terbalut akan balutan cintanya.
“Benar te! Fany sudh banyak cerita tentang aku? Dari berapa bulan aku jadian ama Fany Te, baru tiga hari ini aku susah menghubungi dia Te, ia Te terus terang swwer de te kalau aku bohong, aku sendiri berani tu Te apabila Tante mau ngutuk aku sekalipun,” gaya hip hop Dedy mulai mengiringi kalimatnya pada Tante sehingga tante tak kuat menahan tawanya dan Dedy pun mulai tertawa lebar saat melihat mama Fany tampak gembira akan hadirnya (rasa GR Dedy).
“Udah te ya aku balik dulu, entar ke buru malam dan cengngir dech aku bila tak bisa ketemu Fany lagi,” Dedy langsung meraih tangan Tante dan langsung menciumnya.” Mohon do’a restu Te,” lanjut Dedy sambil mengangguk angguk badannya. “Eh tunggu dulu, Tante nitip ponsel ini, kalau ketemu ama Fany tolong kasih ponsel itu padanya ya,” Tante langsung menjulurkan ponsl itu, “Makasih Te makasih, dengan ini aku enggak susah payah lagi menghu\bungi Fany, dan tante juga begitu kan? Dedy kembali menciumi tangan tante lagi, dan tatapannya mendadak kaget saat suami si Tante baru saja tiba bersama Panthernya udah te, aku balik dulu, dada tante,” Dedy langsung berlari keluar pagar. Awank nampak pulas karena terlalu lama menunggu Dedy. “Wank, antarkan aku ke terminal aja ya, biar aku langsung balik ajachlah karena Fany saat ini memang ada di Jember. “Oke deh terserah kamu aja,” suara berat Awank. Entah yang keberapa kali Dedy melakukan ini padanya, dan mobilpun segera nekuncur tanpa adanya rasa kesal Awank.
Mama Fany langsung menyambut suaminya setelah ia nampak turun dari mobilnya, “Siapa itu tadi Ma?” tanya papa sambil membuka sepatu di teras depa. “Paa! Itu orang yang pernah anakmu ceritakan,” jelas Mama langsung menceritakan kejadiannya bersama Dedy tadi pada papanya. Mereka berdua saling tertawa lepas setelah menceritakan kejadian tadi, “ada ada aja anak muda jaman sekarang ya ma.” Iyalah Paa! Namanya juga anak muda, papa sama mama dulu kan juga begitu, hehehe,” suara mama menggelikan papa. “Apa ma? Sahut papa langsung mengapit hidung mama dengan kedua jemarinya. Ach papa ia mulai tampak romantis setelah saling mengarah pandang, bisa jadi ia ingin mengenang masa-masanya. Ternyata asmara itu bukan milik anak muda looooh, hus!
“Wank, aku balik dulu ya, jaga dirimu baik-baik,” sahut Dedy setelah turun dari mobilnya.” Oke Ded kamu juga ya,” Awank mencengkram pundak Dedy. Ia langsung berlari kearah Bus Patas itu setelah berhenti tepat didepannya karena Awank baru aja menyetopnya, “Oke wank aku balik dulu,” oke Ded,” Bus pun langsung melaju tinggalkan Awank selepas Dedy naik dalam Bus itu.
Ternyata Dedy langsung menuju Sitobundo lantaran waktu sudah dipastikan malam ini dirinya tiba ditujuan. Lebih kurang lima jam dia tiba di Situbundo hingga sampai dirumahnya, namun ia mendadak kaget setelah Fany sudah dari kemarin ditemani Wintry dirumahnya. Semua keluarga Dedy sudah banyak tahu perjalanan cinta kasih mereka berdua, Dedy apa kabarmu? Sapa Fany. “Baik, kamu sendiri? Dedy mulai medekati dirinya. Nampaknya Wintry cukup mengerti adanya mereka berdua. Fany dan Dedy mulai tenggelam dalam perjalanan kata asmaranya hingga malam telah larut, Zakaria lekas menyuruh Wintry untuk mengajak Fany tidur karena menurutnya hal ini tak baik jika mereka teruskan dan Wintry sendiri besok akan sekolah.
“Dek, embak sekalian mau pamit, makasih yach atas semuanya,” jels Fany sambil meraih punak Wintry. “Mbak, kapan-kapan kesini lagi yach, entar aku undang lagi teman-temanku semua ke depot bungaku seperti kemarin,” Wintry nampak feminim dengan expresi beserta katanya. Langkahnya langsung menuju garasi setelah cukup lama berbincang dengan Fany dan ia pun langsung meluncurkan motornya setelah mesinnya ia nyalakan. Dedy tampak merayu bapaknya untuk meminjam mobilnya, namun Zakaria sengaja pura-pura nggak tahu adanya karena sudah lama nggak berguyon dengan Dedy. Zakaria baru mau ngasih kunci mobilnya setelah kata permohonannya ia katakan seiring dengan Fany yang sengaja ia bawa dihadapan sang Bapak, jadi mau tak mau Zakaria memberi kunci mobilnya beserta sedikit uang untuknya mungkin lantaran gengsi sama calon menantunya, itu menurut Dedy ajach yang baru saja ia selipkan dengan katanya.
Bel istirahat telah berbunyi, satu persatu para murid telah keluar dari kelasnya masing-masing. Wintry, Indry, Gina dan Novy pada ngumpul di kantin langganannya nonkrong. Mereka semua masih tampak genit-genit dengan expresinya masing-masing dan hal ini tidak jauh beda dengan rutinitasnya. Sosok Bima mulai tampak dimata Indry, “Hey hey hey..., Coba lihat,” ia langsung berteriak tanpa peduli apa kata orang nanti lantaran mereka semua tak mau menghiraukan apa katanya dari tadi. “Ada apa dry ada apa, hem?” sahut Novi sambil mengayun-ngayunkan pundak Indry dengan kedua tangannya. “kamu kesetanan lagi Ndry,” sambung Gina.” Hiiiich..., Indry mulai mengacak rambutya sendiri sedikit rasa emosi, setelah separuh kata ia berusaha menjelaskannya adanya Bima yang tiba kearahnya di dahului Bima yang saat ini sudah tiba di sini sebelum ia menceritakan adanya itu, “Maaf sebelumnya, saya sudah mengganggu kalian semua,” sahut Bima berkata tegas.” Ach enggak kok, iya kan teman-teman? Genit Indry mengedipkan matanya, Wintry nampak malu setelah Bima menyebarkan senyumannya diantara sorot mata Wintry. “Ada apa emangnya Bim?” tanya Gina. “Emmm aku Cuma mau ngasih ini ama kalian semua,” Bima langsung menjulurkan kartu undangannya setelah mengambilnya di tas pinggangnya, Ia nampak sedikit gauk jika mengenakan tas itu, “Apaan ini Bim,” tanya Wintry langsung menghampirinya. “Saya harap kalian mau datang ke acara Ultah kakakku seperti yang tertera dalam undangan itu,” jela Bima penuh expresi,” Oh iya Win, tolong ini kamu kasih sama kakakmu Dedy dan kalau memang dia sudah punya Some One tolong sekalian ajak dia, karena kebtulan sekali acaranya entar ada bandnya, jadi saya harap dia mau tampilkan aksi biolanya seperti yang saya lihat minggu lalu di rumahmu, oke Win, aku tunggu kalian ya,” Bima langsung tinggalkan mereka semua seiring bel masuk berbunyi.
Berjalan satu semester Bima dan Wintry jadian, namun ia sengaja tak ada kata spesial jika mereka berdua sama-sama jumpa di sekolah, karena terlebih dahulu Wintry katakan bahwa sekolah bukan tempat pacaran kecuali di luar dari itu.
Setiba dirumah, ia tak menemukan dimana Dedy untuk memberi kartu undangan itu, namun undangan itu baru sampai di tangan Dedy setelah dua hari setelah itu, Dedy nampak senang juga untuk mempersiapkan waktu luangnya besok lusa.
Malam mimggu ini mereka tampak siap dengan kostumnya masing-masing dan berkumpul dirumah Wintry, dari tadi sore Fany tiba di rumah Dedy seusai dia jemput. Selepas dari itu mereka semua mulai masuk ke mobil yang nantinya akan dikendarai Dedy dan mobil itu nampak meluncur setelah mereka semua siap dengan posisinya masing-masing. Sepanjang jalan Indry Cs, bergelut sindir Dedy hingga mobil itu nampak goyang lantaran seriusnya mereka, Dedy berusaha hentikan obrolan mereka namun mereka semua tak mau ambil pusing dengan kata-kata itu hingga kini mobil itu tiba dimana acara ulang tahun itu berlangsung. Perlahan mobil memasuki pekarangan parkir yang sudah diatur oleh petugas bagian acara. Bima langsung menghampiri Wintry beserta rombongan setelah turun dari mobilnya dan mereka berempat pun segera tinggalkan Dedy yang masih tampak sibuk mengambil biolanya di bagasi belakang dan Fany pun nampak bersanding mesra bersama Dedy menuju Bima yang tampak mesra bersama Wintry, “Malam Bim,” Dedy langsung mnjulurkan kadonya dan berjabat tangan setelah itu. Tidak lama dari itu pemandu acara memanggil Randy alias kakak bima untuk naik ke atas panggung dan hal ini jelas-jelas membuat hati Indry bersama Novi berdetak tinggi melebihi tingginya orang itu. Ternyata Randy itu adalah si Jungkis pas waktu kejadian tragis bulan-bulan lalu. Novi yang masih tampak di bawah panggung langsung mengelak berbalik arah hingga badannya membentur keras sosok teman jungkis hingga minuman yang masih ia pegang nampak membasahi badannya, dan tak habis pikir olehnya. Sudah tah dia yang salah malah teman jungkis yang jadi onelannya hingga suasana dibuatnya histeris oleh kata judesnya, untung saja Dedy mampu meredakan suasana dan Randi pun langsung menghampiri mereka setelah kata sambut darinya usai diucapkan. Nampaknya Wintry berhasil menenangkan amarah yang selama ini terpendam hingga masing-masing dari mereka mendapat perhatian tatap bersama tutur katanya. Tanpa terasa olehnya kalau acara berlangsung sesuai dengan susunan mata acara. Band itu adalah yang ketujuh dari band-band sebelumnya yang tampil dengan lagunya masing-masing dan kini Bima mempersilahkan Dedy untuk memainkan solo biolanya. Histeris tepuk tangan mulai mengitari alam terbuka saat Dedy mendawaikan biolanya seperti pelajaran Awank yang telah ia berikan padanya waktu itu. Fany tersenyum lebar melihat adanya Dedy yang saat ini nampaknya meresapi adanya hingga instrumennya telah usai, namun para penonton tentu saja belum puas kalau Dedy hanya memainkan satu lagu saja terlebih lagi si Fany. Ia merasa bangga memiliki cowok seperti Dedy, selain ia romantis ia juga perhatian padanya dan selalu memotifasikan adanya karier yang selalu ia impikan.
Bim, bisakah kamu bantu aku?” sahut Dedy setelah memainkan tiga buah judul lagunya. “Bantu apa mas?” tanya Bima. “Emm..., bisakah kamu antarkan adik-adikku pulang dengan selamat selepas acara ini,” jelas Dedy langsung meraih pundak Bima.”Emangnya mas mau kemana dan kenapa tidak pulang setelah acaranya usai? Bima melepaskan tangan Dedy yang masih melekat dipundaknya. “Bim, aku ada masalah yang harus aku selesaikan bersama Fany, kamu mengerti kan Bim? Dan aku minta tolong kau jaga adik-adikku baik-baik ya Bim, karena dia adalah adik cewekku satu-satunya di dunia ini,” Dedy nampak expresif dengan kata-katanya. “Baik, mas saya mengerti semua itu dan kalau itu yang mas mau, baiklah, tapi hati-hati ya mas,” Bima menatap Dedy seperti apa yang Dedy lakukan padanya. Fany yang nampak disampingnya merasakan sesuatu apa yang Dedy rasakan. Mereka berdua langsung meninggalkan Wintry bersama Indry Cs setelah berpamitan.
Mobil itu nampak melaju ke arah pasir putih dengan kecepatan 60 sampai 80 km/jam, dan mereka berdua nampak membisu hingga tiba ditujuan. Disinilah tempat dimana mereka berdua berkenalan hingga jadian, Dedy mulai tampak lesu setelah kata-kata Indry tadi pagi meyakinkan untuk kata-katanya, sebenarnya Fany mengatakan apa sich?
“Dedy aku gagal, “singkat Fany setelah begitu lama bosan melihat Dedy membisu, “Kenapa harus gagal?” suara berat Dedy setelah menyalakan rokoknya.”Karena expresi kamu sudah menjelaskan bahwa kamu tidak setuju, kalau aku pergi jauh darimu, “Fany nampak terbata dengan kata expresiya diraihnya hamparan rambutnya sediri dan dibelainya dengan tingkah lesunya. ”Siapa bilang, fhuchhh...” singkat Dedy langsung menghembuskan keras-keras asap rokok dari multnya,” aku malah setuju jika kamu harus pergi, tapi bukan berarti kamu pergi tinggalkan rasa hatiku dan hatiku malah merasa senang jika kamu selalu merindui adanya aku seperti adanya kamu,” Dedy tak tampak seperti biasanya dengan expresikan yang ia peragakan itu. Minggu depan Fany harus pergi ke Paris guna melanjutkan studynya dan hal itu memang cita-citanya dari SMP dulu selaindari itu papanya terlanjur menyetujui adanya Fany waktu itu hingga sekarang. Mau tak mau Fany harus berangkat minggu depan karena orang tuanya sudah terlanjur pesan tiket bulan lalu seiring mengurus pasport dan lain-lain untuk memudahkan keberangkatannya dan hal ini baru Fany tahu setelah tiket itu usai papanya beli dua minggu setelahnya. Mungkin hal ini yang membuat Dedy begitu, apalagi Fany memberi tahu dia sekarang yang sudah pasti membuat Dedy kaget dengan adanya kepastian ini.
“Fan!, aku ingin kamu menyatakan semua impian kamu, dan berangktlakh atas nama cintamu padaku dan jika memang hatimu benar-benar cinta aku maka berangkatlah sesuai cita mimpimu, aku hanya ingin melihat kamu sukses dan tunjukkanlah pada dunia bahwa wanita juga punya nyali untuk mengaharumkan nama bangsanya,” Dedy mulai tampakkan expresi romannya tanpa melihat Fany yang saat ini lagi mengalikan air matanya.” Fan aku inginkan kamu suatu saat nanti bisa melahirka teqnologi karena aku yakin kamu pasti bisa seperti apa yang pernah kamu lihat. Fan, kamu dengar apa kataku?” Dedy mulai hampiri Fany dan perlahan mengangkat dagunya, “ Akan aku usahakan apa yang kamu katakan itu bisa terwujud, karena cintamu juga membangkitkan kemajuan aku demi masa depanku. “Aku cinta kamu Ded, ia langsung berlari ke pelukan Dedy dengan air mata yang dasari katanya. “Fan, menanngislah fan, menangislah selagi kamu masih bisa menangis, aku juga cinta kamu Fan dan aku tak mau jauh-jauh darimu,” penuh mesra Dedy membelai rambut Fany. Mereka berdua masih tampak bertahan dalam ertanya pelukan masing-masing beserta sejumlah kata ungkapnya, “Dedy, maukah kamu berjanji padaku,” perlahan ia lepas dari pelukannya dan tanpa kedip ia menatap mata Dedy yang kini tampak memerah dengan sedikit getaran. “Berjanji apa Fan,” ia meraih sepasang pundak Fany dan mengangkat dagu Fany yang kini nampak tak tahan menerima tatap Dedy, yang tentu pasti penuh kesan.” Dedy, maukah kamu pertahankan cintamu untukku, “Dedy mulai semayamkan senyumnya dengan tatapny,” karena aku yakin Ded, bahwa mencari cinta sejati itu sulit, namun mempertahankan cinta sejati itu sendiri lebih sulit,” lanjut Fany mulai deraskan air matanya hingga sepasang pipinya nampak merah selain dari lingkaran matanya. Dedy langsung peluk Fany erat-erat seolah ia tidak ingin lepas dari pandangannya.” Iya Fan, aku akan pertahankan cintaku untukmu dan aku salut dengan kata-kata mu baruan,” sahut Dedy langsung melepaskan pelukkannya, dan ia menyuruh Fany untuk menengadah ke langit yang penuh dengan pijar juta bintang.” Fan, kamu ingat kan apa kataku dulu, bahwa cinta sejati pasti betahan jika kita sehati,” Tatap mereka berdua masih bertahan ke angkasa dan nampak jelas oleh tatap mereka berdua bahwa baru saja bintang jatuh seiring kata Dedy barusan usai. Mereka berdua amat kompak menyebut nama antara mereka berdua, Dedy apa yang kamu minta setelah melihat itu, hm? Tanya Fany, setelah berebut kata untuk siapa duluan ngomong. “Fan satu yang aku inginkan dari mu dan coba kamu lihat satu diantara juta bintang itu Fan. Dedy menjulurkan telunjuknya kehamparan langit, begitu pula Fany sudah meraih satu bintang untuk jawaban Dedy, bintang itu tampak dekat dengan bulan diantara bintang yang lain, “Fan, aku inginkan semua bintang dan aku ingin kamu seperti bintang itu,” jelas Dedy setelah Fany menjawabnya. “kenapa?” singkat Fany. “kamu tidak akan kemana-mana tapi ada di mana-mana, seperti bintang itu, sebaliknya aku. Jika suatu saat nanti kita memang berada jauh, namun bintang itu adalah kita,” ia mengarahkan tatapnya ke bintang itu. “Maksudmu apa?” singkat Fany dengan wajah bengongnya. “ini PR untukmu, karena malam sudah larut oleh pandangan kita dan sebaiknya kita pulang,” Dedy langsung merangkulu tangan Fany.
Ia mulai melangkah kaki beratnya menuju mobilnya dan iapun segera pulang karena malam tidak saja melarutkan adanya, tapi juga melarutkan rasa yang mereka berdu rasakan detik ini. Mobilnya terpaksa ia parkir di luar pagar untuk sementara waktu karena dua mobil nampak berbaris di depan garasinya, nampaknya Bima bersama kakaknya lagi asyik ngobrol di taman belakang. Dan alangkah cepatnya waktu yang dengan keajaiban rasa bisa mengakurkan Indry bersama Randy karena saat ini ia nampak mesra.
Wintry nampak aneh setelah melihat expresi Dedy dan Fany yang tidak biasanya begii, namun ia berusaha menghiburnya dengan sejumlah jagung yang baru saja ia panggang setelah mengajak Fany ikut serta. Sedangkan Dedy berusaha untuk menyembunyikan rasa dibalik expresinya. Randy nampak harmonis setelah menyuapi Indry dengan jagung yang baru saja ia panggang bersama, sebaiknya pasangan-pasangan yang lain terlebih lagi si Wintry ia tanpa segan sama Dedy melakukan hal yang sama, tetapi ia semua menjaga dirinya masing-masing. Tepat jam tiga mereka semua membubarkan diri, Bima bersama kakak dan temannya meninggalkan pasangannya masing-masing setelah kata mesra terakhir terucap, sedangkan Dedy menguatkan dirinya untuk mengantar Fany pulang dan hal ini membuat Wintry semakin heran.
Sepanjang jalan Fany lelap dalam tidurnya, namun Dedy tetap srius mengendalikan setir mobilnya dan iapun cukup menikmati wajah ayunya Fany saat terlelap dan setelah bangun dari tidurnya barulah ia merasakan kemurnian cantik si Fany selepas itu dan tanpa terasa oleh Fany kalau ia telah sampai di depan pagar rumahnya selama perjalanan kurang lebih tiga jam, “Fan minggu depan aku akan kesini lagi sekarang sebaiknya kamu pulang,” Jelas Dedy masih bertahan dalam mobilnya. Tadinya ia tak mau mampir kerumah Fany, namun setelah ia menarik-narik tangannya dan memaksanya untuk mampir akhirnya dia mau juga, dan sekarang ia sedang berhadapan dengan Papa Mamanya Fany. Mereka berdua sudah tahu jelas siapa Dedy lantaran Fany yang selalu curhat setiap saat dan mereka berduapun merestui hubungan ini.
“Dedy, sudah tahukah kamu kalau minggu depan si Fany harus berangkat ke Paris, hem? Tegas papa setelah minuman baru saja Fany buatkan. “Tau om,” singkat Dedy.” Lantas apa penilaianmu dengan adanya ini” lanjut mama yang nampak mempertahankan tawanya setelah melihat expresikan Dedy yang selalu membuat dirinya begitu. Saya sangat mendukung banget om dan saya memang inginkan itu,” tegas Dedy, nampaknya ia berikir jauh lebih panjang bahwa papa mama Fany ini lagi nguji. “Alasannya?” singkat papa “karena saatnya bagi Fany untuk tunjukkan pada dunia bahwa wanita juga punya nyali dan wanita juga bisa menjadi pemimpin dalam melahirkan teknologi,” Dedy mulai sok jadi pak guru dengan expresinya yang semakin membuat sang mama tak bisa menahan tawanya. Panjang lebar kata Dedy merasa terintrogasi oleh mereka berdua, namun ia tak habis kata untuk menjawab semuanya hingga saatnya ia memang harus kembali pulang karena rasa kantuk mulai tampak hadir.

BAB DUA PULUH TIGA

Wintry, Bima dan Indry Cs bersama pasangannya nampak haru mendengar kisah cinta Dedy yang saat ini berlangsung di taman belakang. Dedy menceritakan kisah cintanya, terlebih lagi kisah Awank yang saat ini kabarnya tak jelas lagi pada merela semua sekaligus mengadakan acara bakar-bakar ikan ditaman ini, dan mereka semua tampak hiburi Dedy dan Wintry dengan gitar bersama nyanyiannya semua sahabat. “Mas, kita semua pada ngerti dan merasakan apa yang mas Dedy rasakan saat ini,” tutur Randy, dari tadi ia memang menghibur dirinya dengan usaha kata. “Iya mas,” sahut Bima dengan kalimat yang sama. Dedy hanya bisa tersenyum atas semua kalimat para sahabat dan ia cukup merasakan hal ini.
Begitu cepatnya waktu, karena putaran bumi yang tak pernah absen menggantikan setiap musim alam bahkan jiwa. Dan hari esok adalah hari minggu dimana Fany memang hrus pergi dan kini acara yang sama terulang kembali seperti acara bakar-bakar ikan minggu lalu, malam ini mereka tampak hiburi Dedy kembali, namun tak dapat mereka semua pungkiri bahwa kekuatan cinta terletak pada jiwa-jiwa yang sama dan disanalah sang cinta bersemayam. Dan setelah mereka bertanya dengan jawaban pastimu saya sendiri tak bisa membayangkan, bayangan siapa yang harus kupilih? “seandainya kamu harus memilih, kamu milih cinta seorang sahabat, apa cinta seorang kekasih?”
Dedy nampak terjaga dari lelapnya sebelum ayam berkokok dan sejumlah kicau burung dalam sangkar itu berteriak. Ternyata semua teman Wintry terbangun lebih dulu dari dia dan mereka semua nampak menyemangatkan Dedy untuk menemui Fany yang terakhir kali ini. Tadinya mereka semua ingin ikut serta mendampingi Dedy hingga tujua, namun Dedy tak mau merepotkan semuanya. Starlet itu milik Bima, ia sengaja meminjamkan mobilnya pada Dedy tanpa ia minta karena mobil itu sudah ia stel balap hingga kecepatannya sudah ia atur sesuai dengan setelannya. Mereka semua tampak mengantarkan Dedy ke garasi depan hingga starletpun melaju kencang setelah itu. Rupanya mereka sudah nampak siap untuk meluncur dengan kendaraannya masing-masing setelah Dedy pergi, Wintry bersama Indry Cs langsung keluar dari rumahnya dengan kostum rapinya dan iapun mengikuti jejak teman Dedy pergi lantaran Wintry tahu jelas dimana alamat Fany.
Cukup lama untuk seorang Fany menunggu Prono Cintanya, karena tiga jam lagi ia harus segera berangkat ke bandara Juanda. Dian dan Cindy tak habis-habisnya merayu Fany untuk sabar menunggu kedatangan Dedy, sedangkan mama dan papanya mulai tadi memperhatikan kesetiaan anaknya terhadap kekasihnya dari balik jendela kamar. Cindy dan Dian sudah tahu jelas perjalanan cinta Fany, karena mereka semua adalah teman curhatnya. Ditaman depan itu Fany nampak mondar-mandir dengan remas jemari tangannya menunggu Dedy karena dua jam lagi waktu yang hanya ia punya.
Ternyata di daerah Lawang, mobilnya mengalami kecelakaan bannya pecah. Dan menurutnya, hal ini adalah sejarah yang paling buruk untuk ia lewati, diraihnya peralatan lengkapnya setelah ban serep itu ia ambil dari bawah mobil di antara sisi tengki benin. Namun waktu tetaplah waktu dan waktu itu sendiri membuat keringat Dedy membasah penuh bajunya, untungnya lima belas menit telah berlalu dan ia pun belum usai menggantikan ban itu. Melintas dengan kecepatan tinggi tiba-tiba terhenti lantaran adanya Dedy, mobil itu berehnti tepat di depan starlet itu. Bima dan Wintry baeu saja turun dari mobilnya tanpa sepengetahuan Dedy yang saat nampak sibuk dengan adanya. “Kapan lagi..., kamu mau temui Fany Ded, “sahut Wintry dan tak lama kemudian Indry Cs beserta pasangannya tiba dan suasana pun tambah ribut apa lagi kalau si Indry sudah ngomong, huiiii pokoknya ribet dech, “Mas sebaiknya tinggalkan aja mobil ini dan bawalah mobilku, biar ini kamu yang urus oke? sahut Randy langsung menjulurkan kunci mobil-nya, “Oke dech, makasih banyak ya shobat,” Dedy menerima konci mobil itu dan segera melanjutkan perjalanannya walaupun tak sempat lagi membersihkan sedikit oli dirona mukanya.
“Udah lah, saya yakin bahwa si Dedy pasti datang kok,” sahut Dian sambil merangkul pundaknya. “Iya fan, kamu kamu harus tahan emosimu dulu,” sanbung Cindy yang dari tadi nampak mengekori arah Fany yang tak juga menemui arah tujuan henti.” Iya iya tapi kapan? Setengah jam lagi aku kan harus cabut,” jelas Fany dengan gerak-gerik tangannya dan sejenak ia sempatkan untuk menyapu keringat dengan lengan bajunya sedikit agak emosi. “Fan, setengah jam lagi kita berangkat, ayolah persiapkan dirimu,” sahut papa dariu luar pintu, ia penuh kesan melihat adanya Fany yang dari tadi masih bertahan begitu.
Sang sopir sudah tampak sibuk memasukkan sebagian koper-koper ke bagasi mobilnya dan itu berarti ia segera berangkat setelah semua tampak siap. Perlahan papa dan mamanya masuk ke dalam ruang mobil belakang, sedangkan Fany nampak duduk berdekatan dengan kedua temannya diruang belakang hingga mobilpun melaju dengan kecepatan tinggi setelah nampak keluar dari ruas jalan sepi. Sepanjang jalan Fany menangisi akan tak adanya dedy di masa-masanya ini, namun papa, mama dan kedua teman Fany tak henti-hentinya menghibur.
Sesaat kemudian, mobil Dedy berhenti tepat didepan pagar rumah Fany, namun satpam itu telah menjelaskan kalau baru lima belas menit Fany dan keluarganya berangkat. Bima bersama rombongan baru saja berhenti setelah Dedy menyalakan mobilnya, namun mobil itu nampak padam setelah mereka semua berteriak kencang panggil nama Dedy, Dedy pun mendadak keluar dari mobilnya dan meghampiri mereka semua. Ternyata Dedy terpaksa ikut serta mereka dalam satu mobil untuk mengejar Fany. Dalam pikirnya selain menjaga-jaga adanya hal seperti adany hal-hal kecil seperti di daerah Lawang tadi, juga irit tenaga. Satu mobil itu nampak penuh oleh rombongan layak-nya angkot. Mulai tadi, si Indry Cs, bergelut dengan sikap kecentilannya seperti biasa, hingga sedikit membuat Dedy nampak bingung. Berkali-kali Indry Cs berusaha hentikan gurauannya tapi tak ia hiraukan juga, karena ia lebih senang dari sebelumnya. Tanpa pikir panjang lagi, Dedy melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi dan barulah Indry Cs mendadak diam tanpa kata.
Apa yang saat ini Fany rasakan juga terasa oleh Dedy sepanjang jalan, hingga kini Fany sudah nampak tiba di areal Juanda setelah melintasi tulisan selamat datang itu. Kaki fany terasa berat untuk melangkahkan kakinya keundak-undak menuju ruang tunggu itu, tanpa harus malu pada semua orang kalau dirinya saat ini menangisi Dedy yang belum juga hadir. Beberapa menit kemudian, Dedy nampak lari sekuat tenaga setelah turun dari mobilnya, hingga pintu mobilnya tak ia tutup kembali. Sesaat Fany akan melangkah keruang tunggu utama, teriak Dedy mampu memalingkan mukanya kearah teriak bersuanya itu dan iapun sama-sama berlari hampiri adanya masing-masing dengan rentangan tangannya, seperti bak kepakkan sayap cintanya menuju satu mata sumbu jalinan kasih. Papa dan Mama Fany tersenyum lebar melihat adanya itu, lebih-lebih lagi semua diantaranya yang nampak agak jauh darinya. “Dedd, Ded kamu kok lambat sich datangnya,” Fany nampak tersenyum dalam tangis setelah melihat sejumlah oli yang mengotori wajahnya. “ Fan, aku, akuuu aku emm...,” ia nampak grogi untuk menjelaskan semuanya, karena menurutnya Fany juga tak akan percaya, namun Fany sudah bisa membaca adanya Dedy setelah melihat oli di wajahnya, dan diraihnya sapu tangannya dari tas yang ia sandang dan disapukannya ke wajah kotor Dedy sangat perlahan. “Fan, ingatlah selalu pada bintang, disaat kau merindukan aku, dan yakinkan bahwa kamu harus sukses,” Dedy langsung mengeratkan pelukan Fany setelah ia melakukannya terlebih dahulu. “Oh iya Ded, PR yang kau berikan padaku kemarin belum bisa aku jawab kini, maukah kau bantu aku untuk jawab isi PR mu itu Ded?” Wajah Fany semakin tampak merah dan air matanya nampak deras tanpa adanya badai pemisah untuk peluk erat-eratnya, karena cinta adalah penangkal badai-badai itu dam bonyoknya pun ikut mengerti adanya mereka berdua. “Fan kamu pasti ingat bukan, saat aku katakan padamu bahwa kamu tidak akan kemana-mana tetapi ada dimana-mana, Fan! Pastikan ini terjadi padamu atas seluruh karya yang kamu miliki. Maka berusahalah sebisamu, agar suatu saat nanti kamu bisa juga jadi pemimpin dan tunjukkan pada dunia bahwa kamu punya nyali ,” jelas Dedy sambil menyapu air matanya beserta belai mesranya. Setelah begitu lama mendengar apa yang Dedy katakan pada anaknya, Mama peuh kesan untuk mencerna makna cinta yang Dedy wujudkan pada anaknya, walaupun hanya sepintas ia dengar bersama suaminya agak jauh dari mereka. Ia langsung menarik halus tangan Fany setelah operator mengaba-abakan untuk seluruh penumpang karena pesawat segera meluncur ke Paris bersama Om-nya, dan Om-nya itu bekerja disalah satu perusahaan di Paris dan disanalah si Fany akan melanjutkan studynya. Sengaja ia berangkat duluan ke bandara lantaran banyak urusan lain yang harus dipenuhi. Perlahan pelukannya lepas, tangannya sedikit bergetar mengiringi getaran mata dan detak nadinya. Langkah Fany mengiringi tangis menuju pintu masuk utama menuju pesawat. Sesaat kemudian, teriak panggil namanya berhasil langkahnya, kemudian Dedy kembali berteriak dan berlari menghampirinya. Tatap mata Fany kini tak kosong lagi, karena ia juga berlari menghampiri adanya Dedy hingga disatu titik tempat dan ia semakin perkuat peluk eratnya. “Fan, Fan aku tak bisa hidup tanpa cita selain cinta cintamu,” Jels Dedy dengan ngos-ngosannya sambil mencium rambut, pipi, dam ronanya. “Aku juga Ded serak-serak Fany, hingga tak terasa, beberapa gulungan kertas yang masih Dedy pegang terjatuh dan ini dirasakan oleh Fany. “Apa ini Ded? Tanya Fany setelah meraih kertas-kertas yang masih tergulung rapi. “Fan ini untukmu dan semua jawaban PR yang hingga kini belum kau jawab ada dalam lembaran ini. Sesaat Fany ingin ungkapkan sesuatu padanya, namun ia harus menjelaskannya dengan lambaian tangan dengan iringan langkah menuju pesawat.
Tangan Dedy nampak menempel diluar hamparan kaca jendela, ia berusaha meraih tatap Fany bersama lambaian tangannya. Penuh haru, tatap Dedy yang dari tadi nampak terpaku pada sosok Fany walau tatapan itu tak menampakkan adanya Fany lagi, karena saat ini Fany menjelajahi tangga pesawat dengan adanya rasa yang tak jauh berbeda dengan apa yang saat ini Dedy rasakan. Pesawat itu sudah mulai meluncur dengan gemuruh histerisnya menembus seluruh awan, yang penuh bentuk lukisan-lukisan sesuai makna jiwa yang menjiwai adanya.
Sesaat kemudian, Bima dan Wintry berusaha ajak Dedy kembali kemobilnya setelah Papa Mama beserta kedua teman Fany pamit pulang duluan. Tadinya kedua teman Fany ini pengen banyak cerita ama Dedy, namun Papa dan Mama Fany tergesa-gesa untuk pulang, setelah menerima panggilan dari saudaranya yang tidak begitu jauh dari wilayah Surabaya kota ini melaui ponselnya. “Oh iya Ded ini dari Fany, tadinya dia pesan ama aku supaya memberikan suratnya ini padamu setelah ia pergi,” jelas Dian langsung memberikan sepucuk amplopnya, “Makasih ya, karena kalianlah yang bisa mengerti aku, “ Suara berart Dedy pada mereka berdua dan mereka berdua pun segera pergi setelah Papa Mama Fany sudah agak jauh dari mereka dengan langkahnya.

BAB DUA PULUH EMPAT

Malam dingin menyelimuti setiap sudut kota Malang, jajaran lampu kota menyinari setiap tinggi rendahnya bangunan, bak langit hitam yang ditaburi bintang-bintang. Sebuah mobil sedan merah telah sampai ditujuan dan perlahan memasuki halaman parkir sebuah bar. Saat pintu mobil terbuka, seorang laki-laki nampak keluar dari dalamnya. Walau hanya diterangi cahaya lampu tamaram cukup terlihat wajahnya yang tampan dipadu dengan sosok badan yang tegap. Melalui pinti tengah mobil nampak dia mengambil sesuatu dan ternyata sebuah biola. Alat musik itu dia sandang dipunggungnya sambil melangkah pasti dia mendekati Bar dengan tulisan terpampang jelas di atas pintu masuknya “Star Bar”.
Seorang penjaga menyambutnya dengan senyum sambil mempersilahkan masuk. Ada secuil kalimat terucap hampir tak terdengar dari penjaga pintu Bar. Terkesan adanya keakraban dari keduanya dan menunjukkan laki-laki itu sudah tak asing lagi baginya. Ketika langkah pertama memasuki ruang Bar, hampir semua mata dalam ruangan memperhatikannya dengan senym diikuti tepuk tangan yang cukup gempita.
Seorang perempuan muda, nampaknya pemandu acara menyambutnya dari atas panggung dengan meminta kepada tamu yang hadir untuk memberikan Aplaus yang lebih meriah lagi.
“Ladies and gentleman” kata pemandu acara, terima kasih atas kehadirannya di arena penuh keceriaan Star Bar, inilah dia orang yang kita tunggu-tunggu sejak tadi...Violis muda, tampan, kreatif dan inovatif....., Mister Awank!” lanjutnya yang kemudian diikuti suaa histeris dalam gemuruh tepuk tangan.
Seperti apa yang dikatakan oleh pemandu acara tadi, Awank memang seorang musicus berbakat. Namanya suadh tak asing lagi di telina orang. Pengurus Bar ini sudah begitu lama menunggu kehadiran Awank untuk mengadakan penampilan solo di tempatnya. Malam ini merupakan kehormatan bagi mereka atas terlaksananya rencana yang dinantikannya. Demikian halnya dengan para tamu dan undangan yang sengaja datang hanya untuk menyaksikan penampilannya.
Penampilan Awank malam ini memang sangat beda dari sebelumnya dan entah bagaimana setelah Awank naik keatas panggung Awank langsung memberi sepatah kata terima kasih yang terucap atas adanya para tamu dan undangan semua yang masih menyambut dengan rasa hormat walaupun kehadirannya sedikit terlambat.
“Malam ini saya akan coba mainkan beberapa instrumen biola, karena selama ini, saya tidak pernah muncul dihadirin semua,” lanjutnya setelah membuka peti biolanya, suara teriak gembira penonton kian keras. Namun diantara kegiatan itu seorang pria setengah baya melontar sepatah kata dari sepasang bibirnya dengan telunjuk mengarah ke pemain biola itu.” Hai...! bung, kalo mau coba-coba jangan di sini, di sini bukan tempat mencoba,” tegas salah satu penonton yang kelihatannya mulai mabuk akan minuman yang dia nikmati. “Bung..! belajarlah untuk menghargai orang yang telah membuat panggung, tempat yang anda pijak saat ini,” lanjutnya sambil mencekik leher gelas, dan diteguknya.
“Terima kasih atas saran bapak, dan ini adalah pelajaran untukku pribadi. Sekali lagi maaf, mungkin karena aku terlalu banyak fikiran,” jelas Awank. “Nah, kalau kamu terlalu bayak pikiran, jangan bawa kesini dong, disini bukan tempat befikir banyak, karena pikiranmu disini harus satu, yaitu tampilkan apa yang kamu mau tampilkan. Makanya lain kali kalau ngomong mesti difikir dahulu engge...end’ooo...,hehehe....!” lanjut pria asing ini sambil meneguk minuman terakhirnya, dan melangkah pasti kearah panggung. Sebagian dari penonton merasa prihatin atas adanya hal ini, dan tetap saja tak sabar untuk melihat aksi biola Awank.
Tanpa basa-basi lagi Awank langsung memainkan instrumen pertamanya yang berjudul “SUNSET”, hampir semua penonton merinding dibuatnya karena mungkin jiwanya sudah terbawa arus oleh setiap gesekan biola yang berdawai itu, dan entah kenapa dengan adanya dawai biola yang mengalun ini, perempuan muda yang masih berada dibelakang panggung, sepasang matanya menatap pemain biola itu tanpa kedip, nampaknya perempuan muda ini hatinya telah tersayat akan dawai biola yang serasa mengiris hatinya. Apa mungkin perempuan yang tadinya hanya pembawa acara ini tertarik akan kemahiran Awank, atau..., apa mungkin karena ia hanya tertarik akan wajah dan penampilannya saja, atau...bisa jadi semuanya itu.
Putaran jam mengiringi alunan nada dari setiap judul yang dia bawa, tarian jemarinya mengitari peradaban tempo nada-nadinya , tatapan matanya selalu menyipitkan hingga mengkerutkan wajahnya dan senyumnya bak merebabkan hati para gadis yang nampak terhipnotis oleh dawai biola itu yang mendesing. Perlahan demi perlahan tempo nada itu semakin tinggi, entah kenapa aksi Awank semakin memanas, atau ini karena ulah dari kririkan bapak asing tadi, karena sepertinya tercengan dibuatnya setelah Awank mengeluarkan semua skill dari sejumlah karya barunya. Pria asing itu nampak berdiri dan bertepuk tangan dengan berselang seling menciptakan gemuruh, setelah hampir lima menit tatapan itu tanpa kedap kedip memata-matai jemari Awank yang menjelajahi nada secara nakal. Semua pengunjungpun ikut ikut ikutan lata, hingga gemuruh tepuk tangan itu mengiringi dawai yang hampir saja usai dimainkan.
Putaran jam tepat pada penghujung acara, namun dengan berakhirnya acara ini para penonton belum juga puas untuk menyaksikan penampilan extranya yang sangat mengesankan, karena hampir satu tahun mereka semua tidak menyaksikan aksi panggungnya. Terlihat jelas dari kejauhan, salah satu penonton cewek ada yang menjatuhkan air matanya tanpa terasa bisa jadi karena ia terlalu menghayati dawai biola itu, atau..., bisa jadi juga karena adanya dawai biola membawa ingatannya menembus masa lalunya, namun waktu tetaplah waktu dan waktu tak pernah ingkar atas peradabannya, layaknya putaran bumi yang tak pernah absen untuk berputar. Sekarang pertunjukan telah usai.
Awank langsung mengucap singkat salam penutup dari sisa kata yang terucap. Taburan bunga nampak terlempar ke atas panggung, karena bunga tak bisa menggapai tangan Awank lantaran banyaknya penonton yang menjulurkan bunga-bunganya itu padanya, namun Awank tetap setia meraih bunga-bunga yang nampak terjatuh itu, karena ia takut cantiknya bunga-bunga itu terpijak sia-sia oleh sejumlah kaki, hingga peti biolanya penuh dengan bunga dan berarah keluar bar. Terlihat jelas seorang pria dengan topi baret hitamya mengikuti langkah Awank dari belakang, pria ini berhasil menghentikan Awank setelah sampai diparkiran, Anak Muda! Sorry yah atas kata-kata ku tadi, mungkin kamu tersinggung atas semua itu, dan saya yakin itu nyata. Tapi hal itu memang harus aku lakukan sebelum kamu ditertawai banyak orang, dan perlu kamu tahu ya anak muda bahwa kita tak kan pernah bisa berkata tanpa kata-kata, tapi...! apa yang aku katakan tadi itu masuk akal bukan?” jelas pria asing ini, Awank hanya bisa diam dan berusaha untuk memahami setiap kata-katanya, karena Awank sudah dapat membaca orang ini pastilah punya jiwa seni. “Anak muda, hal ini terpaksa aku lakukan agar kamu lebih konsisiten untuk bersuara, bermusik dan melangkah, karena itu semua pernuh arti dan...!, itulah sebagian dari catatan sejarah,” dengan kata-kata yang terbata-bata karena sudah bisa dipastikan kondisi pria itu sedikit agak mabuk. Dan juga, nampaknya Awank tambah serius mendengarnya.
“Sekarang, iya sekarang, aku, aku..!!! aku mengacungkan jempol atas imajinasimu dari biola mautmu tadi. Okee..! dan terislah berkarya, selamat malam master...Awank biola maut,” tutur sapa pria misterius ini langsung pergi dari hadapan Awank setelah cerutunya mati di bawah tapak sepatunya. Terlihat jelas kalau jalannya berlenggok-lenggok tak stabil. Awank langsung menghampiri pria asing itu setelah melihat kondisi pria asing itu.
“Hem...pak, pak, bolehkah saya antar pulang,” sapa Awank. “apa...? kamu mau antar saya? Kamu mau antar saya kemana...?” tanya pria itu penuh tawa. “Pak, saya mau antar bapak kerumah bapak tentunya, mari pak nampaknya bapak sudah tidak kuat lagi berjalan,” Awank.
“Nak perlu kamu tahu ya, dikota ini aku nggak punya rumah,” jelas pria itu setelah duduk ditrotoar. “Lantas rumah bapak dimana?” tanya Awank sembari menawarkan rokok. “Hem...kalau kamu mau tahu rumahku, rumahku itu sudah digusur habis oleh jemari-jemari besi,” jelas pria ini membuat Awank semakin bingung, “tadinya sih rumahku hanya memiliki langit-langit kardus yang selalu bersahabat dengan langit lantaran sudah lama tak sirami langit-langitku dan sekarang giliran aku mau tanya sama kamu, seandainya ini terjadi sama kamu, kamu mau tinggal dimana lagi, hem?” alangkah ngenasnya orang yang bernasib seperti aku yach, tapi sudahlah, itulah peraturan yang penuh dengan warna-warni hukum, tapi, tapi kita memang tidak boleh melanggar hukum, agar kita tidak mati terbelenggu oleh hukuman,’ pria itu langsung mengambil kartu namanya,” Oh iya, kenalkan namaku Sastro,” Sastro menjulurkan tangannya begitu pula Awank.” Nama lengkap dan status saya ada di kartu ini, ini bisa kamu simpan dan lain waktu saya harap kamu bisa datang ke tempat kami, ok anak muda, hari sudah hampir subuh, sebaiknya kamu pulang dan tidurlah untuk untuk mengukir mimpi-mimpimu buat hari esok yang pastinya akan lebih baik,” sebelum menuju JAGGUAR-nya ada barisan kata dari Sastro untuk Awank.” Oh ya anak muda perlu kamu ingat kata para orang bijak yang sudah tidak asing lagi untuk didengar, tapi akan menjadi asing jika tidak terwujud. Berpikirlah kamu di waktu pagi, bekerjalah diwaktu siang dan tidurlah di waktu malam, saya yakin kamu memahami itu,” setelah itu Sastro langsung menghidupkan mesin mobilnya dan meluncur kearah selatan.
Awank tampak kaget setelah membaca kartu nama yang baru saja ia baca, ternyata Sastro adalah kolektor sejumlah karya seni dan selain itu juga ia pendiri yayasan anak bangsa penuh kreatifitas. Nampaknya yang di ceritakan Sastro tadi adalah orang-orang yang sedang menyatu di dalam hatinya, ternyata ia juga ikut merasakan betapa sakitnya hati para jiwa yang langit-langitnya tergusur oleh kewajiban dan setelah itu mereka semua tidak mempunyai rute langkah tujuan hidup atas apa dan siapa yang menaunginya, dan entalah, langit apalagi yang menatapi sekalius nasibnya lagi, hanya sejarah yang akan menjadi saksi nyatanya.

BAB TIGA PULUH SATU

Lentera langit tampak cerah malam ini karena bintang-bintang masih bertahan dalam kesetiaannya menemani rembulan. Terlihat jelas, enam orang mendadak berlari setelah gemuruhnya suara gas mobil yang langsung padam. Keenam orang itu bernama Farid, Febrik, Cuking, Imam, Agus dan Rudi, mereka-mereka semua ad; amak buah Albert yang sangat menjunjung tinggi sumpah Mafia karena telah terbukti, saat sebagian personil yang berhasil tertangkap oleh sejumlah pihak yang berwjib itu tidak ada satu orang pun dari mereka yang berani membuka mulutnya untuk mengatakan siapa rekan-rekan dan pimpinan dari aksi gelapnya walaupun harus menjalani siksaan yang makin lama tentunya makin sadis. Mereka semua lebih baik mati daripada menghancurkan temannya sendiri, apalagi saat mereka tertangkap dalam posisi sempit yang pada akhirnya membuat sebagian dari mereka dipastikan tak bisa lagi kabur, bahkan ada yang sempat bunuh diri lantaran posisinya itu. “Daripada aku tertangkap dengan mati konyol, lebih baik aku bunuh diri saja daripada mengonyolkan sumpahku,” menurut mereka-mereka yang telah mati itu. Yang pasti, mereka semua yang sudah mati lantaran terbunuh ataupun di bunuh telah mengatas namakan sumpah jabatan Mafia.
Ternyata, Astrid pernah ikut serta dalam penagkapan atau penembakan pada mereka semua lantara mereka-mereka tetap keras kepala untuk membrontak dan melawan, dalam pikirnya, Astrid juga berkata “Saya melakukan ini atas tugas saya sebagai adanya aku bersama adanya karierku.” Begitu gigihnya Astrid menjalani tugasnya. Astrid sempat menggelengkan kepalanya dengan penuh haru saat melihat sebagian penjahat itu yang pastinya sudah dicap sebagai kelas teri dari induk kakapnya bunuh diri lagi, saat berada dalam sel penjara. “Alangkah tunukknya orang ini pada jabatan yang ia sandang, hingga rela bunuh diri lantaran tak mau mengaku siapa yang menjadi mara dari kunci rantai rekan maupun atasannya”. Penuh rasa tanya dalam benak Astrid, dari mana sebenarnya orang ini mendapatkan racun yang telah ia minum? Apa mungkin di kantongnya sudah tentu siap untuk hal ini? tapi apa mungkin ini akibat dokterin?. Apabila dunia hitam saja menjunjung adanya sumpah jabatannyam apakah aku nyata-nyata hidup di balik dunia itu tak mau menjunjun adanya sumpahku yang menjabati aku? Astrid menjalani tugas-t ugasnya di Kota Malang dan kota-kota lain setelah surat tugas dari atasannya turun. Ia mulai melakukan misi-misinya jauh sebelum mengenal sosok Awank tentunya.
Lamunan Awank mendadak tersentak setelah Febrik segera membukakan pintu mobilnya penuh hormat sambut, “Wank, gimana kabar kamu selama ini, kok enggak pernah telpon sama kita-kita,” ungkap Imam, “Iya Wank, teman-teman di sini khawatir tentang keberadaanmu selama di Malang,” sambung Farid. “Wank, apakah kamu sakit?” lanjut Cuking, “apa kamu punya masalah,” kata Febrik langsung meraih pundak Awank. Awank tampak diam, dan diusapkannya mukanya keras-keras dengan jemari tangannya hingga hidungnya nampak sedikit merah.
“Shobat, aku di Malang baik-baik saja. Saat ini aku lagi ada gangguan rasa,” jelas Awank pada mereka semua. “Rasa apa yang mengganggumu Wank?” tanya Rudi. “Pasti rasa cinta, iyakan Wank?” sambung Imam setelah hembuskan asap rokok dari mulutnya. Semua tampak tertawa lebar setelah mendengar kata-kata iut. Mereka semua tampak melangkah layaknya mengawali Awank menuju Albert yang sudah lama menunggu kedatangan Awank. Hati Awank berdetak tinggi, mungkin lantaran tak pernah menghubungi adanya Gadis beserta Albert yang selama ini berada di Singapura, saat ini kedatangan Albert untuk menjalankan misi barunya.
“Oh iya Wank, tamu kita dari Jepang dan Singapura sudah berada di dalam bersama Bos kita” dan dari tadi sore mereka berlima menunggu kamu,” expresi Rudi membuat diri Awnk nampak grogi. Awank tampak tak banyak bicara, ia lebih suka melihat mereka berenam diam daripada ngomong, tapi Awank tak bisa begitu saja hentikan omongan mereka semua lantara kisah cintanya tak mau terlibat dalam efek yang akan terjadi padanya lantaran Gadis jika sampai mengetahui hal ini. “Wank, sejak Anwar menghubungimu tadi, aku melihat Gadis nampak gelisah setelah menghubungi ponselmu berkali-kali tk aktif,” jelas Imam. Iya Wank, nampaknya Gadis tergila-gila berat ama kamu, kamu layani ajalah dia Wank, tentunya kamu akan lebih terhormat daripada kita-kita,” sambung Cuking setelah menyalakan rokoknya.
Nampaknya Gadis tidak sengaja melihat Awank bersama mereka-mereka semua dari balik jendelanya, ia langsung berlari hampiri Awank. “Wank! buruan dikit, Albert sudah hampir marah karena menunggumu terlalu lama,” dengan sedikit ngos ngosan Gadis berucap. Awank langsung bergegas setelah mendengar kata itu, ia nampak tinggalkan Gadis setelah lama menatap Awank yang tampak tak menerima tatapan itu.
Kelima tamu itu bernama, Hotarogama, Kaimizeta, dan Prof. Zaitawa mereka semua berasal dari Jepang dan bermisi sebagai ilmuan, dan kedua tamu dari Singapura ialah Sani, dan Hasan, mereka memperjual belikan dagangan secara illegal yang berbentuk bermacam-macam tipe atau merek senjata api. Sesampai di depan pintu pertemuan, awank dan ke 6 anak buahnya langsung menyambutnya dengan ucapan selamat datang kepada para tamu setelah berucap kata maaf atas keterlambatannya ia datang dalam acara ini. Tidak lama dari itu, Albert tampak tida dari ruang belakang, “Selamat datang rekan-rekanku semua!” ungkap Albert sambil mengulurkan tangan pada mereka semua secara bergiliran. Keringat dingin Awank mulai tampak embunkan wajahnya ketika Albert merasa cuek sama Awank.
“Awank” ungkap Albert setelah meletakkan kopernya di atas mejanya. Albert langsung memperkenalkan diri Awank kepada para tamu semua penuh kata pujian atas dirinya yang mahir dalam musik. Hati Awank mulai lega setelah begitu lama Albert memuji dirinya pada mereka semua, ia nampak berjabat tangan satu persatu setelah kata itu usai.
Aku Kamizeta dan Prof. Zaitawa telah membawa sejumlah oat kimia dengan peralatan yang lengkap seperti yang kamu pesan. “Tolong periksa dulu Wank” ungkap Zaitawa pada Albert, sambil memberikan sebatang rokok. Namun Albert memasrahkan misi ini sepenuhnya pada Awank hingga Awank pun mendadak kaget setelah Albert panjang lebar menjelaskan kedudukan Awank dalam partainya. Awank memang sudah memahami sejumlah barang yang pastinya sudah pernah ia lewati sebelum misi ketujuh ini berlangsung. Mungkin lantaran Awank selalu nyambung diajak ngomong, dan ingatan ingatan itu selalu tajam lantaran Gadis yang dulunya sering mengasah otaknya walaupun tidak 100% tercuci habis, namun obat yang selalu Gadis berikan membuat Awank tunduk akan kata tuannya.
“Oh iya barang yang sudah tuan-tuan bawa, sekarang ada di mana?” Awank mulai tampak tegas pada Hotarogama setelah Albert menetapkan dirinya sebagai Albert 2, karena semua para tamu baru mengenal sosok Awank. “Siap Bos,” ucap Cuking mulai berubah sikap. “barangnya sudah tersusun rapi di gudang sebelum anda tiba,” lanjutnya penuh hormar. “Sekarang mari kita sama-sama pergi ke gudang tegasnya, Awank langsung menyuruh Febrik untuk membua sejumlah peti-peti. Setelah peti-peti itu nampak terbuka lebar, nampaknya peti itu berisikan berbagai macam zat kimia dan sejumlah peralatan kerjanya.
“Haii…., kamu berempat mau jadi patung yaa,” tegas Awank, mungkin lantaran Albert ada di dekatnya, nampaknya Albert bercumbuh mesrah besama Gadis. “Cepat bantu Febrik membuka peti-peti itu tololl….,” sembari Awank bersama kaki tangannya memarahi mereka semua yang sedang berdiri menatap temannya membuka peti itu. “Siap Bosss!” Ungkap mereka berempat, dan langsung bergegas menuju peti-peti yang berada di sudut gudang. “Naah gitu doong lain kali kamu, kamu dan kamu semua jangan sampai harus menunggu perintah,” lanjut Awank pada mereka semua sambil menghidupkan sebatang rokok yang baru saja ia ambil dari saku jas hitamnya. Albert memang sengaja diam saat sejumlah anak buahnya itu berdiri santai untuk mengetahui seberapa besar tanggung jawab Awank yang saat ini telah jadi pemimpin. Tidak lama kemudian Albert melepaskan pelukan tangan Gadis, sembari langsung membelakangi Awank dengan satu buah agenda kecil yang baru saja ia ambil dari balik jasnya. Tak lama kemudian, “Boss!” jela Imam, “Semua peti sudah dibuka, tolong sekarang Bos periksa, mungkin ada barang yang masih kurang jumlahnya, atau sebaliknya,” sambung Rudi sambil mengarahkan tangannya ke arah peti. Langkah Awank perlahan menuju arah peti hingga hampir tak bersuara. Setelah barang-barang itu sudah jeli Awank periksa, ia langsung mengalihkan pendapat alhasil dari penilaiannya pada Albert, “OK! Barang-barang ini sesuai dengan pesanan saya dan mari kita kembali ke ruang pertemuan”, singkat Albert pada semuanya, dan tak banyak kata lagi dirinya setelah langkahnya kembali menuju ruang pertemuan.
“Bagaimana Wank! sudahkah anda memeriksa semua barang yang kami bawa dengan teliti,” ucap Zaitawa setelah berdiri tegak dengan aba-aba tangannya. “Oke! pesanan Tuan Albert yang kalian bawa sesuai dengan jumlahnya,” jelas Awank membalas expresi itu. Gadis langsung melemparkan kopernya yang tentunya sudah pasti berisikan sejumlah uang ke atas meja yang terarah pada Zaitawa.
“Wank senjata rakitan yang kamu pesan sudah selesai dibuat tolong kamu periksa” jelas Sani “Sudah, sudah, kalian tak perlu berkata itu lagi,” Awank langsung potong bicaranya setelah berdiri dengan penuh expresi . “Aku percaya pada kalian semua, dan sekarang karena waktu sudah mulai tampak lewat pertengahan malam, pertemuan kita lanjutkan besok pagi saja, gimana Tuan Albert dan para hadirin,” jelas Awank layaknya seorang direktur yang lagi meeting. Albert tersenyum lebar melihat cara Awank ini yang begitu bijak melayani para tamunya.
Tidak lama kemudian mereka semua nampak bubar menuju tempat peristirahatan. “Oh iya Zaitawa,” singkat Awank, “kalian semua boleh tidur di wismaku yang berada di kawasan puncak nich kuncinya,” lanjut Awank langsung melemparkan kunci ke arahnya. “Terima kasih Wank,” ungkap Zaitawa. Nampaknya dari tadi Gadis memperhatikan adanya Awank, entoh walaupun mulai dari tadi dirinya berpeluk mesrah bersama Albert, hanya karena terpaksa saja, tapi hatinya selalu tertuju pada Awank.
Bintang-bintang yang tak terhitung oleh setipa telanjaangnya tatap maa menghasilkan jumlah yang tak terhingga dalam angan-angan, namun sejumlah bintang itu selalu nampak laksana Laskar yang selalu setia menemani sang rembulan, dan dengan sejumlah cahanya itu menyinari bumi hingga udara malam mengutus embun menyetubuhi Holdn merah itu yang saat ini di duduki Awank.
Adanya malam ini membawa hati Awank kangen akan kehadiran Astrid di sampingnya, begitu pula halnya Astrid yang malam ini tak juga bisa tidur karena merasa kangen akan hadirnya Awank di sisinya, dari tadi ia nampak gelisah menunggu kapan hadirnya Awank kembali seperti orang gila saja karena dari tadi ia nampak bengong, garuk-garuk kepala dengan adanya rasa kesal rindu yang membaur jadi satu kalimat rasa cinta. Tak lama kemudian, Astrid mendadak tersentak dari senyuman dan pakunya mata setelah ponselnya berbunyi dengan nada gesekan biola yang terekam dari pertunjukan Awank waktu asmaranya kemarin.
“Ciluuk…, Baa…” ucap Awank setelah Astrid mengangkat ponselnya. “Hai Awank!!!” kamu tega banget yaach ninggalin aku sendiri,” suara Astrid nampak lucu jika marah melalui ponselnya. “Sabar yach noon…, Awank akan segera pulang setelah konserku nanti udah selesai, kitakan baru dua hari berpisah, kamu kok udah merasa kangen sich…,” jelas Awank rada-rada memanjakan Astrid. “Hiich…, kamu kok kegeeran gitu, sih Wank,” keras sekali suara Astrid hingga kuping Awank sedikit berdenging setelah mendengar satu kalimat ini. Bukannya kamu yang kangen sama aku, buktinya kamu duluan kan yang call aku,” lanjut Astrid sambil gigit jari dengan kelap kelip matanya. “Ya udah…, Awank ngalah dech…,” dengan napas yang sedikit panjang Awank menjawab kata-kata serak Astrid yang menggemaskan. “Oh iya say, kenapa ya..?” jelas Awank. “Kenapa Wank? singkat Astrid. “Kenapa malam ini aku kangen akan wanginya hitam rambutmu, he he he,” jelas Awank. “Hich, jadi, kamu kangen ama rambutku doangg…?” ungkap Astrid sangat menggemaskan. “iya enggak lah As, aku kangen ama semuanya yang ada dalam dirimu, oh iya As! Sayang dongggg!!, Kamu kan udah lama enggak cayang akuu,” Awank mulai tampak merayu penuh fariasi kata romansnya. “Hem, sorry ya, enggak lagi,” hentakan kata Astrid semakin menggemaskan. “Yang beener nich, kamu enggak mau ngasih? iya dech…, kalau gitu, aku enggak jadi pulang minggu depan ni ceritanya,” ucap Awank sambil sambil merayu. “Em…muach..” Awank mendadak cium bibir Astrid lewat ponselnya setelah astrid tak terdengar lagi. “Iich… Awank jahat, Awank jahat, jahat, jahat, jahat,” ucap Astrid terdengar merengek manja, namun ujung ujungnya Astrid berkata juga, “Awank!!! aku tadi kan belum siap untuk kamu cium,” ucap gelli Astrid. “Oh iya say kamu kok belum tiduur? Besok kamu kesiangan, lagi bangunnya,” tersenyum lebar Awank dengan katanya. “Habissnya kamu telpon aku sich, coba enggak, kan aku udah pasti tidur,” serek-serek Astrid tampak malu. “Ya udah deh…! kalau gitu sekarang kamu bobok yaach, dan bertahanlah dalam kesendirianmu, dan tolong beri aku sambutan khusus untuk kedatanganku, udah dulu ya sayy met bobok cantikkk,” tatap Awank masih tampak terpaku pada tiga bintang yang hampir saja mendekati bulan. Met bobok juga cowok nakal…,” singkat Astrid langsung menutup ponselnya setelah Awank. Astrid sengaja tak memotong kata-kata terakhir Awank tadi karena ingin mendengar romansnya lembut suara Awank yang masih terngiang ditelinganya.
Malam semakin sunyi, semua orang terlelap dalam mimpi hingga mereka berdua pun juga tertidur. Tatkala sang Dewi rembulan tinggalkn gerbong cakrawala menggantikan malamnya pada pagi hingga burung-burung pun berbunyi seiring ayam jantan yang mulai terdengar berokok setelah matahari membuka matanya terawangi bumi dengan sinarnya.

BAB TIGA PULUH DUA
Meja dari kursi pertemuan sudah lengkap diduduki oleh para pengikut rapat, Awank nampak duduk dari kursi yang tidak jauh dari samping Albert yang selalu setia di dampangi Gadis, “Zaitawa! Tahukah kamu, kamu, dan kamu semuanya?” tanya Albert sambil menuding mereka semua dengan matanya. Semua dari mereka hanya bisa menjawab dengan gelengan kepalamya. “Tahukah kalian semua apa rencana dalam misi baruku ini, kalau diantara kalian semua ada yang tahu tolong jawab?” lanjut Albert yang masih tampak membingungkan semuanya. “Tidak Boss! kami semua tidak ada yang tahu apa rencana baru kamu ini,” jelas Zaitawa setelah berdiri hormat. “Kalau boleh saya tahu, apa rencana Tuan sebenarnya,” tegas Awank. Tangan Albert langsung meraih pundak Awank setelah sembari mendekati dirinya, “Rencana saya adalah, akan membuat senjata yang paling dahsyat.” Mendengar kata dahsyat saja mereka semua sudah mulai tercengang dibuatnya, mata Albert nampak tajam saat melepaskan kata-kata sadisnyam dan cerutu itu selalu saja mati ditelapaknya jika kata seriusnya mulai tiba pada puncaknya, “Aku akan membuat senjata yang tidak ada satu orang pun akan tahu selain dari kita semua yang hadir dalam tempat ini,” jelas Albert langsung melepaskan kaca mata hitamnnya. “Senjata yang ingin kubuat ini sangat samar sekali, dan hanya mempunyai satu fungsi, yaitu meng’erorkan daya kinerja otak manusia, lanjut Albert langsung pecahkan gelas dengan genggamannya tanpa terasa. “lantas caranya bagaimana boss,” tanya Sani dan Hasan mengharukan, baru kali ini semua mendengar adanya hal senjata ini. “Caranya ialah, zat zat kimia yang tuan Hotarugama, Kaimizeta dan Zaitawa bawa dari Jepang itu, akanku ramu dengan cipta karya baruku, yaitu pencampuran berbagai zat yang diramu sesuai dengan ukuran, kita campur ke dalam bahan bakar mobil atau kendaraan lainnya, dan asap dari polusi ituh yang membuat di mana rangkaian dari memori dalam otak manusia bisa error,” sinis Albert. “Wah!!! Bagus sekali kedengarannya” ungkap Zaitawa sambil bertepuk tangan hingga semuanya ikut serta.
“Oke, lalu tugas kami apa Bos?” tanya Hasan. “tugas kamu ialah menimbun bahan bakar sebanyak-banyaknya bersama anak buahku Udin, Cuking dan Anwar,” singkat Albert. Dan tugas kamu Zaitawa, temani aku meramu sejumlah bahan kimia ini, dan tugas kalian semua adalah menyebarluaskan Narkoba setelah selesai kuramu,” lanjut Albert langsung mengseketsa rancangan misinya di papan tulis itu. Awank mendadak Albert panggil setelah tampak menuju luar pintu, “Wank, kamu mau ke mana” tegas Albet. Awank pun menjawab dengan suara beratnya, “Tuan, aku mau cari angin segar sebentar.” Mendengar kata ini Albert tertawa lepas, dan memanggilnya kembali untuk duduk. “Wank! malam minggu besok kamu pastikan konser dengan “KURSI BAND, bersama enam orang personil,” singkat Albert. Orang-orang Albert akan menjalankan misinya seiring aksi panggungnya berlangsung, dan jual beli sejumlah jenis narkoba itu akan terjual seperti biasnya.
Hari demi hari telah berlalu konsep rencana, hingga tak terasa olehnya kalau hari ini telah sampai pada malam minggu. Detik ini, Awank menunggu giliran untuk tampil di atas panggung. Berbagai Band yang baru saja tampil itu di antaranya adalah Ska dan berbagai macam aliran musik lainnya. Detik ini para penonton nampak tak sabar untuk menunggu penampilan dan atraksi biola Awank karena penonton sudah tidak asing lagi mendengar nama Awank biola dari radio, dan Awank sering mereka sebut dengan predikat musisi hebat dalam memainkan biola walaupun tidak meluncurkan album, lagu-lagu indi Awank banyak mengiangi sejumlah telinga pencinta musik. Saat ini Gor Saparua Bandung tampak diwarnai sejumlah Band-Band indi berbakat, dan salah satunya mendadal be-te karena pemain biola itu tak kunjung tampil, dan segerombolan arek-arek dari Under Ground tampak hadir bersama wajah peacenya. Tak lama kemudian, Kursi Band menerima panggilan dari salah satu pemandu acara, serentak semua penonton dari berbagai kalangan aliran bertepuk tangan karena sesuai dengan warna musik yang pastinya akan nanti ia bawa.
Awank berbusana vmpir, dan setelah pemandu cara itu memanggil nama Bandnya, ia tampak melompat-lompat ke arah penonton dengan menggendong Biola hitamnya seolah mengartikan keagungan nada dalam konsep kehidupan mistik. Ia langsung mengutarakan kata salam. “Apa kabar semuanya….? Apa kabar arek-arek Bandung…,” teriak Awank setelah menjunjung tinggi biolanya ke arah penonton. “Baiik…!!” semua penonton menjawabnya kompak. “Oke! Terima kasih, cintailah Nada dalam Nadimu kawan, sebelum nadimu mencintai nadi orang lain, okeee! Karena nada nadimu selalu hidup seiring tempo nada hatimu,” teriak Awank. “Black Violin lagu pertama untukmu,” tanpa basa basi lagi Awank langsung memainkan musiknya setelah Febrik sebagai Lead Guitar mengeluarkan sedikit skillnya. Setelah suara histeris Drum itu menggema-gema, Awank mulai tampak mulai mengeluarkan skill Biolanya dengan gya menggigit-gigit Biolanya seperti vampir yang sangat haus oleh darah-darah segar perawan cinta. Para penonton nampak berjingkrak-jingkrak seiring kerasnya warna musik yang mengalun.
Anak buah Awank pun mulai ikut beraksi di bawah panggung bersama misi gelapnya, di antaranya ada yang mengedarkan narkoba, senjata, dan ada yang meletakkan bahan bakara yang telah di ramu oleh kejeniusan otak Awank ke dalam tangki mobil. Semua misi ini dilakukan dengan hasil memuaskan karena tak ada satu orang pun yang mengetahui siapa pelaku dibalik misi gelap ini yang dapat menyebar benih penyakit baru, dan tingklah laku para pelajar yang mempunyai tingkah kebrutalan.
Setelah menjelang lagu terakhir, darinya, “Adakah di antara kalian yang mau naik ke atas panggung, dan menemaniku bernyanyi yang tentunya masih dalam posisi damai, setuju…?” teriak Awank menunjukkan jemarinya ke arah penonton. Hiruk pikuk histeris penonton menjawab tanya Awank dengan rasa kompak.
Salah satu dari mereka yang berhasil naik panggung adalah anak dari “UNDER GROUND” bersama lima personilnya, dengan penampilannya yang uwahh banget, arek-arek underground itu tampak cool abiss gitu loh, walaupun sedikit terkesan mistik dari kostumnya. Wau…, ia jago banget man, setelah guitarisnya menghendel melodinya, dan suara sang vokalis itu nampak menggema taburkan pesona alam mistik, “Hoachhhh….,” serak-serak keras sang vokalis langsung kompakkan musiknya. Awank nampak menginstrumeni musiknya dengan sedikit karakter warna emosi, tarian jemari Awank dalam memainkan biolanya makin lama sangat cepat sehingga aksi para penonton yang berjingkrak-jingkrak makin hots banget, dan semua kalangan pencinta musik yang tampak hadir malam ini mendadak kaget akan adanya Awank yang saat ini nampak berkolaborasi dengan arek-arejk “UNDER GROUND” itu. Kelihatannya memang asyik untuk dilihat, dan cukup merinding bila didengar apalagi saat biola itu mulai mendesing seiring kompaknya masing-masing personil. Expresi dari musik yang Awank mainkan menyuguhkan dunia terpalang yang pastinya dapat meneror para jiwa penikmat adanya, hingga akhirnya dapat membaut para penonton sedikit nampak miris, kaget, muak dan membawa penonton berpikir positif adanya jiwa-jiwa yang pastinya punya kekurangan dari kelebihannya, hingga perjalanan nada itu kini terdengar telah usai seiring kata penutup yang hingga saat ini mnegiangi muskinya.
Awank beserta personil, kini tampak kembali ke tempat semula setelah aksi panggungnya beserta misi bawah panggungnya berjalan dengan mulus, dan kini saatnya untuk Albert menlanjutkan rencana barunya yakni pembagian tugas kepada sejumlah anak buahnya ke berbagai kotam provinsi dan bahkan luar negeri dalam misi illegal.
Hari demi hari telah Awank lalui beserta anak buahnya. Tanpa Awank sadari kalau misi yang Albert konsepkan telah memasuki Kota Malang yakni penyebaran senjata dan obat terlarang itu yang telah dijalani oleh sejumlah orang-orangnya, tidak termasuk Awank, karena hari esok dan entah untuk berapa lama Awank beserta personil di ajak Albert menuju Singapura.

BAB TIGA PULUH TIGA
Saat ini Astrid mendadak mendengar aksi gelap ini yang pastinya akan terus-terusan berlangsung jika hal ini tidak cepat ditangani. Detik ini Astrid mulai beriaksi, dengan daya dan upaya yang pastinya untuk mencari tahu serta membungkar misi gelap itu sedini mungkin maka kalau tidak?.
Hari ini, matahari tampak menyelubungi sinarnya di Kota Malang, kota mendadak sepi setelah adanya penyakit baru yang hingga saat ini tak dapat di tanggulangi menyebari kota hingga pelosok. Rupanya, ramuan yang diciptakan oleh sosok Albert ini mulai bekerja seperti adanya konsep yang ditutup dengan satu peluru, karena kecepatan tangan anak buah Albert meramu zat-zat kimia itu berdasarkan kata vonis sangarnya jika tak tetap waktu usai. Sejumlah tanki-tanki mobil yang terparkir sudah berhasil menguasai jumlah bahan bakar dengan volume besar.
Awank tetap konsisten terhadap misinya, ia masih bertahan dibalik topeng biolanya. Sudah lima hari ia berada di negara Singapura ini, seperti biasa, misi melakukan aksi gelapnya pada saat Kursi Band konser, dan misi gelap ini dilakukan oleh anak buah Awank yang berada di bawah panggung secara propesional.
Barbagai media cetak dan layak kaca memberitakan bahwa hari ini harus waspada, ungkap dari inti berita setelah virus aneh mulai menyebar luas, penyakit yang mewabah ini emang dipastikan dapat memfonis jaringtan otak tak berpungsi atau error. Hal ini akan menyerang pada siapa saja, orang tua, muda, semuanya ikut limpahan dari kinerja zat kimia yang bekerja. Tak ada satu orang pun tidak untuk saat ini yang dapat mengetahui dari mana asal mula penyakit ini berasal.
Sebagai Dokter mengatakan “Uwahh! Mungkin ini akibat perubahan cuaca,” Tidak! Mungkin ini akibat makanan,” jawab sebagai peneliti. Asal muasal penyakit itu memang sangat samar untuk ditebak.
Detik ini Astrid tampak melajukan ESCUDO-nya dengan kecepatan tinggi, keringat dingin dari peradapan otaknya mengembunkan keringatdingin yang masih tampak sedikit detas dati sekeliling ronanya. Ternyata, kepergiannya itu tidak lain hanya untuk menemui salah satu Profesor. Sepanjang jalan hatinya berkata, mudah-mudahan usaha terakhir ini aku dapatkan daya dan upayaku duk pecahkan semua masalah yang hingga saat ini menjamur nalar keritis.
Profesor yang pastinya akan ditemui Astred itu Bernama Wahyu, seorang ilmuan ternama. Ia berhasil tuangkan semua penemuannya dalam buku-bukunya yang hingga saat ini tak beredar lagi, salah stu buku yang selalu mendapat pengharkgaan ialah Ilmu pengobatan Tradesional, dan adanya unsur-unsur kecil yang bisa jadi besar dalam peradapan ilmu kimia yang katanya selalu bersahabat dengan ilmu pastinya, karen semua itu juga merupakan perhitungan. Nama Wahyu ini sudah hampir dikenal oleh negara-negara lain. Bapak wahyu. Bapak Wahyu ini berhenti berkarya sebagai ilmuan dikarenakan umurnya yang sudah lanjut.
Keakraban Astrid dengan Bapak Wahyu dmulai saat Astrid masih berajak dewasa, kani baru-barunya Astrid masuk SMK dan tidak hanya itu., Ayah Astrid adalah seorang seniman yang bernama Bapak Sastro, dan hingga saat ini Sastro tetap menjdalani hubungan Baik dengan Wahyuy meskipun umurnya jauh lebih berbeda.
Uwahh…! Ternyata Ayah Astrid adalah seorang kolektor, disekitar tumahnya terdapat sejumlahbedengan gedung layaknya kost-kostsan, tapi gedung itu bukan bearti dihuhni oleh anak-anak kost. Sejumlah anak mudah berbakat tanpa adanya pekerjaan pasti pada ngumpul disana. Bapak Sastro membentuk sanggar seni tanpa ada aliran, karena semua aliran membaur jadi satu dalam satu yayasan yang Bapak Sastro bangun. Ia memudali semua kretifitas anak muda sesuai bakatnya masing-masing, san salah satu contuonya ialah para pengerajin seni pahat, lukis dan, macam-macam dech…! Ada juga yang membentuk satu kelopok band, yang pasti, bapak Sastro tidak menginginkan sejumlah kalangan remaja penuuh bakat menjdai fakum lantaran sulitnya mencari satu kata dar sejumlah anak didiknya yang ia bilang bahwa “jaman sekarang mencari uang harus pakai uang. Dan apa artinya Potensi jika harus pakek uang juga untuk kemajuan bangsanya? Dan karya untuk siapa itu jika mereka semua tak bisa meraih harapan?”
“bapak Wahyu?” tanya Astrid dengan senyum manjanya setelah agak lama berbincang soal keadaan keluarga. “ada apa endoo, tomben kamu kesini,” singkat pak Wahyu berusaha tersenyum melihat susuk Astrid yang sudah begitu lama tak berjumpa. “tolong berikan aku sebua jawaban pasti tentang apa yang sebenarnya terjadi pada perubahan keadaan kota yang tiba-tiba menjadi aneh, kok tiba-tiba saja ada penyakit baru yang mendadak datang, dan aku yakin semua ini hanya Bapak Wahyu lah yang bisa menjawab semuanya,” Astrid mulai nyerocos dengan kata-katanya, namun kata itu dipastikan sesuai dengan adany. Pak Wahyu hanya nampak diam saja, dan saya yakin pikirnya sejalan dengan arus .pertanyaan Astrid yang pada akhirnya Astrid nampak jelas dengan kata dan expressi permohonan. “pak!tolong jawab pertanyaanku barusan, karena yang bisa mengatasi semua permasalahan ini Cuma bapak, tolong pak,” penuh exresi Astid dengan kata-kata itu, dan sejenak ia tepukkan keras-keras dadanya seseaat Wahyu terawangi foto masa kecil Astrid bersama Ayah juga wahyu yang tampak disampingnya, tapi Astrid tak pedulikan itu. “sekali lagi aku mohon pada Bapak, tolong beri aku tahu tentang adanya virus yang pastinya yang akan membunuh kita semua “pak jangan biarkan negeri kita ini dikuasi teroris karena saya yakin pertiwi itu selalu berdo’a untuk maju. Dan itu akan kujadikan restu dari sebagian tugasku.” Pak Wahyu bangga atas adanya Astrid karena yang jadi bahan pertanyaan hatinya adalah, dari mana Astrid tahu, dan langsung memfonis kata-kata virus Sebelum Wahyu menjelaskan semua kata tanyanya. “ok, kalau memang Bapak tidak mau membantu aku, aku ucapkan terima kasih atas waktu yang Bapak berikan,” tegas Astrid langsung meninggalkan tempat setelah expresi hormat. Sesampai dipertengahan pintu keluar, Astrid mendadak terpanggil oleh Bapak Sastro dengan suara beratnya bercampur sedikit batuk, dan tangan pak Wahyu tampak meraih dadanya karena batuk itu semakin saja gelitiki tenggorokannya hingga terasa gatal yang tak teraih tangan untuk mengusir rasa.
“Endo,” dingkat Pak Wahyu sambl membalikkan arah pandang kearah Astrid yang mendadak berhenti. Penuh tatap. Astrid expresi Wahyu yang masih bertahan membendungi rasa gatal didadanya karena batuk itu tak kunjung henti. “Sekarang aku akan menjawab semua pertanyaan yang kamu tanyakan tadi, dan sekaligus cara penanggulangannya,” jelas pak Wahyu sembari langsung di kursi yang nampak didekatnya. Setelah mendengar kata itu, Astrid langsung berlari hampiri Bapak Wahyu. “Betulkah apa yang bapak barusan katakan?” tanya Astrid dengan rasa kaget, atas apa yang akan Bapak Wahyu utarakan. “Astrid! Kamu harus janji padaku, haya kamulah orang ketiga yang tahu hal ini selain orang kedua sebelum kamu!” jelas Bapak Wahyu sedikit expresi tegang,sembari tampak bangkit dari tempat duduknya, dan tatapnya mendadak terawangi cecak yang baru saja menerkam habis nyamuk dengan emosinya. “o, orang kedua yang bapak maksud itu siapa?,” tanya Astrid dengan suara yang tak berturan. “orang keuda itu adalah orang yang telah berhasil mencuri bukuku yang sudah lama terangkum dari hasil tes kami dari tahun-tahun lalu, bahkan orang itu berusaha keras diculik, dan menuangkannya isi cerita itu pada Astrid. “siapa okrang itu pak?’ singkat Astrid, ia merasa perihatin akan cerita masa lalu pak Whyu tentang suka dukanya menaji seorang ilmuan selama ia perani, “Nndo” Bapak tidak tahu jelas nmengenai siapa orang itu karena mereka semua memakai topeng, dan yang pasti orang-orang itulah yang menyebabkan semua ini terjadi, tadinya orang itu nyaris membunuhku,” lanjut Bapak Wahyu.
Ternyata orang yang Wahyu maksud itu adalah Albert beserta antek-anteknya. Hingga detik ini Wahyu tidak mengetahui jelas, dan takkan pernah tahu sebelum Astrid berhsil membungkar jawaban pasti. “Lantas, apa yang menyebabkan poludi virus itu apa pak, kok tiba-tiba saja ada penyakit yang tak dapat diketahui adal usulnya, dan bolehkah saya tauh cara penyelesaiannya,” Astrid langsung meraih agendanya. “Untuk lebih jelasnya, mari kita sama-sama pergi keruang Laboratoriumku,” sembari Wahyu di ikuti perlahan langkah Astrid dengan tatapnya yang masih teropongi isi ruangan.
Sesampai di ruang kerja, seca detail Pak Wahyu menjelaskan asal-usul virus itu, namun akhir kata Wahyu menjelaskan bahwa orng itu belum sempurna meramu Zat-zat yang saat ini mereka praktekkan, pasalnya karena penjahat itu tidak semuanya berhasil menguasai sepenuhnya teori yang mereka curi, karena buku fising dari ramuan itu masih berada di tangan Wahyu yang saat ini tampak Astrid pegang, dan membacanya secara jeli. “As, penyakit itu berasal dari sejumlah cairan yang salah satunya berada di dekat kamu itu,” jelas Wahyu mengarahan tatap. “Dan, cairan-cairan itu mereka campur oleh zat-zat kimia lainnya menjadi satu zat, dan… satu zat yang masih berada di buku kamu pegang itulah yang masih membuat pekerjaannya tidak sempurna.
“Dan cara zat itu bekerja bagaimana paK?” tanya Astrid refleks, berkata. “Aku sendiri sih belum begitu jelas untuk menjelaskan yang satu itu, dan kalau menurut aku sendiri, bisa jadi mereka semua menyebarkan melalui bahan bakar, yaitu dengan mencampurkan zat ini ke dalam tangki kendaraan, naah? Polusi dari knalpot itulah yang mengakibatkan saraf manusia menjadi error, dan rangkaian dari zat-zat ini disalahgunakan oleh mereka,” ucap Wahyu menjelaskan.
“Lantas cara penganggulangannya bagaimana Pak?” Astrid kembali tanya setelah membuatkan dua gelas minuman Wahyu usai mereka berdua sajikan menu makan sore bersama. “Caranya ialah mencampurkan kembali zat kimia yang sudah aku ramu ini ke dalam tangki-tangki mobil yang pastinya nanti akan dikirim ke kios-kios, dan saya sendiri yakin penyakit ini akan reda dengan sendirinya. Karena ini adalah penawar satu-satunya untuk Virus itu, dan perlu kamu ketahui As!” setelah menyeduh kopinya. Astrid tampak serius mendengarnya tanpa harus berkata lain untuk memotong katanya. “Kamu harus mengunakan masker khusus untuk melakukan tugas ini, dan bila perlu kamu harus memberi tahu pada semua kalangan masyarakat untuk mengunakan masker sementara waktu,” Lanjut Wahyu. Panjang lebar Wahyu curahan semua pertanyaan Astrid, dan ternyata, para penjahat itu telah menyala gunakan sejumlah zat yang pasti untuk menghancurkan rangkaian otak kita semua. Dalam agendaria Astrid telah tercatat, “pernahkan orang-orang itu sempat berpikir walaupun untuk sedetik saja, apa persaan jiw-jiw yang tak berdosa menerima ulah jahatnya dengan cara sadisnya?, pernahkah mereka berpikir kalau kita lahir atas nama cinta, dan atas dasar apa orang-orang itu melakukan kekacauan di mana-mana? apa mungkin yang namanya cinta itu memang benar adalah senjata yang paling ampuh untuk membahagiakan orang, dan cinta itu sendiri juga paling Ampuh untuk membunuh jiwa-jiwa? Kalau itu memang benar, cinta pada apakah dia? Mungkin inilah pentas dunianya yang meliputi 3 angka kekosongan; kosong iman, kosong perut, dan kosong kantong, dan kosong itu sendiri adalah hampa, karena kosong bukanlah suatu bilangan. Wahai jiwa-jiw yang tenang di mana letak kurs ketenganmu?
“Siap pak! Dan saya ucapkan terima kasih atas informasi yang Bapak berikan pada saya. Setik ini juga kami laksanakan tugas ini,” ungkap Astrid dengan penuh hormat dan tegas pada Bapak Wahyu. Setelah panjang lebar ia tenggelam dalam kata obrolan. Dan pada hari ini juga misi Astrid mulai beraksi dengan mengkonfirmasikan pada semua anak buahnya untuk membunuh virus yang berada disetiap tangki mobil dengan cara mencampurkan zat kimia yang telah diramu oleh Prof. Wahyu ke dalam lima tangki mobil yang berisikan 5000 liter. Sebagian orang-orang Astrid menyebarkan informasi pada setiap masyarakat penjuru untuk mengunakan masker disetiap waktu dan waspada bila keluar dari rumah.

BAB TIGA PULUH EMPAT

“Hari demi hari misi dalam penyidikan dilalui hingga berminggu minggu bahan melangkah Bulan, dan misi dalam aksinya membuat ia lupa akan kehadiranAwank bersama asmaranya, begitu pula Awank. yang jadi heran adalah, kenapa Awank belum juga tahu bahwa Astrid adalah seorang Polisi Rahasia yang salah satu misinya akan menghukum dirinya, sebaliknya penilaian Awank terhadap Astrid.
Saat ini Astrid hanay berhasil menangkap ke empat anak buah Awank yaitu; Cuking, Febrik, Farid dan Rudi atas kasus transaksi senjata illegal yang berlangsung di Kota Malang, tanpa sepengetahuan Awank. Satu orang di antaranya adalah Febrik tewas seketika oleh peluru Astrid ketika ia berusaha kabur. Dan ke tiga itu langsung dibawa ke kantor di mana Astrid bertugas. Cuking, Rudi dan Farid masuk sel yang posisinya saat ini tidak begitu jauh dari meja Astrid. Terali-terali kabin itu nampak sedikit temaram dan cukup membisu lantaran tak adanya udara alam yang bisa masuk secara lelus mengitari adanya. Astrid langsung memakai busana kebesarannya, saat ini ia nampak sedikit ggah dengan celana dan kaos street hitamnya. Astrid langsung membuka borgol mereka satu persatu setelah Opsir-opsir itu membuka gembok terali itu. Ia langsung menyuruh mereka semua duduk di kursi tepat di adapan Astrid yang saat ini lagi membuka lembaran-lembaran kriminalnya yang tentu pasti akan aa sejarah baru untuk catatannya.
Tidak lama kemudian, ia langsung pukul mereka bertiga satu persatu dengan tongkatnya agar mereka mau buka mulut dan memberi tahu siapa sebenarnya daland dibalik aksi gelap mereka. Namun mereka bertiga menjawab dengan kata-kata yang membuatnya makin marah, dan kata inilah yang selalu ia ucapkan dari sejumlah pertanyaan Astrid. “Daripada saya harus memberi tahu pada anda siapa sebenarnya Atasan dan rekan-rekan saya, lebih baik saya mati daripada harus menjawab yang sebenarnya,” tegas Febrik mencibirkan mulutnya yang sudah tampak memar. Semakin mereka bertiga Astrid pukul, semakin saja membuat hatinya kesal bercampur rasa muak, dan jijik. Farid mengungkapkan dengan rasa emosi, “Nona!!! Setelah kami semua, atau satu di antara kami memberi tahu pada anda tentang semuanya atas soal-soal yang nona tanya, aku juga tetap dihukum bukkan? Bahkan aku pasti mati di atas kertas pasal-pasal nona, bukan?” Sembar berusaha berdiri dengan kepalanya yang saat ini tampak mendekati diri Astrid dengan expresi cengengesan.
“Bangsat…!” Astrid kembali hajar mereka lebih keras, dan memberikan garam pada sekujur lukanya. “hai nona!!!!” teriak Cuking dengan emosi yang bertambah, “Tentunnya kamu pasti dapat perhatikan bukan? Setelah anda berhasil menangkap kami bertiga, dan berbagai Media akan pampang tulisan dengan kata-katanya, bahkan Agen rahasia cantik telah berhsil menangkap sindikat pertransaksian senjata illigal, dan pastinya anda akan mendapatkan nama dari adanya, bukan? Hahahaha…, lanjut Febrik tetap melakukan dengan diikuti tawa sinis mereka bertiga, namun Astrid tambah marah dan kembali memukulnya. “Nona,” kata Cuking tetap berkeras diri, “bukan hanya nona saja yang memiliki sumpah jabatan.” Lanjut Cuking membuat mata Astrid melotot lebar dan sedikit angkat bahunya. “Kami selaku tahanan saat ini, berani mati atas menjunjung tinggi sumpah yang ku jabat.” Tidak lama dari itu. Astrid nampak tinggalkan mereka bertiga dikarenakan waktunya telah habis, dan masih banyak tugas lain yang harus ia kerjakan sesuai dengan konsep yang sudah ia atur.
Ini merupakankesempatan terbaik untuk mereka bertiga, setelah tak ada satu orang-pun yang mereka lihat dari balik terali. Saat ini ia nampak leluasa untuk mengambil serbuk racun dari bilik celana dalamnya, tidak lama dari putaran menit, mereka bertiga mati dengan mulut berbusa. Setelah hasil dari Autopsi, berbagai media sudah pasti memberitahkan adanya kejadian tragis ini. Hingga sumpah satu surat kabar yang mengisikan adanya berita ini sampai ditangan albert. Albert mulai tambah garang melihat hari-hari obsesinya yang juga makin surut, hal ini merupakan kesalahan anak buahnya sendiri yang juga pasti jadi sasarannya. Hari demi hari tugas ini dilalui oleh Astrid, namun usaha ini telah membawa hasil yang memuaskan setelah hasil penyamaran sebagai piones berhasil menagkap sejumlah transaksi jaual beli narkoba dan kasus lainnya, walaupun orang-orang itu hanyalah kelas teri saja.
Ponsel Astrid nampak membagunkan lelap tidurnya. Nama Awank hampir terlihat jelas dilayar ponselnya karena tatap matanya masih nampak tak lebar menyoroti adanya, ia langsung menjawab setelah tombol hijau itu terpencet. “ciluk baaa…,” jawab Awank setelah Astrid menerimanya, “Say! Sory yach, katena aku tidak pernah menghubungi kami, harap maklum karena kontrakku terus menerus menyambung,” alasan Awank merayu Astrid penuh nada expresif. Selain suara dari suara nguap kantuk, suara Astrid hanya sama-sama terdengar oleh Awank untuk kalimat jawaban kangen. “Oh iya say!, hari ini aku segera pulang, karena pasport pesawat ku berangkat pukul 09.00 pagi ini, dan mungkin malam ini aku suda sampai di Kota Malang, karena saya masih ingin mencari sedikit inspirasi di Kota Surabaya,” ucap Awank pada Astrid penuhh warna ceria banggakan Astrid, padahal yang sebenarnya Awank sekarang berasa di singapura dan dia tidak mampir di Surabaya melainkan alasan saja, karena Astrid megira Awnk kini berada di Denpasar. Dan seiring kata-katayg Awank katakan tadi membuat Astrid terkejut senang, “A aa apa Wank? ngapain kamu pulang, hem?” jawab Astrid setelah mengapnya yang tampak lebar mengartikan bahwa dirinya masih terasa ngantuk, dan sejenak ia tersenyum manis yang diiringi dengan kedipan mara. “Ya udah!! Aku nggak jadi pulang, dich!,” lanjut Awank dengan rayuan seakan-akan mereka saling berdekatan. “As kamukok manja gitu sich!…, apa kamu merasa kangen akan adirnya diriku, aku serius nich!” ungkap Awank seetelah sedikit jelas mendengan cengir Astrid yang tertahan. Yeee… yang kangen itu aku atau kamuuu!” jawab Astrid, sembari langsung membuka korden jendelanya sambil menggerak gerikan badannya dengan menunjukkan sedikit tingkah manjangnya. “kamu kok berubah ginisich say, kok tak seperi biasanya, ada apa dengan kamu As? dolong ngerti dikit doong…, kalau ada kekasihnya yang mau datang dari ranrau, eh salah, dari Bali gitu loch, dan seharusnya kamu tuch bangga doong aku apalagi nelfon aku,” kedap-kedip Astrid sambil menggigit kuku jemarinya. “Ya udah, dech! Aku ngaku salah…, dan sebagai rasa kesalahanku padamu, kami minta hadia apa dari? Atau kamu minta oleh-oleh apa, hem? Entar aku bawa’in untuk cecaciku, eh maap kasihku tercayang kitu loh?” kata Awank penuh tawa. “Oke! Kalau memang kamu mengakui kesalahanmu, aku minta hadiah…, Ach udah deeeh, aku gak bisa ngomong sekarang, entar aja dech kalau kamu udah nyampe disini, baru aku omongin ya,” manja Astrid. “ya udah deh” jelas Awank membalas suara manja Astrid,” kamu harus nunggu di rumahku yaah? Dan sambutlah aku dengan penuh c intamu oke nona manis, pangiran segera datang dihadapan tuan putri,” lanjut Awank. “Oh iya Wank, Wank Wank entar dulu, dore ini aku akan kerumah kamu dan kunci rumah kamu ada dimana?” teriak Astrid setelah Awank pengen tutup ponselnya. “Oh iya! Aku sendiri juga hampir lupa, kuncinya ada di atas pintu, dan uda dulu yaa bateraiPonselku udah mau habis nich,” lanjut Awank dengan suara tergesa-gesa. “iya Wank, lekas pulang yaah…, aku akan menyambutmu,” teriak Astrid langsung matikan Ponselnya.
Putaran jam dinding mengiringi perjalanan Awank ke Kota Malang. Awan putih terlihat jelas oleh Awank yang saat ini sedang duduk didekat jendela pesawat, perlahan dirinya meraih buku mungil-nya setelah pena-nya yang baru saja ia ambil dari saku bajunya, dan kata itu tertulis olehnya “Sayap kiri sayap kanan bukan kabin itu lebih baik… kenapa setiap jiwa selalu mengatakan sayap dalam perihal cinta selagi ada ruang dalam kabin ini.” Syair indah itu tertulis dengan rasa kesenangan hati, karena saat ini Awank akan hadir disamping kekasihnya. Tidak lama dari tatap yang terpaku pada awan yang sedikit nampak tertulis jangkar itu, membawa dirinya lelap bersama awan penuh lintas, hingga perjalanan-nya pun telah sampai di Bandara Juanda tanpa terasa olehnya.
Setelah peti bijolanya ia sandang, tak koper hitam itu disambut oleh sopir Taxi, dan Taxi pun berangakat menuju Kota Batu setelah aba-aba darinya. Ditengah perjalanan Awank menelfon semua rekan kerjanya, kalau misi-misi harus terus berjalan walaupun ada dia, dan jangan pernah ada satu titik kesalahan yang pastnya akan menjadi koma. Hingga tak terasa olehnya, perjalanan sudah sampai di rumah Awank dan Taxi yang ia kendarai berhenti tepat didepan rumah Awank dekat taman samping. Mendengar suara knalput monijl itu yang sedikit agak keras lantaran kepater dikarenakan hujan baru saja redah sirami alam ini. Astrid langsung memadamkan seluruh lampu, hingga terkesan tak ada yang datang kesini selama ini.
Langkahnya sudah sampai didepan pintu, ia mengra bahwa Astrid tak datang setelah penuhh tatap mengartikan adanya kegelapan. Tidak lama kemudian. Awank meletakkan koper yang masih tampak ditangannya. Ia langsung membuka pintu rumah itu, dan ia mendadak kaget dengan satu kalimat tanya, “ kenapa pintu tak terkunci?” sembari berlahan berarah kesakral lampu untuk menyalakan lam,punya karena jalan tidak terlihat olehnya, maka ia langsung menyalahkan ponselnya, dan cahaya biru itu terangi jalan, iringi langkahnya yang sebelumnya tak terlihat apa-apa akibat gelap yang menghitungkan semua ruangan, tiba-tiba Astrid berjalan mengikuti lankah Awank dari belakang hingga sampai dipintu belakang. Langkahnya sangat pelan, hingga tak terdengar jelas jejak langka kakinya. “Dwoarrrr,” Astrid kaget Awank dan mendesak Awank setelah menututupi sepasang matanya dengan kedua tangan-tangannya “Ayyoo…,” desak Astrid setelah mengagetkan. “Yaa ampuuun Astrid…! Kamu kok masih kayak anak kecil sich,” ucap Awank sambil mengambil sakelar, dan semua lampu-pun telah menerangi sudud ruangan sebagaimana mestinya.
“Kamu kaget yaa Wank? kascihaaan dee loe…!” ucap Astrid dengan bibir monyongnya yang sangat menggemaskan. Ingin rasanya Awank mencubitnya, tapi tak tega setelah Astrid nampak moyong dengan sejumlah kata keseterus-terangan ungkapan rasa kangen. “udah, udah, udah…! Aku capek nich,” ucap Awank langsung lempar peti biolahnya di kursi panjang itu, tapi ia sambil tersenyum di tatap Astrid, lantas kalau kamu capek mau ngapain , hayoo…?” ucap Astrid hentakan kata, dan arah pandangannya penuh tatap, “Aku mau tidur,” tegas Awank dengan lantang, padahal Awank Cuma berguyon lohhh, siapa sich yang kaga kangen jika sepasang kekasih lama tak jumpee?.
“Apa! mauuu tiiidur,” takjub Astrid, ya uuudah tidur sana, aku mau pulang aja, hem,” mata Astrid melotot penuh menggemaskan sambil meremas-remas kuku jemarinya, “ya udah… pulang sana! Nggak butuh, lagii” singkat Awank menahan tawanya. “Ya udah aku pulang benneran sich,” Sembari Astrid menuju pintu, ia berjalan dengan lenggak-lenggok sediit penuh bentuk malas, Astrid tampak mempeson jika jalannya begitu, hehehehe.
“Eh eh eh…, kamu marah yaah…! cantik-cantik kok pemarah sich? entar kalau kamu marah, asmaranya kapan? entar cepat tua loh, amu mau cep jad nenek-nenek yaaaa?” penuh kata gemes, Awank tampakkan ronanya sesuai dengan ucapnya tadi, sl Astrid sampai di antara pintu masuk dan keluar halaman. Ia langsung hentakkan kepalanya, dan sedikit jelas kalau bibirnya ia lipat hingga nampak sedikit sinis penuh gemmes. “Wek, Astrid keriput, Astrid keriput!” lanjut Awank sambil berusaha menarik tangan Astrid, kembali ke tempat semula sambil menari-nari sesuai katanya di depan Astrid. “Iiich…, kamu oloki ya? Enngak mempan gitu loh,” jelas Astrid langsung mencubiti serta meninju-ninju lengan, dada, dan pundak Awank setelah tak tahan tawanya melihat Awank yang tampak menghumor. “Udah udah…! Tengkarannya kita sambung besok, sekarang kamu mau enggak bikin minum?” kata Awank sambil melangkahkan kaki menuju dapur.
“Eeeeh…! Kamu mau bikin minum apa, hem…!?” jelas Astrid tarik halus tangannya sambil kedipkan matanya. “Kamu tuch kan lagi capek, jadi sebelum kamu datang aku tuch udah nyiapin semuanya di taman belakang, untuk nyambut hadirnya pacarku yang nakal,” ucap Astrid menarik lagi tangan Awank, sembari berdua dengan langkah pelannya menuju taman belakang.
“Uwah….! Yang masak ini semua siapa?” mata Awank tampak melotot kaget, karena meja penuh dengan sajian makan malam yang lengkap dengan menu penutup. Astrid mulai tampak salah tingkah saat Awank mencicipi sajian itu dengan sejumlah kata pujijan. “Say! Kamu ini beli, atau bikin sendiri? pasti beli kaaan, hayyooo ngaku ajach dech,” lanjut Awank sambil melihat di sekitar hidangan yang hampir saja memenuhi mejanya. Lilin-lilin yang melentera itu nampak mengelilingi hidangan beserta aanya isi ruangan. “Ya bikin laaa, bukan jemannya lagi, aku kan bisa segalanya,” jelas Astrid puji dirinya sendiri. sikap manjanya mulai tampak halusinasi mata Awank yang penuh nilai tatap, dan sejenak Astrid memadamkan semua lampu setelah jamuan malamnya usai, hingga yang melentera hanyalah lilin dan bayangan mereka berdua. Sesaat kemudian, mereka berdua pun menyantap menu penutup tanpa adanya kata gurauan lagi, “Uwaah! enak sekali masakan kamu ini say, kamu emang cocok jadi isteriku nanti. Hehehe..!” jelas Awank penuh dengan kata pujian, setelah meneguk minumannya. “Ya iyaaa lah…! Siapa dulu yang masak?” Astrid nampak sedikit centil saat jemarinya iringi katanya. “Iyah dech..! yang masak, kan nyonya Awank,” ucap Awank, jemarinya langsung mengapit pipi Astrid dengan mesranya. “Oh iya Wank, gimana konsermu kemarin, sukses?” tanya Astrid sambil melahap kentang goreng itu hingga saosnya sedikit melepoti pipinya, dan kalau dilihat dari adanya ia tampak seperti Vampier yang baru ajah melahap leher tumbalnya. “Alhamdulillah As sukses, itu kn berkat do’a kamu,” jelas Awank sambil tertawa melihat adanya Astrid. “Iya doooong! pacar siapa dulu..?” lanjut Astrid dengan manjanya. Awank nampak menyapu saus yang masih tampak lepoti sekitar bibir Astrid dengan satu jemari lembutnya. Mereka berdua nampak cekik halus leher gelasnya ke atas, dan bersulang, “Ting..,” bunyi gelas, sesaat lilin itu mulai terangi rasa kangennya. Astrid langsung berdri dari tempat hidangan seirin Awank yang menarik mesra tangannya, perlahan smebari berdua melangkah ke ruang tengah yang telah tertata rapi oleh Astrid. Bak kabin penganten baru yang dihiasi oleh sejumlah bunga-bunga, dan dan juga penuh barisan lilin-lilin yang mulai terangi sejumlah lukisan Awank. “Wah apa-apaan ini As! kamu kok romantis banget malam ini, dan tumben kamu lakukan ini untukku,” ucap Awank penuh rasa, dan sejenak ia rentangkan tangannya dengan penuh tatap soroti adanya. “Wank! detik ini aku ingin kamu membacakan puisi untukku, kamu mau-kan Wank, please… untukku oke?” Astrid tampak gemes saat memeluk erat bantal kursi itu. “Apa As, puisi,” tanya Awank penuh hentak kaget. “Kenapa, kamu enggak mau?” tanya Astrid. “Mau, tapo As…?” dengan suara yang bertubi-tubi, Awank langsung mengusap keras wajahnya. “Udah, ayo cepet Wank, enggak usah tapi-tapian, kamu enggak mau, hem”? jelas Astrid langsung melemparkan guling yang dipeluknya tepat sasaran pada dada Awank. “Oke!, aku akan bacakan puisi untuk kamu, tapii tolong ambilkan dulu gitar yang ada di sampingmu,” lanjut Awank tak banyak kata lagi, dan untuk kali ini expresi Astrid memang tampak asyik hingga cukup menawan untuk dilihat dan cukup menggemaskan bila ia kedipkan matanya dengan lenggak-lenggok arah tatapnya. Awank pun langsung membacakan puisinya dengan alunan gitaar tremolow-na, dan Astrid mulai memposisikan dirinya di hadapan Awank, penuh tatap sayu sambil memangku bantal yang baru saja ia ambil hingga entah sudah berapa jumlah susunannya, yang pasti ia sekarang menikmati alunan itu.
Awan terkoyak
Bintang yang jatuh ke Bumi
Langit megutus prajuritnya untuk menyampaikan penghargaan malam
Bahasa semesta sementara
Meyakinkanku bahwa Tuhan menghadiakan Cinta suci untuk kita
Kamulah kekasihku
Datanglah wahai kekasih
Basahi jiwaku lewat lintas dahaga cintamu
Datanglah wahai kekasih
Mari kita buka bersama kado Tuhan untuk kita
Sembari beranjak, dengan satu hamparan jemarinya, dan meraih sepasang pundak Astrid. Astrid nampak diam dengan sipu malunya, hingga penuh seluruh menyambut halus tatapan Awank dengan aliran kata realita atas adanya kemarin hari ini, esok dan nant. Awank nampak penuh expresif setelah meraih Gitarnya kembali, dan Astrid pun mulai menarikkan lentik jemarinya di atas piano itu. Keduanya terlihat tenggelam dalam pusaran arus jiwa hingga dawai biola itu mulai mendebur setelah biolanya ia raih kepundaknya.
Alangkah bahagianya siManis, karena saat ini ia nampak romantis dengan kekasihnya lantaran Astrid yang berhasil Membiro-Jodohkan, dan hal ini langsung menemukan kecocokan atas adanya sepasang kucing itu, tesipuh malu saat sang Do’i mulai tampak nakal mencuri pipinya, dan berlari setelah itu, dan siManis pu mengejar siDoi untuk membalas perbuatannya hingga asmara mereka berlanjut setelah ia berhasil mencengram siDoi lantaran dirinya nampak capek bergelut dengan lucunya. Awank beserta Astrid penuh kesan melihat adanya siManis, dan Awank pun melanjutkan keinginannya yang baru saja tertunda.
“Aku ada sebelum kau bertanya”
Bayangmu memperkosa diriku
Hingga hatiku mengandung cinta
Hingga
Aku
kamu
Satu
Alirkan citamu padaku manis
Agar arusku menuju jiwamu
dan
Setiamu memumi dalam hatiku
…….
Lukamu
Adalah tangisku
Darahmu
Adalah hatiku yang tersayat
Dan
Akulah pawang dari hujan matamu
Kucing itu nampak lelap setelah lirik dari puisi Awank nyanyikan. Perlahan Astrid beranjak hampiri Awank yang saat ini nampak penuh tatap terawangi keadaan taman yang gelap dari bilik jendelanya, perlahan tangan Astrid peluk tubuh Awank dari belakang.
“Uemmuach…!” Astrid mendadak kagetkan Awank setelah menciumnya keras-keras. “Wank, ini hadiah untuk puisi beserta lagu yang kamu mainkan,” jelas Astrid langsung melapaskan peluknya. Awank mulai tampak terasa berat membalikkan arah pandangan terhadap adanya Astrid. “Makasih ya As! atas hadiah mu yang sedikit nakal ini,” jelas Awank sambil meletakkan biolanya ke dalam peti. “Hahaha...,” lanjut Awank setelah melihat Astrid diserang oleh siManis lantaran mengusiknya saat lelapnya. “Iiiii..., Wank, kucingmu nakal sekali!!!” gerutu Astrid sambil menyapu dengan jemarinya sedikit bulu-bulu kucing itu yang masih menyetubuhi bajunya. “Enggak apa-apa kan, kalau siManis nakal sekali? Asalkan enggak dua kali,” penuh tawa Awank menjawab kata itu.
Mereka berdua nampak beranjak ke ruang depan, saat ini ia lagi bersendawa dengan kata tanya jawab mesranya asmarah, “Oh iya Wank, aliran musik yang kamu mainkan itu apaa sich?” tanya Astrid. “Apa As, aliran...?” Awank pelototkan matanya, dan tersenyum seiring matanya yang menyipit, lalu meraih biolanya. “Iya, aliran!” sembari memeluk pundak Awank dari belakang tubuhnya. “As!” sahut Awank, tangannya meraih kepalanya, dan membelainya, “Aku tidak pernah menganggap semua musik yang ku mainkan adalah sebuah aliran, dan aku takkan pernah punya aliran,” lanjut Awank mulai tampak expresif dengan adanya rasa atas kata dari pertanyaan Astrid. “Lantas, kalau kamu enggak punya aliran, gimana dong?” Astrid mulai tampak gemes lagi setelah ronanya meronakan expresi katanya, dan melihat adanya Awank. “Yaa... aku mainkan musik atas nama rasa-rasaku saja, jadi, aku bisa romantis saat aku jatuh cinta, dan aku bisa pindah rasa ke Under Ground saat aku merasa emosi, sumpek. tapi aku suka banget musik Jazz, etnik hingga instrumen apa saja bisa aku mainkan, dan saat ini aku pengen menciptakan musik Metal dari sebagian alat-alat musik tradisional kita, karena alat tradisi kita banyak terbuat dari Metal, dan saya rasa kamu sudah paham, bukan?” jelas Awank dengan pesimis tatapnya yang terpaku pada titik cahaya lampu. “As, aku bukan satu-satunya orang di dunia ini yang bisa bermusik, karena selain aku masih banyak, dan aku hanya bisa berkarya saja, tidak lebih dari itu,” lanjutnya.
Astrid nampak tercengang dibuatnya, saat ia melihat adanya Awank yang sedikit berubah-ubah dengan expresinya jika ditanya tentang pribadinya. “Jadi, aku tidak akan pernah mengatas namakan aliran untuk bermusik As, karena bagiku, aliran hanyalah sebuah Bendera, di mana orang akan tahu latar belakang sebuah nada yang mengalun dalam setiap peradabannya kata yang lurus, walau bersimpang warna rasa, sedangkan musik yang aku mainkan hanyalah symbol, symbol atas adanya rasa detik ini yang mungkin besok akan berubah warna seperti adanya Bunglon,” lanjut Awank. “Apa Wank, symbol?” singkat Astrid kerutkan pipinya, hingga bibirnya nampak monyong ke samping. “ Iya symbol, seperti halnya aku melukis. Tapi symbol itu sendiri yang selalu iringi rasaku,” lanjut Awank. “Contohnya apa Wank, lukisan yang kamu bikin itu? Kok ampe` segitunya,” sahut Astrid. “Aku melukis seperti yang kamu lihat di barisan dinding ruang tengah itu, dan itulah adanya aku,” jelas Awank. Perlahan Astrid berdiri, dan melirak lirik ke adanya isi ruangan, lalu melangkah menuju ruang tengah, menuju lukisan yang berbaris didinding, lalu Awank mengikutinya dari belakang.
Lukisan itu memang benar-benar menakjubkan, salah satu di antaranya ada yang memberi kesan nuansa dramatis, dan ada juga yang bertakjub Abstrak nuansa biru diatas biru, dan ada juga yang menceritakan Putry Zaman mengukir Zaman.
As! entah sudah berapa lama tanganku tidak melukis. Aku, aku ingin meninggalkan dunia seniku, aku ingin, aku ingin berhenti hidup dengan jiwaku yang penuh dengan tanda tanya dan aku, aku merasa tak berarti apa-apa, karena aku sudah bosan dengan catatan-catatanku untuk hari esok yang tak pernah sama dengan apa yang sudah kurangkai.” Bertubi-tubi ucap Awank penuh expresif, hingga tak terasa air matanya terjatuh.
“Sayang, udah ya jangan menangis, kamu kok jadi cengeng gitu sich? kamu itu cowok!” Astrid meraih pundak Awank. “Apa As, aku cengeng katamu? hem hem, As! perlu kamu tahu bahwa menangis itu bukan berarti cengeng, karena cengeng adalah sifat, dan tangisan itu bisa terjadi pada siapa saja, bahkan lahir dan kematianpun tangisan itu selalu hadir, dan kematian kita akan hidup kembali karena adanya suara musik dari Terompet-nya Malaikat, dan..., di situ juga kita akan menyaksikan lautan tangis,” jelas Awank, tatapnya menuju ambang langit-langit dekat pintu kabin, “Iya deh..., terserah kamu aja,” singkat Astrid dengan nada ngiangnya. Namun Awank masih tampak berahan dengan ekpresinya entoh walaupun Astrid dari tadi berusha untuk mengusapinya, “Hem’ memang payah kalau ngomong sama seniman,” gerutu Astrid dalam hatinya.
“Honeyyy! yang saat ini kamu rasakan sebenarnya apa sich?” tanya Astrid. “As, saat ini aku merindukan kehadiran kasih sayang seorang ibu, aku kangen dia As, dan... entah kenapa? padahal aku sangat mencintai dia lebih dari adanya kemahiranku,” wajah serius Awank membuat Astrid turut prihatin. “Tapi ibuku selalu hidup seiring dengan nadanya yang mengalun dalam nadiku seiring dengan tempo yang ada dalam jantungku hingga hatiku selalu ada nama ibu ibu ibu dan aku merasa kangen akan hadirnya As,” lanjut Awank. “Wank udah yach, aku juga ngerti adamu, sekarang diam dulu ya,” Astrid meraih pundaknya penuh kasih. Perlahan atap Awank berbalik pada tatap Astrid dengan beserta rasanya, “As, kenapa dia pergi sat hatiku benar-benar mendambakannya, dan kenapa ibuku pergi tanpa menunggu hadirnya aku dulu, dan apakah benar ibuku benar-benar tiada?, sat ini aku tidak ounya teman untuk bercurhatm saat ini aku tidak butuh hiburan, aku tidak butuh dikasihani aku hanyalah butuh cinta, detik ini aku hanya butuh cinta, dan untuk mencari kedudukan hati seorang ibu hingga detik ini tak dapat kutemukan. Aku tidak butuh kata pujian selain cinta dan aku tidak mau dicintai karena orang kasihan atas adanya aku,” ungkap Awank bertubi-tubi, dan expresinya memang nampak menyedihkan.
“Sayang, udah ya, jangan bersedih lagi, aku siap menggantikan kedudukan hati seorang ibu dalam hatimu,” Astrid meraih dada Awank, dan diusapkannya pelan-pelan dada itu hingga kata-katanya pun berusaha basahi adanya rasa, “Wank detik ini juga aku adalah cintamu yang selalu siap menemanimu setiap ras kesedihan menyetubuhi hatimu, dan tolong beri keyakinanmu padaku bahwa aku selalu yang terbaik buat rasamu, karena aku selalu yakin bahwa kesetiaan itu akan terwujud jika kita sehati,” jelas Astrid mengalunkan nada tubi-tubi yang tentunya telah memberi motivasi untuk semangat hidup Awank. “Makasih As, kamu memang yang terbaik untuk-ku,” singkat Awank sambil menyapu air matanya dengan lengan bajunya. “Wank, kenapa kamu harus meninggalkan kehidupan seni hanya karena merasa kangen sama ibumu. Sadarlah Wank, bahwa yang dapat menyempurnakan hidupmu untuk maju adalah seni, karena kamu selalu yakin bahwa kamu mempunyai sejumlah potensi yang sangat hebat, bangkitlah Wank, dan walaupun ibumu telah jauh dari diri kita, namun di selalu adal dalam nalurimu jika mau menuranikannya dengan Do’a, karena doa itulah yang akan membuat ibumu bangga atas kemahiranmu,” Astrid meng-expresikan tangannya dengan nada bertabur cahaya ronanya. Namun Awank selalu saja diam, mungkin saja karena dirinya telalu asyik mendengar celoth Astrid yang hingga saat ini terus bersua, “Sadarlah Wank, karena alam menunggu sejuta karyamu dan alam pun rindu pada dawai biola maumu, dan lukislah alam dengan pancaran aura seni yang kau miliki,” lanjut Astrid membangkitkan semangat Awank yang telah mati.
“Sekali lagi aku ucapkan terima kasih kepadamu As, kamu sangat pengertian, terus terang baru kali ini aku mengenal cinta dan makna itu sendiri, dan baru kali ini aku sadari bahwa cinta adalah anugrah dari Tuhan yang harus dihormati dan karena cinta pula kita lahir,” lanjut Awank tampak expresif. “Oh iya As! benar-benarkah kamu mencintaiku yang sudah tentu tidak sebanding dengan adanya kamu? Astrid mendadak kaget setelah mendengar kata-kata itu, matanya melotot sambil bertahan mendengarkanlanjut omongan itu, “Entoh teman-temanmu masih banyak yang lebih kaya dibanding aku dan mereka juga memiliki vila dengan mobil BMW-nya yang telah terpanjang di garasinyam dan itu seperti cerita kamu waktu dulu. Tapi aku hanya menginginkan kaya ilmu kaya jiwa kaya karya dan kaya raya tetap terwujudkan cita-citakum” lanjut Awank.
“Wank, aku mencintai kamu itu hanya karena kamu bisa pahami adanya aku, dan aku suka ama kamu itu karena kamu mau menghormati adanya cinta. Wank, aku terharu atas adanya kamu yang selalu perhatian terutama sama ibumu sebelum kau mengenal ku dn mencintaiku, tentunya kamu merasakan itukan? Kedewasaan Astrid mulai terwujud dengan kata dan expresinya hingga membuat Awank terbuai akan adanya. “Dan, aku mencintaimu karena kamu mampu berkarya. Wank, belum tentu orang yang mampu itu murni hasil dirinya, melainkan orang tuanya. Aku yakin suatu saat nanti kamu mampu melebihi dari apa yang teman-temanku miliki seperti adanya kekayaan yang kamu miliki saat ini” lanjut Astrid tegas sekali. Tidak lama kemudian, Astrid tampak menerima tatap mata Awank yang sedang menatap matanya penuh senyum iringi rona wajah dari balik kesnnya masing-masing, hingga terasa oleh kesadarannnya kalau aroma nafas itu makin lama makin terasa oleh nafasnya seiring dengan bibir Awank yang mendekati bibir Astrid. Pejaman mata Astrid nampak menyambut hadirnya bibir Awank yang menyapu halus bibirnya dengan lidahnya, hingga bibir bertarung mesrah sejalan dengan nakalnya tangan mr masing-masing. Mereka berdua sebaya dengan anak kecil yang haus akan es krim, tiba-tiba jemari Awank yang nakal menelusuri tubuh Astrid hingga jemarinya berhasil membuka kancing baju Astrid satu persatu, dan Astrid pun menelusuri tubuh Awank dengan lentik jemarinya yang lemut. Rupanya ia juga berhasil membuka baju Awank hingga embuun panas dari tubuh mereka masing-masing telah menyetubuhi badan mereka berdua dengan desah teriak halus yang hampir tak terdengar itu tak dapat kita bayangkan.
“Sayang, kamu mau ngapain? Aku..., ach honeyyy!” Awank menggigit leher Astrid layaknya Dracula yang memangsa kekasihnya, tangannya yang menelusuri paha hingga ke pusat yang sangat misterius keadaannya membuat, membuat.. yaah sebaiknya adegan ini tak baik kita ceritakan karena cukup kita bayangkan aja yach, Sensor gitu loch.
Putaran jam dinding mengiringi desah mereka hingga adegan asmaranya telah usai. Ya mungkin karena mereka berdua sudah capek memainkan adegan ini, hingga tak terasa mereka berdua tertidur pulas akibat capek. Kepala saat ini tampak berbantalkan dada Awank dengan bermandikan keringat nakal yang telah membasahi tubuh mereka berdua.
Matahari menyinari sudut rumahna hingga cahaya itu berhasil masuk ke dalam rumah melalui celah jendela kamarnya, dan sinar itu tampak menikam mata Astrid seolah-olah ia membangunkan lelap mimpinya. Astrid terbangun dari lelapnya dengan rona muka yang uwah..., ia tampak cantik jika begini, dan rambutnya itu nampak berantakan. Ia langsung bergegas menuju kamar mandi, dan mengenakan busana dengan dandanan rapinya. Itu Astrid berdandan di depan kaca hingga bergegas ke dapur untuk membuat hidangan pagi yang lengkap dengan kopinya.
Seusai mempersiapkan menu pagi, sembari Astrid bangunkan lelapnya Awank yang masih nampak capek lantaran sulit dibangunkan. Tiba Astrid membangunkan Awank dengan mencium bibirnya.
“Oyy...! bangun say, udah siang nich, sarapan dulu yuk,” ungap Astrid penuh perhatian, Awank langsung bangun dari tempat tidurnya setelah Astrid menggelitiki telapak kakinya, dan ia mendadak jatuh di atas tubuh Awank setelah ia di tarik tangannya, sembari bergegas menuju kamar mandi dan merapikan dirinya sambil bersiul-siul penuh warna ceria.
Awank menuju ruang makan setelah penuh penampilan rapi. “Wau! Nampaknya enak banget nich makanan,” dengan kata pujian, tatap Awank menuju meja makan yang nampak penuh dengan sajian menu pagi yang tak pernah ia lupakan dengan hadirnya lentera lilin. “As kamu kok pintar masak sich, dan mengerti lagi seleraku, kalau tiap hari begini yaah enak juga,” rayu Awank, Astrid nampak salah tingkah akan kata buaian itu. “Yeeee! Emangnya enak jadi tukang masak, entar tangan Astrid kan jadi kasar,” manja Astrid mulai bertingkah kayak anak kecil dengan rengeknya. “Iya deeech, mulai besok kita cari pembantu ajach agar tangan halus nyonya Awank tidak jadi kasar, gitu,” jelas Awank. “Nah gitu doong, itu baru sayang namanya, hehehe,” Astrid langsung meraih tisyu. Jamuan paginya berlalu dengan obrolan yang cukup membawa diri masing-masing ke arah romantisme yang bernuansa Dramatis. “Wank! aku tak mau kamu carikan aku pembantu, karena suatu saat nanti aku tak ingin anak kita besar di tangan pembantu,” jelas Astrid, Awank langsung tertawa lebar sambil melihatnya.
Hari demi hari asmara mereka berdua dijalani hingga tak terasa waktu perjalanan sampai 5 bulan, namun dibalik asmara itu misi masing-masing tetap berjalan seperti biasanya. Mereka berdua belum juga kecacatan untuk saling mengetahui dunianya masing-masing, karena asmara mereka berjalan dengan cinta kasih yang tak terlepaskan. Hari-hari misi mereka masing-masing berjalan sesuai dengan aktivitasnya, hingga Astrid berhasil lagi menangkap satu persatu anak buah Awank yang juga tanpa sepengetahuannya. Cerita sama telah ia dapatkan saat kasus bunuh diri karena terdesak tertangkap dan tidak bisa kabur dan ada yang mati oleh tangan Astrid karena berusaha kabur itu terjadi kembali. Begitu pula Awank, ia melakukan pembunuhan pada orang-orang yang telah mengetahui misi gelapnya sekaligus berperan sebagai pengedar senjata dan narkoba lantaran tegsnya Albert. Hari demi hari misi mereka berdua sejalan dengan misinya masing-masing hingga pertemuan Astrid-pun sampai pada asmaranya kembali setelah begitu lama terpisah yang tentunya lantaran sesaknya tugas masing-masing.

BAB TIGA PULUH LIMA

Bulan Mei ini adalah bulan yang penuh arti bagi seorang Astrid, karena bulan ini adalah hari ulang tahunnya, namun dengan hadirnya beserta maknanya ini membuat ia lupa karena sibuknya ia. Awank langsung mempesiapkan kue ulah yang dilengkapi lilin bernomor 23, rumah Awank tampak dipenuhi oleh balon-balon dan tali emas yang bergantungan. Setelah semua taleha usai, sembari membungkus biolanya untuk kado ultahnya setelah biola itu ia kalungi di mana kalung emas ygi dihiasi Liontin. Yang pasti, hari ini akan berkesan baik dan inilah hari di mana kelahiran Astrid terwujud.
Astrid yang masih berada di kantornya nampaknya lagi serius di hadapan komputernya, dan sejenak ponselnya mendadak mendawai setelah Awank meng-Callnya. “Hallo say, cepat ke sini yaach,” jelas Awank dengan suaranya yang terkesan gesh-gesah, hingga Astrid nampak sedikit was-was lantaran tak biasanya Awank terdengar risih gini. “ada apa Wank?” berkali-kali Astrid tanya, namun kata sama ia dapatkan, “Udah, pokoknya cepat ke sini, dan jangan banyak tanya lagi, saya beri kamu waktu 35 menit, maka kalau tidak, kalau tidak kamu pasti tahu sendiri,” jelas aw, dan ponselnya langsung ia tutup setelah Astrid terdengar mau bersuara lagi.
ESCUDO itu melaju dengan kecepatan tinggi, sepanjang jalan benak Astrid penuh tanda tanya atas apa yang Awank maksud itu belum juga ia mengerti. Nampaknya Awank sedang ada masalah, tapi masalah apa? Gerutunya sepanjang jalan. Lika-liku mobilnya mulai tampak tak stabil setelah menurunkan gigi proseneleng mobilnya, dan sebuah sedan baru saja melintas dengan kecepetan yang sama menyalip ESCUDO itu hingga haitnya berdetak tinggi penuh firasat buruk menuju Awank selepas ia tersentak dari lamunannya.
Awank menunggu kehadiran Astrid penuh setia di muka rumahnya. Tidak lama kemudian ESCUDO itu tampak tiba dengan selamat, perlahan ia turunkan gasnya seiring tibanya ia. Dari dalam mobilnya, tatap Astrid terawangi adnya Awank yang nampak bertahan dengan posisinya, sembari langsung menyamparinya setelah ESCUDO itu ia parkir dari kejauhn rumahnya, dan Awank pun belum juga tahu akan hadirnya Astrid. Sengaja ia lakukan itu tidak lain hanya untuk membalas penasarannya yang ia lakukan padanya, karena dipastikan tak ada apa-apa yang terjadi padanya setelah ia melihat adanya. Perlahan langkahnya hampiri Awank dari belakang, langkah Astrid nampak bertubi-tubi hingga tak ada suara jelas dari tapaknya. “Dwoarrr,” Astrid kageti Awank, “Wank! ada apa, hem? kok tiba-tiba aja kamu mendadak telpon aku,” penuh tawa Astrid setelah mendorong keras pundak Awank dari belakang, karena Awank nampak asyik bila terasa kaget yang seperti saat ini ia lakukan. “Udah jangan banyak tanya,” ungkap Awank sambil menarik tanfan Astrid dan berlari ke dalam rumahnya setelah comal-camel atas perbuatannya, namun tawa Astrid belum juga reda dengan langkahnya.
Sesampai di dalam rumah, Astrid mendadak kaget penuh kesan setelah meliat rumah Awank yang penuh akan adanya sejumlah balon-balon, dan berbagai backround lainnya sangat indah untuk dilihat hingga terkesan suasana yang belum pernah ia rasakan selama mengenal Awank. penuh tatap Awank meraih sepasang mata Astrid, sebaliknya Astrid yang berusaha keras menerima tatapnya walaupun harus menengadahkan kepalanya lantaran tinggi badannya yang tidak sejajar, “Manis! HAPPY BIRTHAY TO YOU!” bisik Awank langsung mencium kening Astrid penuh expresi. “Ahh..., sayang..! darimana kamu tahu bahwa hari ini adalah hari ultahku, hem?” serak-serak Astrid sambil menggenggam jemarinya dan mengayunkannya seiring dengan kata-katanya. Kamu perhatian bangeeeet! Aku sendiri hampir lupa say, bahwa hari ini ultahku telah tiba,” lanjut Astrid dengan suara seraknya sambil memukul badan Awank dengan tingkah manjaanya. “Wank! Makin hari kamu kok makin romantis sich,” lanjut Astrid langsung mengapitkan bibirnya, seiring kedip matanya. “As! kamulah orang pertama yang dengan penuh seluruh, keberi dengan rasa apa adanya aku, tadinya kau berpikir bahwa aku akan tunjukkan semua dawai-dawaiku dan seluruh apa yang aku bisa di depan kekasih-ku yang memang membangkitkan adanya aku sebelumnya,” jelas Awank sambil penuh menatap Astrid. Saat Astrid mulai tampak menggerakkan bibirnya untuk bersua, Awank langsung hentikan getaran bibir itu, “Sssst,” desah Awank menempelkan telunjuknya ke bibir Astrid, “As, maaf yach, karena aku tak bisa memberimu sesuatu yang spesial banget buatmu,” lanjut Awank sambil membelai halus rambut Astrid. Awaaank! Kamu kok ngomong gitu sich, aku tuh cukup puas setelah mendengar Happy Birthday tadi, karena kamu adalah orang yang pertama mengucapkan kata itu padaku, apalagai dengan adanya semua ini,” jelas Astrid sambil merentangkan tangannya ke arah kue dan baground-baground itu. “As, sebagai hadiah untukmu, aku hanya bisa memberikan ini padamu, dn aku harapkan darimu agar ini menjadi spesial buatmu,” Awank langsung menjulurkan kado yang sedikit agak besar itu. “Apa ini Wank,” tanya Astrid setelah meraih benda itu. “Buka ajach sendiri,” singkat Awank yang masih tampak berdiri dengan tatap ke arah Astrid yang saat ini sedang merundukkan badannya. Nampaknya Astrid sedang membuka bungkusan itu sangat perlahan sekali, “Wau...! biola hitam,” teriaknya “Wau...! liontin juga,” lanjutnya, namun Awank masih bertahan dengan senyumnya, “Apa maksud semua ini Wank? biola ini kan sebagian dari kebutuhanmu?” Astrid meraih biola itu dan menjulurkannya kembali pada Awank. “As! tolong rawat baik-baik biola ini ya As, karena biola ini ke adalah pengganti diriku disaat aku tidak ada lagi di sampingmu nanti, dan bawalah serta biola ini ke mana pun kamu pergi, karena biola ini adalah sebagian Nadi dari adanya Nadaku,” jelas Awank seolah-olah perpisahan ada di depan mata, namun Astrid belum juga mengerti dengan rasa kebingungan untuk tetatap berusaha mengerti.
“Makasih Wank, aku akan selalu siap menjaga biola hitam ini seperti apa yang kamu katakan barusan, karena aku sudah tahu pasti, bahwa biola inilah yang membantumu mampu berkarya, dan biola ini jugalah yang yang sedikit banyak menterjemahkan adanya hidupmu,” ungkap Astrid mengharukan, ia berkata seperti ini karena terpaksa aja untuk membahagiankan adanya Awank beserta maunya. Terlihat jelas kalau mereka berdua lagi asyik bersama canda tawanya.
“Oh ya Wank, maukah kamu mengiringi aku main piano ini,” serak Astrid hanya Awank menjawab dengan dehem gito lo, “Wank iringilah denting pianoku dengan biola ini, karena aku sudah lama tidak main piano, dan aku selalu berdo’a bahwa ini bukanlah yang terakhir untuk musik yang akan kumainkan,” lanjut Astrid sambil menjulurkan biola itu yang baru saja ia peluk. “Baiklah As, jika itu maumu, dan aku akan menginstrumeni jiwa yang kamu rasakan saat ini,” Bak kelopatra yang berada dalam kata asmaranya, itulah yang mereka berdua rasakan detik ini. “Dan aku mohon padamu As, lah untuk keluarkan semua rasa yang ada dalam hatimu sekarang, karena melalui piano yang akan kamu mainkan, aku akan berusaha tahu apa yang kamu rasakan,” lanjut Awank penuh tatap ke arab bola mata Astrid yang tampak sedikit terlukis abstrak, dan sedikit jelas untuk ia terjemahkan lewat kata hatinya. Astrid mulai posisikan dirinya di hadapan pianonya setelah cukup lama untuknya berungkap rasa, tidak lama kemudian mereka berdua pun lansung memainkan alat musiknya masing-masing seiring dengan bersetubuhnya Nada-Nadi yang mengiang. Denting dan dawai biola yang Awank mainkan mengitari nada dari piano yang dimainkan oleh Astrid yang nampak serius dengan pejaman matanya. Pagi ini cukup indah baginya walaupun cuaca di luar sana nampak sedikit tanda tanya hadirnya hujan, hingga penghujung pagi awan berhasil padamkan matahari hingga air terusir langit. Tutur kata dalam lagu itu mengutus sepercik hujan dari mari air mata Astrid yang nampak basahi kemarau pipinya hingga lagu dari nada yang dimainkan oleh mereka berdua telah usai. Awank nampak beranjak hampiri Astrid yang masih tampak duduk dengan tatapan kosongna, As! marilah ikut aku sebentar,” Awank meraih tangan Astrid. Ia pun menyambut tangan itu, sembari melangkah pasti menuju ruang acara spesialnya. Tempat itu tampak asyik bila dipandang, dan cukup berarti jika dicerna, apalagi setelah Awank menyalakan lilin yang masih tampak tegar di atas kue itu.
“As, sekarang saatnya kamu tiup lilin,” mendengar kata Awank yang penuh expresi wajahnya, Astrid nampak tersenyum dengan debaran hati yang tak bisa dinilai dengan kata mesra yang pernah ia rasakan sebelum mengenal Awank, saat ini ia masih bertahan dengan senyum dan tatap ke arah lilin yang menyala itu. Dari tadi angin nampak berusaha padamkan lilin itu, hingga tak kuasa baginya mengartikan halusnya nafas Awank yang mengitari adanya tarian api dari lilin itu. “As, janganlah kamu pikir apa-apa lagi seperti apa yang kamu pikir sekarang,” serak-serak Awank sambil membelai rambut Astrid, namun Astrid hanya menjawab kata itu dengan expresi. “As, padamnya lilin yang nantinya akan kamu tiup ini adalah lambang,” lanjut Awank. “Em.., lambang, lambang apa Wank?” serak-serak Astrid sedikit manja. “As, aku menginginkan kamu untuk padamkan masa lalumu yang pernah kamu rasakan,” jelas Awank nampak expresikan puitisnya. “Dan perlu kamu tahu As, bahwa tiupan lilinmu ini mengandung sejumlah makna akan sejarah yang pernah kamu lalui,” Astrid nampak memposisikan dirinya di hadapan lilin itu, dan sedikit tatap akan adanya Awank yang saat ini sedang tersenyum lebar menyaksikan adanya Astrid.
“Fhuhhhch...,” dengan hentakan nafas sedikit agak kuat Astrid meniup lilin itu, seraya Awank langsung nyanyikan lagu “HAPPY BIRTHDAY” yang diiringi dengan biolanya. Astrid tampak mengepalkan jemarinya, dan meraihnya ke dadanya. Penuh senyum ia tatap sosok Awank yang sudah tentu pasti penuh roman, sejenak ia palingkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seiring arah tatap Awank.
“Wank, maukah kamu memberiku satu buah hadiah lagi?” ungkap Astrid setelah beranjak dari hadapan meja yang menopangi kue itu. “Kamu mita hadiah apalagi As,” tanya Awank sambil mengangkat pundaknya. “Wank, aku hanya minta kamu mau melukis aku di atas kanvas putih ini.” Jelas Astrid setelah menghampiri kanvas putih yang nampak terpajang tidak jauh dari posisi Awank. “Boleh” singkat Awank sipitkan matanya. “Wank, aku hanya ingin biolamu ini jadi busanaku selain busana yang saat ini aku kenakan,” tegas Astrid dengan tarian jemarinya yang menjelaskan sedikit adanya kata. Awank langsung kaget setelah mendengar ungkap mau Astrid, ia menghembuskan kuat nafasnya dan tak tahu harus menjawab apa setelah Astrid nampak ngotot dengan kemaunnya. “Apa As, tanpa busana katamu?” tanya Awank pelototkan mata. “Iya, kenapa, kamu enggak mau ya Wank, hem? Astrid mulai terbata-bata dengan katanya hingga expresinya sedikit nampak ngambek yang membaur dengan sifat manjanya. “Baiklah As, kalau memang itu kamu mau, dan aku sendiri takkan mungkin menolak permintaan kekasihku sendiri, persiapkan dirimu untuk berfose,” jelas Awank langsung mempersiapkan sejumlah peralatan lukisnya yang tidak jauh dari ruang tengah.
Sepasang mata Awank mulai tampak tajam setelah melihat ke arah Astrid. Astrid nampak berfose dengan posisi tertidur di atas piano, bersama biola dalam peluk mesranya. Tatapnya tanpa kedip ke arah Awank yang sudah dipastikan nampak grogi, dan satu tanganya mulai nampak topangi kepalanya sesaat Awank mulai meraih cat beserta kuasnya.
“Huuuuuch,” desah Awank melihat adanya Astrid, jantung Awank terasa berdetak seiring keringat tubuhnya yang membasahi bajunya. Tanpa piker panjang lagi, Awank melanjutkan lukisan itu dengan iringan musik PAGANINI yang baru saja ia putar. Saat melihat tubuh Astrid yang aduh...., saya sendiri tak bisa membayangkan, karena yang tahu hanyalah hawa sajalah...! yang pasti bukan hawa nafsu loch.
Putaran jam dinding mengiringi tarian jemari Awank dengan kuasnya dihamparan kanvasnya, saat ini kanvas itu mulai sedikit terwujud wajah Astrid yang tidak jauh beda atas adanya. Keringat panas membasahi tubuh Awank yang bergemetar. “Wank!” desah Astrid sambil mengedipkan matanya dengan senyum yang bermandikan lipstik. “Kamu kok tegang gitu sich, kenapa tanganmu tadi gemetar?” sahut Astrid. “Iya As, terus terang ajah aku dari tadi gemeterran,” jelas Awank namun tetap konsentrasi. “Kenapa?” singkat Astrid. “Karena, baru kali inilah ada aku melukis seorang gadis tanpa pakaian satupun, dan yang membuat aku gemetar adalah indahnya tubuhmu As, tubuhmu sangat halus, detik ini aku merasa bermimpi karena berhasil mendapatkan cintamu, dan merasakan adanya kamu sekarang,” jelas Awank tetap bertahan dengan posisinya. “Iya Wank, tubuh indah yang aku miliki hanya untuk kamu Wank, karena kamu juga milikku,” desah Astrid sambil meraba dirinya.
Tidak lama kemudian, perbincangan mereka berdua membuat lukisn di atas kanvas itu telah selesai dengan sempurna. “As, sekarang kamu boleh turun dari piano itu, karena lukisanmu udah jadi,” jelas Awank sambil menyalakan rokoknya. “Awank! aku tidak bisa turun dari piano ini, aku takut jatuh, Wank, tolong ke sini sebentar aku ingin kedua tanganmu menyambut lompatanku,” Astrid rada-rada manja dengan suara seraknya. Sembari Awank langsung menghampiri Astrid, dan menyambutnya seperti apa katanya. “Ayo As, arahkan badanmu padaku, dan melompatlah,” Awank menjulurkan tangannya ke arah Astrid yang nampak menyambutnya. Sembari Astrid langsung melompat ke arah rentangan tangan Awank hingga Awank nampak terpeleset jatuh, hingga badan Astrid berbantalkan tubuh Awank, dan kedua mata mereka saling menatap dengan adanya aroma nafas mereka yang terasa tak beraturan. “As sorry ya, aku tak sengaja,” ucap Awank sambil membelai rambut Astrid yang masih tampak di atasnya. “Enggak apa-apa kok Wank, yang seharusnya minta maaf itu aku,” Astrid langsung membelai halus hidung Awank dengan telunjuknya. “Wank, kenapa kamu gemetar gini sich?” Desah Astrid penu tatap dan senyum mesrahnya. “Enggak kok As, aku saat ini hanya merasa bahagia,” jawab Awank membelai kembali rambut Astrid. “Wank! peluk aku Wank, cepat Wank, peluk, dan jangan pernah kamu lepaskan,” tutur Astrid seolah-olah tidak ingin berpisah. Enah apa yang dirasakan Awank detik ini setelah mendengar kata nyata asmara Astrid yang selalu membuat hati Awank terisi kebahagiaan yang bernilai tak terhingga bila setiap bersama. Tapi cinta yang pasti bukan sekedar Hawa yang menjadi nafsunya, sebelum ia terikat adana jalinan pernikahan. Cinta yang suci hanyalah cinta yang menyatakan tinta di atas buku pernikahan. Namun mereka berdua tak dapat memungkiri atas apa yang mereka berdua jalani, tapi ini bukan termasuk satu fatwa yang menterjemahkan cinta yang pasti dalam ikatan, dan cinta yang suci.
Awank langsung menggigit bibir Astrid setelah ia memeluk tubuh Astrid yang nampa putih, halus dan licin oleh keringat asmara. Tidak lama kemudian usai sudah permainan asmara mereka, dan mereka berdua langsung merapikan kostum mereka masing-masing.
Saat ii mereka berdua nampak duduk santai di atas hamparan rumput taman belakang, dan cukup lama bagi mereka tenggelam dalam perbincangan. “Awank, kapan kita menikah?” tanya Astrid. “Apa As, menikah?” Awank nampak sedikit kaget, dan Astrid pun mulai tersipuh alu sat melihat Awank. kita menikah 2 bulan lagi yach, karena hari-hari ini aku sibuk sekali akan konserku yang masih belum lepas dari masa kontrakku,” alasan Awank diperkuat dengan expresinya. Tap dibenak Awank memang ada pikiran untuk menikahi Astrid, dan cintanya memang tulus untuk Astrid entoh walaupun mereka berdua menyadari adanya dosa besar yang telah mereka perbuat, tapi apa boleh dikata oleh mereka berdua, nasi sudah jadi bubur. “Lantas apa nanti kata orang Wank, seandainya aku menikah sudah didahului oleh kehamilan,” expresi Astrid bertambah serius dengan kata-katanya. “Aaaapa As, hamil katamu? Awank nampak sedikit gemetar setelah mendengar kata kehamilan. “Oke As, kita menikah sekarang juga atas dasar sumpah, dan mari kita undang satu penghulu,” tegas Awank. “Eeeh, emangnya semudah itu kita menikah tanpa harus tahu orang dulu, Wank kita hidup bukan dalam dunia mimpi, ini dunia nyata Wank,” jelas Astrid. “As, menikah bukan cuma satu bendera, dimana orang harus tahu kalau kamu itu adalah isteri saya, dan saya adalah suami kamu, dan penghulu itu adalah simbol di mana kita dituntun menuju aba-aba dan makna dari pihak kedua mempelai dengan satu kalimat syahadat,” jelas Awank sok tahu ajah, emangnya dia hidup dalam dunia Novel apa? Entoh walaupun cintanya tulus, pernikahan itu juga ada undang-undang beserta hukumnya loh.
“As, orang tuamu memang harus tahu akan adanya pernikahan kita, dan apa yang telah kita lakukan, entoh walaupun nantiny ia akan marah seperti yang tak dapat aku bayangkan, aku akan tetap betanggung jawab atas adanya kamu,” Awank kamu berceramah yaach!!” sahut Astrid merasa senang saat Awank bersikeras dengan kata-katanya. “Ih iya Wank, entar kalau kita menikah kamu pengen anak berapa?” celoteh Astrid setelah memalingkan kepalanya di atas lutut Awank. “Kalau aku sich melihat kemampuan kamu, kemampuanmu seberapa besar sich As,” jawab Awank sambil ketawa dan menggelitiki Astrid. “Yee..., yang harusnya tanya itu aku, kamu mampu ngasih berapa, aku sich tergantung kamu!” jawab Astrid, embari langsung berlari mengejar siManis saat mendadak melintas di hadapannya. “Kamu nantang yach,” jawab Awank langsung mengejar adanya Astrid. Penuh tawa ia gelitiki Astrid setelah nampak tertangkap olehnya, dan perbincangan mereka berdua dilalui oleh asmara seperti semula.
Tidak lama kemudian, ponsel Awank mendadak berbunyi, dan Awank langsung menghentikan gigitan bibirnya, dan bergegas pergi dari kejauhan Astrid karena ia takut Astrid tahu. “Hallo,” jawab Awank. “Bos, saat ini juga bos sya tunggu di Kalimantan karena penting, dan saya yakin jam penerbangan menuju ke sini masih ada, oke bos, saya tunggu,” jelas Cuking langsung menutup ponselnya. “Ada apa Wank? wajahmu kok berubah gitu sich,” tanya Astrid setelah menghampirinya. “As!, sekarang juga managerku ingin aku bertemu denganku, karena konserku sudah tiba, dan tolong aku ya As, temanilah biola hitam itu seperti apa yang aku ceritakan semalam, dan bawalah selalu biola itu kemana pun kamu pergi, dan aku berjanji padamu atas dasar sumpahku bahwa aku akan segera datang dengan membawa sejuta cinta, dan aku akan menemui orang tuamu agas segera menjadi wali dari pernikahan kita, tolong rawat baik-baik biola itu, dan sekaligus lukisanmu yang aku lukis, aku mau pergi ke Singapura,” Awank mulai terbat-bata dengan katanya, dan tutur kata itu seolah-olah terkesan perpisahan yang mungkin takkan kembali lagi. Walaupun hal itu telah mendadak Astrid rasakan detik ini, Astrid berhasil membuang jauh-jauh perasaan itu hingga tak ada cacat untuk Astrid ketahui bahwa Awank saat ini mau pergi ke Kalimantan atas adanya misi besar besaran.
“Awank! kamu kok ngomong seperti itu sich, kok kesanya seperti tidak mau bertemu lagi!” tanya Astrid sambil menerima tatap Awank, dan Astrid penuh kesan saat Awank mulai menetesi air matanya. “Say, udah dulu yach, sekarang juga aku haru ke Bandara,” Awank langsung mengecup bibir Astrid lebih keras dari sebelumnya, seolah-olah dirinya tidak akan pernah merasakan hal seperti ini lagi. Sejenak Awank melepasan bibirnya dari bibir Astrid, dan sembari langsung pergi ke Bandara setelah begitu lma bertutur kata.

BAB TIGA PULUH ENAM
Malam yang cerah ini memberikan satu anugerah Tuhan atas pertemuan Astrid bersama kedua orang tuanya. Saat ini bertig nampak di ruang makan sambil melangsungkan jamuan malam.
Ibu Astrid adalah ibu Winata, dan tidak lebih berpredikat ibu rumah tangga biasa, ia selalu setia dalam buaian bapak Sastro. Pada santapan malam kali ini, Ibu Winata melihat anaknya dari tadi sedang memainkan sendoknya di atas piring yang terpenuhi dengan nasi yang lengkap dengan lauk pauknya, seolah-olah mengartikan expresi tak selera makan. “ayah,” sahut Astrid, “ada apa dengan kamu endo’ hem?” tanya bapak Sastro setelah menyeduh minumnya. “kamu sakit yaa,” tanya ibu, “enggak bu?” singkat Astrid. “Lantas,” tanya ibu sambil menghampiri adanya. “Buu, AAAAstrid ha’hamil bu!,” ungkap Astrid sambil menunduk nundukkan kepala, dan sedikit jelas pipinya memerah. “Aaapa endo’ kamu hamil?” tanya ibu langsung melemparkan semua sajian di atas meja, sudah dipastikan kalau dirinya tenggelam dalam emosi, sembari Winata langsung pergi ke pangkuan Sastro dengan kata uring-uringannya. “Sudah Bi,” singkat Sastro pada isterinya.
Expresi jelas Winata tampakkan dengan kata-katanya, karena ia tidak rela memiliki seorang cucu lahir di luar nikah, ibu Winata terus menerus mengis karena melihat keadaan Astrid, begitu pula Sastro yang sudah pasti mempunyai pandangan sama seperti isterinya pada Astrid. Hari-hari baru Sastro sadari bahwa hal ini sudah terjadi, dan takkan bisa diulang kembali. “Bu, sudahlah bu, ibu jangan menangis terus, dan redakan dulu amarahmu,” Sastor berusaha redakan marah isterinya, “Bu, walaupun kamu marah, sedih emosi dan menangis, Astrid juga tetap hamilkan, sudahlah bu, sekarang tak ada yang pelu kita sesali,” lanjut bapak Sastro langsung meraih pundak Winata mendadak bantah tutur Sastro, “Bapak sama anak emang sama,” lanjut Winata terus menggerutu tidak karuan. “Eeeh, orang hamil kok dimarahi, sadarlah bu, hamil itu adalah anugrah, dan ibu harusnya tak perlu tangisi adanya itu, seharusnya kamu tu bangga kalau detik-detik tahun ini dirimu akan punya cucu, hamil itu sulit loh bu,” Sastro berusaha bujuk Winata walaupun perasaannya juga terpaksa karena dipastikan sikap Astrid sudah enggak wajar melakukan hal ini tanpa adanya ikatan akad nikah dulu.
“Bu, ibu pernah lihat bukan, orang yang sudah bertahun-tahun menikah, masih ada juga yang belum dikaruniai anak, bu saya juga akui bahwa penyesalan anakmu, aku dan kamu itu tidak ada artinyam sekarang yang harus kita cari penyelesaiannya, bukan penyesalan,” bapak Sastro berusaha keras untuk tetap meredahkan amarah ibu yang belum juga redah, sedangkan Astrid kali ini masih tampak bertahan di dalam kamarnya setelah acara makan tiga hari yang lalu.
“Bu, aku juga sadar kok, kalau Astrid itu sangat, sangat tak mampu menahan dirinya, dan saya yakin bahwa ia lakukan semua ini lantaran adanya cinta beserta semayamnya nafsu, tapi kita harus bagaimana lagi? Karena ini telah terjadi bu, mari kita sama-sama cari jalan keluarnya, ungkap bapak Sastro berusaha meredahkan amarah isterinya. “Pak, perbuatan Astrid itu sangat, sangat dosa besar kenapa pak? Dan dosa yang paling besar itu adalah berzinah, kenapa anak kita melakukan itu? Dan, dan kenapa kalau memang ia melakukan itu tidak menikah dulu, tentunya kia akan senang hati untuk merestui mereka berdua jika memang benar-benar mereka berdua saling cinta,” jelas Winata terbata-bata dengan kata dan expresinya. “Bu! Dosa dan pahala itu urusan Tuhan, dan kita tak bisa menghindari adanya itu walau apa yang ibu katakan barusan benar, dan Hukum-hukum Tuhan tak pernah berubah terhadap lengahnya ummatnya, dan aku, juga kamu sudah berusaha keras untuk mendidik anak kita, bukan? Nyatanya masih terjadi juga hal seperti ini, dan kita harus bagaimana lagi? Mau marah? Mau apa coba? Bu! Saya harap ini takkan terjadi lagi bagi semua insan setelah tahu sejarahnya,” Lanjut Sastro.
Setelah begitu lama Sastro bertahan dengan rangkaian katanya, ternyata ia berhasil meredahkan amarah isterinya saat susunan akhir kata dari rangkaian itu berhasil membelenggu emosinya, sembari mereka berdua langsung menghampiri Astrid, “Endo’, apakah kamu sehat-sehat saja?” tangan Sastro meraih pundak Astrid, dan ia pun mendadak kaget setelah kedua orang tuanya mendadak tiba di dekatnya, “Baik pak, bu, Astrid baik-baik ajah,” jelas Astrid nampak terseduh dalam tangisan. “sekarang bapak mau tanya, apakah orang yang menghamili kamu itu sudah tahu akan adamu sekarang?,” tanya Sastro penuh tatap, Winata tampak membelakangi Sastr. “Tahu pak,” singkat Astrid sambil merundukkan kepalanya. “Dan, tahukah orang itu, bahwa-sanya kamu itu adalah seorang Polisi Rahasia?” tanya Sastro tambah serius bersama expresinya. “Tidak Yah, sampai saat ini dia tidak tahu tentang karirku yang sebenarnya,” jelas Astrid sambil menyapu air matanya dengan lengan bajunya.
“Endo’, siapa orang yang telah menghamilimu?” tanya Winata langsung meraih dagu Astrid yang masih tampak merunduk hinga tatapnya sejajar, “ayah, ibu, orang yang menghamiliku itu sangat setia sama Astrid, dan juga pengertian,” jelas Astrid hingga mereka berdua nampak serius mendengar penjelasan anaknya. “Terus, dia kerja di mana, dan apa asal-usulnya yang pernah kamu ketahui,” Winata semakin tambah comel, namun Astrid merasa senang saat melihat mereka berdua tidak lagi marah. “Ayah, ibu dia adalah seorang seniman, seperti adanya ayah, tapi dia segalanya, apalagi bermusik,” jelas Astrid, ia mulai menjelaskan latar belakang Awank seperti apa yang pernah ia rasakan dan dilalui bersama. “Oke oke oke, ceritamu sudah cukup ayah mengerti, dan yang jadi pertanyaanku sekarang, mau bertanggung jawabkah dia setelah ia tahu atas adanya kehamilanmu?” lanjtu Sastro sehingga terkesan tidak jauh beda mengintogasi adanya suatu kasus kriminal. “Ayah, Awank sekarang pergi ke Singapura karena adanya ikatan kontrak konser tunggal biola, dan setelah dia pulang dari Singapura, dia berjanji akan menemui ayah dan ibu di rumah ini sekaligus untuk melamar dan menikahi saya,” tutur Astrid tidak jauh beda seperti apa yang Awank katakan padanya.
Wktu seolah-olah berganti secepat perabannya isi angkasa, hingga putaran bumi perjalanan misi Astrid, ia berhasil menangkap beberapa anak buah Albert dengan adanya bantuan Melki. Melki adalah Partenernya, ia sempat utarakan cintanya pada Astrid mulai sama-sama duduk di bangku SMU, namun Astrid tak dapat mengatakan dengan rasa ungkapan yang Melki harapkan bahkan hingga saat inipun ia tetap merasakan cinta itu.
Detik ini Astrid mulai merasa kejenuhan lantaran Ponsel Awank yang selalu tak pernah aktif setelah ia menghubunginya beberapa kali. Hanya biolalah yang selalu setia menemani diri Astrid seiring hadirnya malam-malam sendirinya, dan bintang-bintang yang sama mulai tampak ia saksikan seperti halnya yang pernah ia saksikan bersama adanya Awank di sampingnya waktu itu hingga malam yang sama telah ia lewati kembali. Hingga saat ini tak ada kabar sedikitpun atas keberadaan Awank bersama sejumlah pujiannya terhadap Astrid. Detik ini ia tetap menjalani misinya seperti biasanya. Wajah kecerian Astrid dengan sendirinya berubah atas misi-mis yang ia dapatkan dari atasan, hingga sempat terpikir olehnya bahwa aku harus berusaha melupakan adanya Awank yang menurutnya sudah tak setia lagi, dan selain itu ia mulai merasa lalai dalam tugas-tugasnya semenjk mengenal Awank hingga perjalanannya membuahkan apa yang telah hadir dibenaknyaa sekarang.
Konser Awank yang tadinya berlangsung di Kalimantan sangat membuahkan hasil kesuksesan berserta misi gelapnya walaupun diakhiri dengan adanya kekejaman Albert yang telah merelakan kematian Cuking di tangannya. Albert merasa bahwa Cuking lalai dalam tugasnya saat gagal melangsungkan transaksinya, dan kasus ini brehasil Melki tangani. Untuk kali ini, Albert sangat tegas mengutus Awank untuk melakukan transaksi intan permata yang nantinya akan berlangsung di Kota Malang, tentu saja mendenagar adanya utusan dari Albert ini Awank mau tak mau harus mengikutinya, maka kalau tidak? Albert akan mengancam kematian keluarganya seperti kata-katanya waktu dulu, dan hingga saat ini pun kata tegas itu selalu ia katakan untuk menaklukkan jiwa Awank.
Berkali-kali Awank berusaha keluar dai dunia hitam ini, namun mata pistol itu tidak saja menuju dirinya melainkan adanya keluarganya yang masih tampak damai saat ini di Kota Situbondo. Tak ada firasat aneh yang saat ini Zakaria beserta anak-anaknya yang ia rasakan atas adanya rasa Awank, namun ia cukup merasakan akan kehilangan Awank beserta sikapnya seperti halnya dulu waktu Awank mengerti dan mau mengerti apa yang diharapkan seluruh keluarganya.
Begitu setianya Dedy, hari-harinya selalu mengharapkan kehadiran sosok Awank di layar kaca beserta dawai biola yang ia mainkan, begitu pula kedua adiknya. Dedy merasa bahwa Awank mau bersikap dewasa setelah tinggal di villa itu, dan melanjutkan perjalanan tuk nyatakan khayalan. Terlalu jauh untuk membuat satu firasat, dan hal ini ak pernah terpikir oleh mereka semua bahwa misi Awank kali ini sangat-sangat bertentangan dengan hukum jiwa, bahkan mungkin hukum Tuhan. Telah sampai padany bahwa saat ini ia harus menghilangkan pikirannya tentang adanya Awank yang mungkin baginya telah sukses dengan adanya, dan mungkin saja saat ini dia telah lupa pada Kota Situbondo, sebab masih banyak tugas rutinitasnya yang harus ia kerjakan dengan baik, karena itulah perjalanan hidup. “Untuk apa kita memikirkan orang yang tidak pernah memikirkan kita?, entoh walaupun sodara kita sendiri,” gerutu Dedy selalu aja tertuju pada ingatan masalalunya saat-saat bersama Awank dalam debat obrolannya. Ia bersama keluarga seringkali mencari Awank di Villanya, namun ia tak pernah menjumpai Awank, dan villa itupun selalu terkunci. Mungkin saja ia datang ke-Villa itu saat Awank menajalani rutinitasnya. Tapi berkali-kali ia coba lagi, namun hal yang sama ia dapatkan, dan ia tak pernah berpikir bahwa di mana letak kunci villa itu. Dalam benaknya juga melintas kata, bahwa walaupun mereka dapatkan kunci villa itu percuma saja, karena Awank yang mereka cari tak ia jumpai lagi juga. Mungkin mereka semua sudah bosan kalau setiap saat harus PP dari Situbondo ke Malang mencari orang yang berkali-kali tak pernah mereka jumpai seperti harapannya.

BAB TIGA PULUH TUJUH
Suasana dalam Bar saat ini nampak lebih ramai dari sebelumnya, karena sudah begitu lama sang Biolis memainkan biolanya di Star Bar ini. Albert beserta lima pengawal dan delapan orang partnernya telah tersebar dalam kabin Bar ini dan melangsungkan misinya sesuai konsep-konsepnya yang telah jelas ia sketjoulekan lewat papan tulisnya dalam acara rapatnya semalam, hingga dalam waktu yang telah ditentukan mereka akan berkumpul pada tempat yang telah Alber tentukan.
Misi gelap ini berhasil Melki ungkap, dan Melkipun telah mengetahui adanya Awank yang akan melangsungkan konsernya di Star Bar besok lusa. Ternyata info ini berhasil ia dapatkan dari adanya salah satu karyawan Bar yang melapor langsung pada kantor Polisi, dan kebetulan sekali yang menerima telephone itu Melki. Karyawan Bar itu berinisial Dk, Dk terpaksa melaporkan hal ini lantaran ia mendapat ancaman dari anak buah Albert yang selalu menganiaya teman-temannya hingga ada yang tewas oleh mata pelurunya, dan pembunuhan ini ia lakukan sangat profesional hingga sampai sekarang pu kehilangan orang-orang terbunuh itu dikabarkan menghilang tanpa adanya kabar pembunuhan. Nampaknya perbincangan mereka berdua tidak begitu aman bila Dk menterjemahkannya melalui telephone, maka Melki mengadakan pertemuan khusus atas keterangan lebih lanjutnya Dk.
Nampaknya di sini cukup aman untuk melanjutkan perbincangannya, karena di sini adalah kantor dimana Melki menjalani introgasi terhadap para tersangka berbagai kasus kriminal. Dk melanjutkan keterangannya terhadap adanya misi gelap Albert yang pastinya akan berlangsung besok lusa, ia mengungkapkan lagi bahwa teman-temannya yang dikabarkan hilang tanpa adnya berita pasti itu ternyata telah dibunuh anak buah Albert sesuai dibawanya dengan cara halus ke kandangnya. Nampaknya Dk telah mengetahui latar belakang Albert semenjak ia menginjakkan kakinya di Bar itu, dan iapun sempat tunduk sama perintah Albert saat ia bersama anak buahnya menyebarkan semua barang illegalnya di tempat itu, dan barang siapa yang tahu dan berusaha memberi tahu hal ini pada pihak yang berwajib, maka Albert akan membunuhnya seperti orang-orang terdahulu.
Panjang lebar Dk memberi titik terang dalam misi gelap Albert pada Melki sesuai dengan adanya, namun rasa ketakutan Dk selalu saja menghantui, dan hal yang ia rasakan ini tentu pasti memberi satu pengertian pada diri Melki. Setelah panjang lebar, Dk mengutarakan rasa ketakutannya pada si Albert yang kerap akan menimpa keluarganya juga, Melki hanya menjawab, “Kau tak perlu takut, untuk membela satu kebenaran memang penuh rintangan, perlu kamu tahu bahwa keteranganmu ini telah memudahkan kami untuk menumpaskan semua kejahatan di muka bumi kita ini.” Dk mulai sadar bahwa dirinya berada dalam posisi kebenaran walaupun perasaan itu selalu hadir di benaknya, “Pak menurut bapak bagaimana, apakah aku harus tetap kembali bekerja? Atau aku harus berhenti untuk sementara waktu?” tanya Dk masih tampak ketakutan, untuk menyalakan rokok yang baru saja Melki julurkan itu saja sudah tampak gemetar hebat, sehebat keringatnya yang mengalir seiring gelombang getar seluruh tubuhnya. “Anda tak perlu cemas, dan bersikaplah seolah-olah tak ada apa-apa di antara kita, dan anda harus kembali bekerja seperti biasanya, maka kalau tidak, kalau tidak orang-orang itu akan 100% mencurigai kamu sebagai pusat kegagalannya,” Melki penuh ketegaran dan tampak santai menjawab semua pertanyaan Dk. Diraihnya pistol dari ikat peinggangnya, dan mengusapkannya pistol itu penuh tatap tak sabar ingin memusnahkan bajingan-bajingan itu.
Pagi itu penuh dengan rasa kecemasan, ia mulai merasakan bahwa umurnya tidak akan lama lagi. Perlahan ia turun dari Holdennya dan melangkah pasti dengan gontai yang masih penuh pikir panjang atas adanya sebelumnya dia. Penuh tatap ia menikmati adanya kabin beserta isinya, dan bayangan-bayangan masa lalunya bersama Astrid mulai tersorot mengisi memory matanya. Tersenyum lebar ia menatap bayangan Astrid di atas piano itu, hingga senyuman itu mendadak lenyap saat si manis melintas di hadapannya lantaran bergelut dengan kekasihnya. Diraihnya si manis olehnya dalam pelukannya penuh mesra, dan senyuman itu mulai tampak bersemi kembali saat ingatannya mulai tertuju pada Astrid ketika ia bercumbu dengannya. Perlahan ia hampiri ruang-ruang yang pernah ia lalui bersama dengan Astrid, hingga langkahnya saat ini kembali ke ruang tengah. Perlahan ia raih dipenuhi oleh tulisan. Nampaknya kemarin lusa Astrid sempat kemari, dan tulisan itu telah menjelaskan semua rasa-rasanya. Penuh tawa, suka, duka dan kehilangan rasa Astrid telah tertuang dalam lembaran itu. Lembaran itu juga menjelaskan, bahwa dirinya selalu menghubungi ponsel Awank, namun mulai perpisahannya waktu itu ponselnya memang sengaja ia tak aktifkan.
Hingga detik ini Awank tak bisa berbuat apa-apa, dan tak dapat dipungkiri olehnya bahwa selama itu juga ia memang tak ingin jauh-jauh dari diri Astrid. Diraihnya ponselnya, dan sudah dari tadi ia berusaha Call Astrid walaupun karena terpaksa lantaran misinya akan berlangsung nanti malam, dan ia pun tak mau Astrid terlibat dalam ancaman Albert walaupun Albert tidak tahu tentang adanya.
Jawaban yang sama ia dapatkan, setelah berkali-kali ia tekan nomor itu, ternyata ponsel Astrid telah berganti nomor. Awank nampak mendesah setelah merasakan adanya itu, perlahan ia ambil penanya setelah lembaran-lembaran kosong itu mulai tampak di tangannya. Kini lima lembar kosong itu sudah ia penuhi dengan kata-katanya, dan entah kenapa? Perasaan itu selalu saja menghantui dirinya, seolah-olah perasaan itu menjelaskan bahwa ia takkan bertemu lagi dengan Astrid. “Apa mungkin mimpi-mimpi suramku akan nyata?” penuh tawa ia hampiri kanvas putihnya yang tampak berdiri di sisi sudut ruang. Perlahan ia lambaikan kuasnya dia atas hamparan putih itu dengan satu pasta cat di tangan kirinya, kepalanya mulai tampak terangkat kearah kanan kiri sesuai dengan sinis dan senyumnya menilai adanya hamparan kanvas itu yang saat ini sedikit jelas membentuk dua sosok. Di asbak yang tadinya nampak kosong itu, kini terlihat jelas kalau asbak itu sudah tak muat lagi oleh sejumlah puntung rokoknya. Namun perjalanan asap rokok itu sudah menjelaskan titik terang adanya isi dari kanvas yang saat ini nampak finishing, ternyata sosok balita yang tampak damai lantaran sedang menikmati ASI dalam pangkuan bundanya, namun sang bunda nampak kecewa lantaran tak adanya ayah dari balitanya untuk rasa harmonisnya. Biola itu nampak gagah dan menitikterangkan background bahwa kedua sosok itu takkan merasa kesepian selagi biola itu selalu ada di sampingnya, dan mau mendawai. Tanpa Awank terasa bahwa saat ini air matanya mengalir setelah menikmati adanya imaji yang terwujud.
Hari sudah mulai tampak gelap, hal ini semakin membuat dekatnya nafas pada sang nafas. Semua lembaran yang tadinya ia tulis, ia susun rapi di atas pianonya beserta buku agendanya yang telah menjelaskan asal usul sebelum datang masanya, dan lukisan itu nampak bersanding dengan piano itu. Tanpa kenapa, rasa itu seolah-olah membuatnya sebuah kepastian? Kucing itu nampak merasakan adanya Awank, dan seolah-olah memberikan kata sambut selamat jalan pada Awank selepas Awank menciuminya, dan ia mendadak tinggalkan si manis saat TERRANO hitam bersama sejumlah orang-orang Albert mulai tampak menjemputnya.
Begitu kencangnya TERRANO itu melintasi bebukitan, dan sepanjang jalan ia merasakan kasihan dengan berjuta rasa yang tak dapat ia bayangkan apabila dirinya tak akan lagi hadir dalam peluknya Astrid seperti tak terhingganya harapan mereka berdua seperti masa-masa indahnya, dan iapun merasakan keadaan Astrid kini yang pastinya penuh rasa kebencian atas dirinya yang tak ada lagi di sampingnya.
Sudah begitu lama Astrid melangsungkan penangkapan terhadap tersangka, namun hal itu ia lewati dengan adanya baku tembak atas adanya perlawanan. Pada akhirnya Astrid berhasil menguasai mereka, dan meskipun meninggalkan Astrid bersama laskarnya menuju Bar Star Party. Mobil dinas itu sudah ia penuhi dengan tujuh tersangka di antara lima tersang yang tewas bersama sejumlah barang bukti yang diantaranya adalah berbagai macam tipe dan bentuk senjata api, dan narkoba, tegas sekali Astrid mengintrogasi mereka semua selepas tiba di kantornya.
Albert mulai tak sabar menunggu tamunya yang pastinya akan membeli sekoper intannya, namun kejenuhan yang ada dalam pikirannya itu mendadak hilang seiring hadirnya Awank bersama peti biolanya di Bar ini. Penuh tatap bersama sinisnya hingga terkesan ego, namun ia tak merasakan itu. Awank melangkahkan kakinya kearah panggung itu hingga tapak sepatunya hampir terdengar jelas. Para penontonpun nampak berdiri penuh sambut akan hadirnya sang biolis itu. Pemandu acara itu begitu mempesona dengan kostum yang ia kenakan malam ini, tatapnya mengiringi senyum setelah ia mempersilahkan Awank bersama personilnya untuk naik ke atas pentas.
Begitu menakjubkan bila kita melihat kearah panggung, nampaknya sebelum kehadiran Awank di Bar ini para personilnya sudah merangkai adanya, dan sesuai dengan konsep yang Awank berikan padanya minggu lalu. Di atas panggung itu nampak dilengkapi oleh sejumlah alat-alat musik Tradisional Java, Drum, Kulintang, Gamellan dan berbagai macam alat musik yang mengandung bahan-bahan metal nampak tersusun rapi sesuai dengan musik yang nantinya akan mereka mainkan. Nampaknya personil Awank malam ini hanya tiga orang lantaran ketiganya mati di tangan oleh pihak berwajib.
Lagu pembuka ia mainkan Instruments “Romantic Queen” lagu ini sempat ia mainkan bersama tremolo di kampusnya masa-masa telah lewat, dan ingatan-ingatan masa lalu itu mulai terasa mengitari dawai beserta musik pengiringnya. Para penonton nampak tersenyum dengan kenangannya masing-masing lantaran biola itu memang terdengar menonjolnya dawainya, dan tak dapat dipungkiri oleh sejumlah penonton, kalau dawai itu saat ii mampu membuat para jiwa menangis, tersenyum, tertawa, bahkan mampu untuk merubah warna rasa jiwa berbeda. “SAATOS RAIN”, itu mulai tampak menghujani jiwa hawa yang tampak serius mencerna alunan nada-nada itu, hingga suasana sengaja Awank buat tidak terlalu monoton dan dawai-dawai itu memang mampu menghipnotis semua pendengar. Namun nada-nadi yang Awank nyatakan dalam musiknya itu seakan-akan bak perjalanan lentera lilin menuju kematian tanpa asap yang mengasapi kematiannya, karena Melki beserta tim Busernya sudah siap dengan pelatuk pistolnya masing-masing. Penonton mulai kompak berdiri beserta histeris tepuk tangannya setelah instrument ke empat ia mainkan, dan personil itu nampak mengintrokan alat musiknya masing-masing sesaat Awank menghilang dari hadapan penonton.
Histeris penonton mulai terdengar kembali setelah Awank muncul dengan kostum yang menurutnya sangat-sangat aneh lantaran tak biasa terlihat, ia nampak mengenakan kostum jaket levis kesayangannya yang tidak jauh beda warna adanya waktu itu, sumbu kompor yang nampak menjahiti melepuhnya sejumlah sayatan bertambah nalar penuli lilit tubuhnya oleh sumbu-sumbu kompor itu, dan kepalanya ia tutupi dengan sarung kepala yang layak untuk dipakai para nelayan ataupun petani, hingga yang dapat penonton lihat hanyalah tatap matanya saja.
Albert meranjakkan diri keluar Bar setelah tamu yang ia tunggu-tunggu dari tadi meng-Callnya untuk mengajaknya bertemu di kawasan luar Dinoyo, dan iapun segera datang setelah itu bersama sejumlah orang-orangnya. Nampaknya misi Alber yang satu ini terdengar jelas oleh Dk selepas mengantarkan minumannya kearah mejanya, dan iapun segera beranjak kearah toilet untuk mengkonfirmasikan keterangan ini kepada Melki yang masih tampak di sudut panggung. Mendengar adanya ini sebagian prajuritnya langsung ikuti ke mana Albert pergi setelah menghubungi Astrid beserta sejumlah Team Busernya, dan ternyata Melki itu masih tetap siaga menjaga adanya Awank yang masih ternilai sebagai motif tersangka. Namun laskar Melki sudah tampak menyebar dalam kabin maupun luar Bar ini sesuai dengan penyamarannya masing-masing, hingga ia berhasil menguasai kabin sesuai rencana. Dari sudut ruang itu Melki mengkonfirmasikan anak buahnya untuk menguasai panggung, seolah-olah jangan sampai pemain biola itu lolos setelah aksi panggungnya usai. Nampaknya proses penangkapan ini penuh aba-aba dari adanya kode-kode mata dari Dk yang masih tampak setiap melayani pengunjung, dan hampir tidak jelas untuk dilihat kalau di balik dasi kupu-kupu Dk itu terdapat mikrophone.
Alat musik itu mulai ia mainkan seiring kecepatan nada yang keluar dari drum. Musik metal telah ia mainkan, dan nampak jelas untuk disaksikan kalau muda-mudi dari hadirnya pengunjung itu mulai tampak beranjak arah bawah panggung, sembari semuanya mulai tampak berjingkrak-jingkrak seiring kerasnya musik yang mengalun.
Dari dulu Awank sudah sempat merancang aksi panggung ini, karena menurutnya musik adalah sebagian dari nadinya. “Metal” adalah Baja, dan baja itu termasuk dari alat-alat yang ia mainkan sekarang. Gamelan, Kulintang dan Drum itu mulai terdengar jelas sedang berdemo dengan kecepatan jemarinya masing-masing menjelajahi nada, dan Awank mulai tampak menonjolkan dawai biolanya beserta gaya panggungnya hingga warna musik semakin terkesan bak metal Karawitan. Para pengunjung nampak tenggelam dalam kerasnya Three Mollow arus nada metal itu, begitu pula Awank bersama personilnya, hingga suasana semakin terdengar histeris penuh teriak juga emosi. Dari tadi Melki tampak tanpa kedip menatap mereka semua yang masih tampak di atas panggung, hingga ia selalu siap untuk mencekik pelatuk pistolnya dan mengarahkan pada semua tersangka apabila nantinya tetap melawan seperti halnya orang-orang sebelumnya. Biolis itu mulai merasakan aneh setelah tatapannya melihat orang yang berbaju hitam itu selalu tatapi dirinya dari bawah panggung, dan tidak seperti yang ia rasakan sebelumnya ia merasakan hal ini.
“Jangan bergerak,” teriak Melki sambil mengangkat pistolnya, dan mengarahkan pistolnya kearah panggung. Para prajuritnya juga melakukan hal yang sama terhadap pengikut Albert yang masih berada di bawah maupun atas panggung, namun hal ini ia lakukan bertepatan dengan lagu terakhirnya telah usai. Tanpa basa-basi lagi orang-orang Albert yang tampak di sudut meja itu langsung mengeluarkan pistolnya dan mencetuskan pelurunya kearah lawan, para penonton mulai tampak tiarap setelah mendengar aba-aba dari Melki, hingga kedua pengunjung Bar menjadi sasaran peluru penjahat itu. Peluru-peluru itu mulai terkesan mengerikan, karena sudah tentu pasti akan menjadi fatal jika sasarannya fatal. Baku tembak mulai tampak terjadi penuh percikan api, dan Awank pun mulai tampak panik saat melihat anak buahnya satu persatu mulai tewas di tangan musuhnya dari atas panggung, tak habis pikir olehnya saat peluru pistol di tangannya sudah habis. Detik ini ia mulai terkepung, tak panjang lebar lagi untuk Awank berpikir guna menyelamatkan dirinya.
Ia langsung lemparkan sejumlah gas beracun itu kearah lawan, hingga di dalam ruangan terpenuhi oleh gas kimia, dan semua bertambah panik setelah gas itu mulai menyebar bersama reaksinya. Semua mulai tampak batuk-batuk dan sedikit rasa mencekik leher mulai ia rasakan semua. Awank berusaha ngelak kembali dari sejumlah peluru yang tertuju padanya, dengan daya dan upaya ia berhasil keluar pintu dari belakang panggung. Melki ikut menoleh kearah Awank yang saat ini berusaha kabur, namun yang membuat ia heran kenapa Awank masih sempat meraih biolanya setelah melihat dirinya jelas-jelas dalam kesulitan, dan sarung kepalanya masih tetap ia kenakan.
Melki langsung menghubungi Disaswa yang masih berada di kantor. Ternyata Disaswa berhasil menghentikan misi Albert beserta cecunguknya selepas tiba di TKP, dan iapun langsung menguasai TKP beserta sejumlah personil dengan sejumlah peralatan tempurnya. Perjalanan Disaswa menangkap Albert beserta cecunguknya itu tidak jauh beda dengan Melki sekarang, baku tembak itu juga terjadi dalam proses penangkapan, karena Albert beserta cecunguknya itu tetap saja melawan walaupun satu persatu cecunguk itu berhasil ia tembak Team-nya. Mendengar adanya info beserta ketegangan yang baru saja Melki jelaskan melalui ponselnya, Disaswa segera turun tangan bersama sebagian rekan-rekannya setelah tugas yang satu ini berhasil ia kerjakan.
Peperangan itu bertambah seru saat pasukan Disaswa hentakkan pelurunya masing-masing kearah lawan. Disaswa tampak semangat, dan gagah dengan kostum yang ia kenakan, dan alangkah jentiknya dia saat bersalto-salto melintasi lawan, bersama pelatuk pistolnya yang memang pada akhirnya pelurunya menepati sasarannya. Kalau dilihat dari gerak-gerik Disaswa, ia banyak menguasai ilmu bela diri, namun pada akhirnya Albert berhasil tewas oleh mata pistol yang dikerahkan Disaswa ketika ia berusaha kabur bersama mobilnya, dan peluru itu mulai Disaswa posisikan tepat tangki mobil itu yang masih belum tampak jauh darinya. Dahsyatnya kobaran api dari ledaknya mobil itu menikam jelas mata Disaswa, dan iapun langsung meniupkan mata pistolnya yang masih tampak berasap ala James Bond, dan semuanyapun mulai tampak hormat akan keberhasilan Disaswa. Ia langsung menyerahkan kasus ini kepada teman-temannya setelah tersangka mulai tampak ia kuasai dengan belenggunya borgol, dan iapun langsung menuju mobilnya hingga melaju dengan kecepatan tinggi.
Kini saatnya ia membantu Melki yang hingga detik ini masih bertarung melawan penjahat bertopeng itu. Awank menyodokkan kepalanya kearah perut Melki sekuat tenaga hingga pistol yang masih Melki pegang terlempar jauh darinya, hingga ia terdorong kearah mobil hitam itu dan kepalanya membentur keras ke kaca mobil itu dengan suara keras pecahan kaca itu. Awank melanjutkan langkah kencangnya setelah melihat Melki terkapar di bawah lututnya, namun Melki berusaha bangkit setelah merangkak meraih pistolnya, “Berhenti! Dor dor....! teriak Melki langsung mengarahkan mata pistolnya tepat kaki Awank yang sedang berlari kearah rerimbunan mobil. “Dor..! peluru Melki kali ini tepat sasaran. Awank mulai berdarah saat peluru itu mulai bersarang di kakinya, namun ia tetap saja berusaha lari dengan satu kaki pincangnya tanpa harus membuka sarung kepalanya. Dengan nafas tak beraturan Melki berusaha kejar Awank, namun ia tak dapat temukan dimana Awank. Ceceran darah itu sangat membantu untuk menemukan dimana Awank bersembunyi, perlahan ia langkahkan kakinya kearah barisan mobil kuning itu, namun sesaat kemudian, “Dhakk.., bhuk bhuk.. dhakkk,” Awank membantai keras Melki dengan peti biolanya hingga ia mulai nampak terkapar lagi, dan pistol itu terlempar jauh ke bawah mobil. Dengan daya tersisah, Awank memukuli Melki beserta teriaknya ala vocal Rocks dengan keringat darahnya.
Disaswa mulai kebingungan mencari adanya Melki setelah urusannya di Bar itu mulai tampak reda setelah ia hampiri sejenak, dan kini telah ditangani pihak berwajib setelah Team Buser itu mengkonfirmasikan adanya kejadian ini. Disaswa berlari menuju kerumunan mobil setelah turun dari mobilnya, dan salah satu mobil yang tampak bersepihan kacanya itu sudah dipastikan olehnya bahwa Melki ada di antara mobil itu. Tanpa pikir panjang lagi, ia berlari kearah Melki yang saat ini masih mengejar Awank, namun akhirnya stamina Awank dipastikan bekurang saat dirinya mulai bernafas tak beraturan arah, dan wajahnya meneteskan keringat bercampur darah hingga mewarnai penuh sumbu kompor itu. Melki langsung menerkam diri Awank dari belakang hingga mereka berdua berguling-guling di hamparan aspal. Melki hampir saja kehabisan tenaga ketika membantai kuat kepala Awank dengan gumpalan jemarinya. Akhirnya jemari Awank berusaha untuk menggepal juga sesuai kelakuan Melki padanya, dan menghantam kuat tangan Melki dalam genggaman pistolnya. Lalu di balikkannya Melki hingga terlentang di bawahnya, dan ditekannya tubuhnya itu setelah terkapar di aspal hingga diseretnya kakinya itu. Melki berhasil meraih pistolnya kembali setelah berusaha keras terjang tubuh Awank, dan ia membalas perbuatannya itu. Kini nyawa Awank mulai tergantung oleh pelatuk pistol yang baru saja Melki raih, “Hahahaa..., phich..., Melki membuang ludahnya keras-keras ke muka Awank, “Bangsat..., kini saatnya untukmu membayar segala perbuatan kriminalmu dengan nyawa,” teriak dan tawa Melki langsung menghampiri muka Awank, dan mata pistol itu mulai menempeli pipinya setelah baru saja ia meludahinya lagi. “Hahaha..., puji Tuhan, sekarang kamu berhasil menguasai jiwaku, namun, namun, hahaha..., bodohnya aku, bodohnya,” Awank menampar pipinya sendiri, dan tatapnya ia nampak mengexpresikan untuk kuda-kudanya meraih pistol itu. “Huaghhhh...,” Awank langsung menyodokkan kepalanya ke perut Melki, hingga ia terdorong keras ke arah dinding toko. Awank tak membuang-buang waktu. Ia langsung berdiri dengan tangannya yang masih mencekik keras-keras leher Melki. Selama Melki masih memegang pistolnya, ia langsung mencengkram pergelangan tangannya, menekannya kuat-kuat dan mengguncangkannya sekuat tenaga, supaya pistol itu cepat-cepat lepas dari tangannya. Melki mulai tampak tak berdaya saat dirinya dibentur-benturkanya ke tembok beberapa kali terengah-engah, dan darah itu tanpa henti melumuri sarung kepalanya.
Disaswa belari sekuat tenaga setelah melihat, dan diraihnya ceceran darah yang masih beraroma segar. Sedikit agak jelas walaupun tak terlalu jauh pada sosok Melki yang detik ini nyawanya sudah tergantung pada pelatuk pistol yang dikendalikan penjahat bersarung kepala itu, Awank langsung meraih pistol itu, dan diarahkannya sejajar tepat ke kepala Melki. Dengan ngos-ngosan yang tampak berkepanjangan, darah di kepalanya semakin deras akibat kerasnya hantaman Melki tadi. Hanya tatap matanya saja yang dapat Melki lihat adanya Awank yang nampak sinis dengan kata-kata terakhirnya, dan perlahan ia cekik pelatuk pistolnya setelah mata pistol itu menempel keras ke dahi Melki. “Selamat tinggal kawan,” suara berat Awank sambil memiringkan kepalanya perlahan ke sisi kanan, dan ia langsung mencekik setengah pelatuk pistolnya. “Dorrr, Dorrrrr,” peluru Disaswa langsung menyerempet punggung penjahat bertopeng itu setelah peluru yang pertamanya bersarang di kakinya, hingga pistolnya terjatuh di hadapan Melki. Awank langsung memalingkan mukanya kearah dimana peluru itu berasal seiring jatuhnya badannya. Disaswa langsung menghampiri penjahat bertopeng itu dengan langkah perlahannya setelah meniup mata pistolnya yang baru saja berasap. Penjahat bertopeng itu tak kuat lagi berbicara, apalagi untuk meraih sarung kepalanya, untuk memastikan siapa dirinya sebenarnya siapa dirinya sebenarnya di hadapan Astrid yang masih tampak gagah. Kepalanya berlenggak lenggok melihat adanya Astrid yang masih tampak gagah bersama pistolnya. Tentu saja Astrid belum begitu jelas untuk mengetahui siapa sebenarnya penjahat bertopeng yang saat ini terkapar itu, dan iapun tak ingin mengotori badannya dengan darahnya. Tangan penjahat itu berusaha meraih adnaya Astrid setelah kepalanya berada tepat di kaki Astrid. Disaswa kembali mencekik pelatuknya setelah tangan penjahat bertopeng itu berusaha agar bisa menyentuh diri kekasihnya untuk yang terakhir kali ini. “Aa aassssh...,” teriak penjahat bertopeng itu, namun suara teriaknya itu tidak begitu jelas untuk Astrid dengar, dan iapun menembaknya kembali tanpa harus membuka sarung kepala penjahat itu terlebih dahulu setelah tangan itu berhasil mengotori badannya dengan adanya darah yang membanjiri sosok penjahat itu, dan hal ini semakin membuat jantung Disaswa berdetak rasa benci. Yang jelas penjahat itu sekarang sudah tewas tepat di bawah telapak kakinya, dan rasa keinginan penjahat bertopeng yang terakhir ini berhasil ia dapatkan walaupun hanya sekejap saja tangannya tadi berhasil menyentuh kekasihnya, iapun memejamkan matanya untuk selamanya setelah berhasil mencium kaki Astrid penuh dengan rasa kesan atas adanya dosa yang baru ia mengerti, dan inilah jawaban dari dosanya.
Sejumlah bunyi serine bersama kelap-kelip lampunya mulai tampak menghampiri mereka, “Dis, makasih yach, kamu telah menyelamatkan aku, dan aku berhutang nyawa padamu,” jelas Melki sambil mencari perhatiannya dengan membantu membersihkan sejumlah darah yang mengotori seluruh badannya. Seiring tibanya sejumlah pihak berwajib beserta mobil serinenya, Disaswa menghentikan gerutunya bersama Melki atas adanya darah penjahat itu yang mengotori dirinya, dan ini membuatnya semakin benci karena darah itu sudah menodai bajunya. Tanpa henti Melki dari tadi tampak merayu Disaswa, “Ach, tak apa, itu adalah tugas kita, bukan? Dan kamu kan masih bisa mengganti bajumu dengan yang baru.” Disaswa mulai tampak kaget setelah tatapnya melihat peti biola itu, kayaknya ia masih menimbang-nimbang walaupun dirinya belum mengenal pasti siapa pemilik benda itu sebenarnya, dan kenapa benda itu harus ada di sini? “Dis, benda itu adalah barang bukti,” jelas Melki setelah panjang lebar Disaswa bertanya. Benda itu baru saja pihak berwajib membawanya ke dalam mobilnya beserta tersangka yang masih bertahan dengan sarung kepalanya.
“Stopp...,” Disaswa langsung menghentikan sejumlah petugas yang tampak mengusung tersangka untuk memasukkannya ke kabin belakang mobil itu. Petugas itu langsung meletakkan mayat itu dalam mobilnya setelah aba-aba dari Disaswa, perlahan ia buka serung kepala tersangka walaupun harus menahan sejumlah bau anyir yang menikam hidungnya. “Titititidakkkkkkk...., hah hah hah hah hah..., tititidak, tidak, ini tidak mungkin, ini mimpi, ini mimpi, ini hanyalah mimpi,” teriak dan tawa Disaswa tampak sedikit shock setelah membuka sarung kepala penjahat tadi, dan ia melihat jelas siapa sebenarnya yang baru saja ia bunuh, ternyata yang Disaswa bunuh adalah kekasihnya sendiri, dan ia adalah ayah dari anak yang masih ada dalam perut Disaswa. Disaswa merasa ini di luar kesadarannya dengan expresinya yang masih bertahan. Ia langsung berlari menghampiri Melki, dan semua petugas nampak heran melihat perubahan drastic Disaswa setelah itu. “Mel, hah hah hah...,” desah Disaswa. “Iya Dis, ada apa? Ada apa Dis?” tanya Melki tampak kebingungan setelah melihat merahnya muka Disaswa yang penuh dengan tangis. “Mel, Mel tolong jawab aku Mel, please... tolong jawab Mel, ini bukan mimpi kan Mel, hari ini aku tidak bermimpi kan Mel?” Disaswa mulai terbata-bata dengan kata-katanya, dan expresi shocknya bisa terbaca jelas di mata Melki. “Dis! Ada apa sebenarnya dengan kamu? Kamu kenapa Dis? Kamu kok kayak yang kesetanan gini sich,” tanya Melki menghentakkan keras pundak Disaswa setelah sepasang tangannya mencengkramnya. “Enggak Mel, aku enggak kenapa-napa Mel, aku hanya mau tanya ama kamu, sekarang aku enggak bermimpi kan Mel?” berulang kali Disaswa ngotot dengan pertanyaannya. “Enggak Dis, kamu enggak mimpi, bagi aku

BAB TIGA PULUH DELAPAN
Tujuh minggu sudah paska kematian Awank, kini Dedi nampak hadir di villnya bersama salah satu koleksi biol pemebrian Awank. Perlahn langkahnya menuju pintu villa itu setelah ia memarkirkan mobilnya jauh-jauh dari villa itu. Tatap Dedy nampak penuh hitam saat menyoroti ruangan-ruangan, karena ruang penuh gelap dan sejumlah rumput liar nampak menjalar setubuhi dinding hingga hampir saja menerobos masuk melalui setiap celah pintu jendela. Dedy baru leluasa melihat isi kabin setelah sejumlah gorden jndelanya ia buka satu-persatu dan menyingkirkan rumput-rumput itu. Tatapnya langsung terpaku pada susunan kertas yang beberapa waktu lalu Awank tulis setelah dirinya menikmati lukisan Awank yang masih tampak tersusun rapi dan lembaran-lembaran itu telah berterbangan setelah angin leluasa mnerjang sejumlah benda ringan.
Nampaknya ia sudah tahu jelas siapa Awank dan siapa Astrid setelah membaca lembaran-lembaran yang baru saja ia baca dan ia pun mengambil satu lembar kertas yang berisikan puisi besert kata penjelasan dan puisi yang ini adalah pusisi yang pernah Awank baca waktu pertama kali sosok Astrid menginjakkan kakinya di sini, di villa ini.
Dedy langsung bergegas menuju mobilnya, setelah tulisan-tulisan yang baru ia baca mendadak menyentuh hatinya. Diraihnya biola tua itu dari samping kursi kemudi, ia langsung beranjak ketaman belakang setelah melepaskan bajunya dan melemparkannya ke bangku belakang. Nampaknya ia masih menimbang-nimbang dengan adanya awal sejarah cinta Awank bersama Astrid. Ia berusaha menterjemahkan kembali sejumlah kenangan-kenangan indah itu setelah lembaran itu ia baca berulang kali. Di atas batu hitam itu ia mulai wujudkan kembali hadirnya sosok Astrid sesuai dengan isi lembaran.
ESCUDO itu nyaris tak terdengar jelas suaranya untuk Dedy dengar, hingga tiba perlahan di halaman taman depan villa yang tak indah lagi. Perlahan langkahnya menuju pintu rumah itu setelah tidak begitu lama ia memarkirkan mobilnya, namun tatapnya sempat menikmati adanya sejumlah rerimbunan rumput liar yang tampak menyetubuhi bunga-bunga. Ia mendadak kaget setelah tatapnya tertuju pada pintu yang nampak jelas terbuka lebar. Perlahan tatapnya soroti ruang satu-persatu setelah melintas masuk melalui pintu. Lembaran di atas piano itu sudah tidak tersusun rapi lagi tanpa ada rasa yang membebani pikirannya bahwa awal kenyataannya tidak begitu. Ia nampak terkesan saat membaca agenda Awank yang menceritakan perjalanan hidupnya, dan kini ia mulai meraih lembaran-lembaran itu dengan iringan tangis membebani kesan adanya isi lembaran itu.
Alunan nada dari lagu itu sangat menggetarkan hati Astrid dan hatinya pun mulai tergores akan dari setiap jelajah jemari tangan Awank yang mendentingkan piano itu hingga nyanyiannya usai. Astrid langsung berdiri dan mengiringiny dengan tepuk tangannya. “Wank, kalau aku boleh tahu….apa maksud dari lagu yang kamu bawakan barusan itu, hem?” tanya Astrid sedikit mengangkat dagunya. Padahal Astrid sudah pasti tahu jika dia memang benar-benar jeli mendengar lagu yang baru usai dinyanyikan itu. Bahwasannya detik ini Awank mempunyai rasa seperti yang Astrid rasakan, tetapi Astrid belum yakin karena belum ada kata-kata kepastian dari Awank.
Penuh tatap Awank menatapa sepasang mata Astrid yang dipastikan malu-malu, terkesan saat berusaha mengelak dari tatapannya. Saat ini Astrid nampak merundukkan kepalanya dan Awank pun berusaha mengangkat sedikit dagu Astrid hingga kepalanya jelas tampak setara dengan tatapnya, “As aku cinta kamu,” jelas Awank pada Astrid tanpa berkedip, “Detik ini juga aku inginkan kamu menjawab kataku, apakah kamu maua menerima cintaku As?” Astrid mulai memberanikan diri untuk menerima tatapan Awank, dan tanpa adanya aba-aba darinya ia menyaksikan jelas bola mata hitam itu yang terlalu lama melek higga tak terasa mengundang adanya rasa setitik air mata menetes. Nampaknya Astrid tak juga tahan untuk untuk menerima tatapam itu, ia langsung memeluk Awank dan menjawab “Ia Wank” tegas Astrid, “Aku terima cinta kamu dan akupun juga mencintai kamu sebelum kata ini ku dengar sendiri secara langsung,” lanjut Astrid sebaliknya Awank, Awank mengangkat lagi kepala Astrid dan menatap matanya lagi walaupun ia tahu kalau Astrid enggak bakalan kuat untuk berlomba tatap, walaupun inibukan berarti perlombaan. Sambil membelai indah rambut Astrid, Astrid nampak tertawa dalam tangis setelah melihat si manis melompat nampak expresi tak senang setelah kata cinta itu sudah ia dengar, namun dalam hati Astrid mengatakan bahwa dirinya akan berusaha sekuat tenaga untuk mencarikan jodoh si manis.
Rona Disaswa penuh merah, air matanya sudah mulai terasa habis untuk membasahi pipinya lagi. Rasa shock pada dirinya tiak mungkin begitu saja hilang tanpa adanya kata yang mampu mempawangi rasa dukanya, namun ia merasa lega setelah membaca agenda Awank yang menjelaskan kenapa dirinya sampai terlibat dalam jaringan mafia? Dan dalam lembaran itu juga menjawan sesuai dengan perjalanannya. Disaawa merasa, begitu bodohnya Awank, bukankah setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Namun masalah itu sendiri pasti akan menjadi masalah jika masalah itu sendiri dipermasalahkannya. Senyumnya mulai tampak merekah, setelah melihat lukisan bunda itu, dan wajah dari bunda itu sendiri adalah wajahnya. Tanpa ia sengaja, semua apa yang ia lihat selama ini membawa ingatannya masa lalunya bersama Awank dan mulai terasa olehnya bahwa hari kemarin adalah mimpi burukku, namun nyata setelah Lazuardy menyingsing memasungkan rasa hati.
“Oh iya Wank, entar kalau kita menikah, kamu pengen punya anak berapa dariku?” tanya Astrid sambil mengedipkan matanya, “kalau aku sih, terserah kemampuan kamu say dan kamu sendiri maunya berapa?” tanya Awank sambil menggelitikinya. Yeah! Yang harusnya tanya itu kau lah Waaank, kan kamu yang mauuu, seberapa besar sih kemampuanmu, hem? Hahaha,” ia langsung berlari mengitari ruang-ruang hingga menuju taman belakang, setelah ia nampak Awank akan meggelitikinya lagi, “Kamu nantang ya…” jela Awank belum juga bisa menangkap lincahnya Astrid berlari. Tak lama kemudian Astrid nampak capek, dan menyerah pada pelukan Awank bersama belaiannya. Perlahan pelukan itu terlepas dan Awank pun mulai berkata dengan mimik keseriusannya, “As! Jika suatu saat nanti kita menikah, aku ingin punya banyak anak dan aku akan mengajari mereka semua Biola agar suatu saat nanti mereka semua melebihi aku,” jelas Awank dengan tatap sipitnya dan bibirnya pun nampak tipis. “Teyusss?” tanya Astrid tersenyum lebar. “kita akan sama-sama merawat mereka dan mengajari mereka hidup bersama adanya makna cinta. Hingga mereka beranjak dewasa, rambut kita sudah dipenuhi uban-uban dan kita pun akan tetap setia untuk menyaksikan putra-putri kita bermain biola di atas panggung dan aku ingin sekali mendengar kata-kata jiwa yang menjelaskan bahwa merekalah sang Biolis. Hanya itu yang ku mau As!” kalau kamu sendiri As?” Awank balik bertanya setelah kepalanya berbantal paha Astrid, walaupun hanya beralaskan rumput. “kalau aku hanya apa yang kanu katakan barusan terwujud dan satu yang aku takut say.” Jelas Astrid sambil meremas jemarinya dan tatap-nya tertuju pada sepasang burung yang nampak jelas di atas ranting pohon mahoni itu. “apa As?” singkat Awank langsung bangkit dan menerima tatap Astrid. “Wank, seandainya nanti semua itu tak tercapai oleh kita, apakah dawai biola itu tetap ada?” Astrid kembali peluk Awank. “As, seandainya itu semua tidak terjadiii, maka nada-nadi kita akan teramputasi dan aku tak ingin itu terjadi,” jelas Awank. Dari situlah ia mulai merasakan apa-apa yang pernah Astrid takutkan akan terjadi, dan kenyataan yang sekarang terjadi itulah jawaban dari semuanya. Astrid mulai terdampar dalam ingatan-ingatan itu, setelah sejenak tenggelam dalam masa lalunya. Tanpa ia rasa tawa nyatanya mulai terwujud tampa adanya Awank disisinya lagi, dan ia mulai sadari adanya ini.
Detik ini ia mulai merasakan bahwa ia akan kehilangan Ayah dari anaknya yang masih ada dalam kandungannya sebelum anak itu lahir. Ia mulai bertanya, apakah ia akan tetap melahirkan anaknya, seandainya suatu saat nanti anak itu telah tumbuh dewasa dan bertanya padanya., Bu! Benarkah ibu menjadi janda sebelum aku aku lahir dan ayahku mati oleh mata pistol lantaran tugas ibu, bukan? Lantas kapan aku akan merasakan kasih seorang ayah dan mengajariku tentang hidup? Tidak selamanya aku akan begini kan bu? Benarkam bu, kalau tidak ada aku kamu tidak lebih akan disebut wanita biasa saja?” Disaswa mulai menangis dengan adanya tanya jawab jiwanya sendiri. Ia hanya berpikir, apakah anakku nanti akan meniupkan mitos-mitos tanya sejumlah tanya-nya padaku hingga tidak bertanya pada jiwanya lagi, karena detik ini ia sudah temukan jawabannya. Ia akan tetap melahirkan anak itu, seperti apapun situasi yang mesti ia hadapi. Walau tak ada seorang pun tahu siapa sebenarnya ayah dari anak yang ia lahirkan, dia sendiri yakin bahwa suatu saat nanti anak itu akan tahu dan apa yang ada dalam pikirannya tadi-pun pasti akan nyata juga.
Perlahan ia membuka pintu jendelanya dan berbicaa lagi pada awan senja, hingga langitpun tengadah menyulut cahaya memintas jendela. Adakah suatu saat nanti aku akan sedang meranda baju pengantin?” mimpimu tentang mu tak henti menyapa, kenapa rinduku tak ada batasnya? Ia berharap, bahwa ia patut jadi pelajaran bagi semua jiwa-jiwa agar tidak bernasib seperti Awank juga apa yang menimpa dirinya.
Ia mendadak tersentak saat dawai-dawai itu mulai jelas terdengar olehnya dan lembaran-lembaran yang masih nampak di tangannya itu tak terasa lepas dan beterbangan mengikuti arus angin “Iya! Dawai itu persis sekali dengan biola yang Awank mainkan pertama kali aku menginjakkan kaki di villa ini,” gerutu hatinya. Wajahnya mendadak expresif saat dawai itu semakin lama semakin jelas di telinganya seiring langkah kakinya, ia pun mulai nampak tergesa-gesa mencari dimana dawai itu berasal. Ia langsung melihat sosok pemain biola itu yang saat ini tak jauh beda dengan adanya Awank waktu itu dan expresinyapun tak jauh berbeda. Dari kejauhan ia menyaksikan violis itu dengan sebatang rumput yang melekat di bibirnya. Saat ini violis itu sedang menengadahkan tatapnya kehamparan langit putih biru yang bentuknya nyaris berbentuk kepala setelah biola usai ia dawaikan.
“Sepotong rumput sepertinya mulai tersenyum, seolah senang melihat kedamaian, sedang sepotong rumput liar sesaat kemudian nampak menangis, seolah sedih melihat dirinya sendiri, walaupun sejuta warna bunga taman mengelilinginya, namun sesaat kemudian rumput itu tiba-tiba saja ingin menjadi pohon mahoni setelah persetankan kata orang-orang yang berulng kli ia jawab biar tua dan miskin ia tetap terpandang, maka menalarlah dirinya hingga dipenghujung penghujung ketinggiannya, akupun tetap ingin melihatmu tersenyum.” Dedy langsung tersentak dari pejaman matanya dan membacakan satu puisi yang pernah Awank bacakan dengan sikon yang tak jauh berbeda.

DAYA

Setengah bumi dalam malam tak gelap

Saat kau mainkan wayang di terang lentera\
Meski hujan tak berpihak

Segersang pasir tetaplah dingin

Tak lelah kau lumat kenyataan
Sebab daya berkuasa atas tubuhmu
Luka datang dan pergi
Sementara kebahagiaan tak pernah mengajariku
Sebab kekecewaan selalu menggurui
Mungkin kebahagiaan sebaya dengan kematian
Ketika hidup tanpa
Daya
Ia langsung bertepuk tangan setelah biolis itu mulai berhenti dengan katanya, Dedy langsung tersentak dan mengarahkan kepalanya kearah suara itu. Ia mendadak kaget setelah melihat sosok wanita itu, dan iapun merasa bahwa sosok ini pernah ia lihat, tapi dimana? Ia baru ingat bahwasanya sosok yang ia pikir tak jauh beda dengan lukisan yang belum lama ia lihat. Perlahan ia hampiri wanita itu yang masih nampak bertahan di tempatnya.
“Maaf, kalau boleh saya tebak, nona bernama Astrid bukam? Kenalkan nama saya Dedy,” Dedy langsung menjulurkan tangannya setelah katanya terucap. Namun Disaswa tidak juga meraih tangan Dedy itu karena ia masih berpikir adanya Dedy, penuh dengan senyuman. “Oh iya nampaknya, nona enggak mau terima jabat tangan saya yah, tapi ta apalah,” lanjut Dedy dengan yang masih nampak tercengang melihat adanya Astrid yang tercengang melihatnya. Sesaat kemudian Dedy mulai keluarkan jurus humornya agar cepat-cepat dapat perhatiannya. “Oh iya maaf sebelumnya, namaku Disaswa dan dari mana anda tahu tentang saya?” ia langsuh meraih tangan Dedy yang hampir saja turun dari permukaan tatap pandangnya. “Em…, bukannya anda ini bernama Astrid? Sudahlah anda tak perlu bohongi aku, karena aku sudah tahu siapa anda. Dan perlu nona tahu, bahwa tak ada bahaya yang lebih berbahaya dari pada kebohongan, “expresi Dedy mulai tampak meyakinkan Disaswa. Sejenak Dedy menjelajahi adanya Disaswa dengan tatapnya dan di sini ia dapatkan kesimpulan bahwa dirinya dipastikan baru saja menangis, Oh, iya non aku hampir lupa,” sahut Dedy, “ada apa Ded?” tanya Disaswa. “Aku akan membuatkan dirimu segelas minuman, agar obrolan kita lebih nyaman. “Ungkap Dedy setelah menepuk dahi dirinya sendiri. Dan hal ini semakin membuat ingatan Disaswa kembali seperti yang Awank lakukan padanya waktu itu. Padahal Dedy melakukan ini tidak lain hanya untuk menghibur diri Disaswa saja, karena Dedy sudah pasti ikut merasakan apa perasaannya sekarang.
Diantara ruang tengah ini, lukisan-lukisan dan sejumlah lembaran nampak taj rapi lagi dari susunannya, jejak-jejak lilin waktu ultahnya-pun masih seperti semula dan disini pula Disaswa banyak menceritakan siapa dirinya sebenarnya mulai dari mengenal Awank hingga mengenang Awank saat ini, begitu pula Dedy. Namun Dedy tidak mengetahui adanya kehamilan Disaswa, karena ia tak menceritakan hal itu selain dari pada yang ia ceritakan sekarang.
Sesaat kemudian Dedy mendadak tersentak dari obrolannya setelah ponselnya berbunyi dan ia pun semangat sekali untuk menerima panggilannya, expresi Disaswa mendadak berubah setelah mendengar sejumlah kata roman Dedy ucapkan melalui ponselnya dan iapun sengaja meninggalkan Dedy tanpa adanya kata pamit. Dedy melanjutkan langkah cepatnya mengelilingi Villa-nya higga melintasi taman yang penuh dengan ilalang dan jajaran bunga-bunga tak lagi terlihat. Keringat yang tampak membahai ronanya, mngiringi teriak panggil nama Disaswa berkali-kali. Yang jadi penyesalannya hanyalah karena dirinya belum sempat bertanya lebih jelas lagi tentang alamat rumahnya. Setelah cukup lama ia mengitari sejumlah tempat yang menurutnya, Disaswa mungkin ada diantara itu. Mukanya mulai tampak merah dan seluruh badannya sudah merasa miang sambil ngos-ngosan ia berkata saya harap, suatu saat nanti akan bertemu Disaswa.”
* T A M A T *